Wah, chapter ini bikin author cukup emosional sih waktu nulis. Bisa bayangin nggak sih kalau kita ada di posisi Ela sekarang? Tapi, author juga ngerti maksudnya Mas Dipta bicara begitu biar Ela sadar dan makin mencintai dirinya sendiri. Perjalanan menyadarkan orang supaya melihat potensi terbaik dirinya memang sulit dan terjal seperti yang Dipta lakukan ke Ela. Perjuangan Ela buat menghilangkan perasaan negatif yang bertumpuk juga pasti bakal berdarah-darah ke depannya.
DIPTADipta mengetuk pintu kamar Ela beberapa kali sebelum akhirnya Ela membuka pintunya pagi ini. Jujur saja, semalam Dipta tak dapat tidur nyenyak memikirkan pertengkaran yang terjadi antara dirinya dan Ela tentang masalah apartemen. Sebenarnya itu bukan masalah apartemen. Perkara Ela ingin tinggal di mana hanyalah pemantik, karena ternyata bensinnya ada pada cara mereka berkomunikasi dan juga menanggapi ujaran masing-masing yang begitu berbeda. Setelah dipikirkan semalaman, Dipta sampai pada kesimpulan jika mereka berdua memang seperti dua kutub magnet yang berbeda. Mulai dari bagaimana mereka dibesarkan, pandangan hidup, peristiwa-peristiwa lalu yang bergulir dan membentuk pribadi mereka masing-masing. Tapi satu hal, Dipta kemarin salah karena dia terlalu tendensius kepada Ela, meskipun niatnya baik karena dia ingin yang terbaik untuk Elaina. Gadis itu berdiri sambil memegangi daun pintu dan memicingkan matanya tatkala melihat Dipta yang sudah rapi dengan rambut setengah basah
Benar sesuai prediksi Ela. Ritual pagi Ela cukup panjang dan memakan waktu hingga satu jam. Dipta tak sadar waktu telah bergulir begitu lama karena dia begitu menikmati memperhatikan Ela secara lebih dekat dan personal. Intimasi yang tercipta bukan dari sentuhan fisik, namun dengan cara mengintip lebih dalam cuplikan kehidupan dan keseharian gadis itu. Mereka pun berbincang disela-sela kegiatan mengeringkan rambutnya, catok dan kegiatan make up Ela yang secara mengejutkan membuat Dipta merasa tenang. Mereka turun ke restoran hotel pukul sembilan pagi, untung saja makanan masih bersisa cukup banyak dan Dipta segera mengambil piring untuk mengisinya dengan beberapa menu prasmanan sebelum mengambil infused water dan membawanya ke meja yang telah ditempati Ela nan cantik paripurna tanpa cela. Hampir semua pengunjung menoleh dua kali ketika melihat Ela, beberapa tersenyum sontak ketika melihat Ela, beberapa sisanya seperti tersihir oleh pesona Ela. “Serius kamu nggak mau ambil sesua
Ratri terkesiap mendengar pengakuan Dipta. Seakan tak percaya jika sang tuan putri justru akan menikah dengan pria asing seperti dirinya, bukan dengan kekasih–atau mantan kekasih, lebih tepatnya–yang bernama Dhanu Trihadi. Kisah percintaan Ela dan Dhanu memang cukup dikenal bagi kalangan sosialita Jakarta dan penikmat akun-akun gosip sosialita yang bertebaran di seluruh media sosial. Akun-akun tersebut gemar mengulik selera fashion, gaya hidup hingga kegiatan sosialita andalan mereka lalu membagikannya di dunia maya untuk dijaring likes dan komentarnya dari sesama netizen. Ela didapuk sebagai salah satu permata yang akan bersinar di antara para sosialita muda dengan sikapnya yang supel, ramah, dan juga cantik. Lalu Dhanu adalah anak calon RI 1 yang karirnya makin menanjak setelah bekerja dibalik layar sebagai tim pemenangan ayahnya dalam kontestasi pemilu mendatang. “Loh, kok?” Ratri mengernyit kebingungan. "Waktu itu kita juga udah pernah bilang, 'kan?" cecar Dipta dengan sedikit
Readersss.... author izin absen dulu ya hari ini ngga upload. author balik ke rumah mama dan ngga sempat buka laptop seharian.bahkan sulit banget curi-curi waktu pas kerja tadi. Baru jadi 300an kata dan rasanya ngga maksimal kalau nulis yang penting terpenuhi jumlah kata tanpa ada substansi. Seharusnya sih besok bisa double up buat nutupin hari ini. Anyway, rencana awal penulisan cerita ini tuh sampai di sekitaran 150k yang digarap rencananya sampai Bulan Mei paling akhir. Semoga aja bisa konsisten ya sampai cerita selesai dan nggak mengecewakan readers semua.Sekalian minta tolong boleh yaa... Jangan lupa kasih review di cerita author ini biar bisa kesundul makin ke atas dan makin banyak yang ngebucin bareng buat kisah Dipta dan Ela ini. Maaciih sayang-sayangku,Have a good night and have a good rest yaa. Love you all
ELAMereka berdua akhirnya melihat ayahnya yang keluar dari restoran Plataran Dharmawangsa didampingi asisten kepercayaannya Pak Subagyo dan pengawal pribadinya Pak Ridho yang berjalan di belakang papa. Saat ini papa sedang intens berbincang dengan rekan politisinya. Papa merupakan salah satu petinggi partai yang mengusung Pak Rahmat Trihadi sebagai calon presiden kontestasi pemilu presiden mendatang. Tawa lebar menghiasi pembicaraan mereka sampai-sampai mereka tak sadar ada Ela dan Dipta yang memperhatikan di satu sudut meja dekat pintu keluar. Justru Pak Ridho duluan yang menyadari kehadiran mereka berdua yang kini berdiri dari tempatnya dan berjalan menghampiri rombongan papa. Pak Ridho bersitatap sejenak dengan Dipta, sebelum memutus kontak dan menghampiri papanya sambil membisikkan sesuatu. Papa mengernyit sejenak, menoleh ke arah mereka berdua sebelum akhirnya mengeraskan rahangnya. Papa menggeleng keras dan memilih untuk terus berbincang dengan rekan kerjanya. “Papa, tolon
Ela duduk di samping papanya di kursi belakang. Dipta berada di kursi penumpang bagian depan samping supir. “Kumpul kebo, hah? Semakin lama semakin kamu tunjukkan sikap aslimu, Ela. Wanita liar yang mencoreng nama keluarga!” bentak papanya dengan suara menggelegar. “Itu karena sejak awal Papa nggak pernah mau mendengarkan dan membelaku! Ini semua hasil penjebakan, aku dan Dipta sebagai korban di sini.” Entah sudah berapa lama dia mengulang kaset rusak ini. Menceritakan duduk perkara sebenarnya yang tak pernah divalidasi oleh orang tuanya sendiri. Mengakui bahwa yang mereka katakan saja tidak, apalagi menyetujui permintaan mereka untuk merestui pernikahan! Sungguh jauh panggang dari api! “Tapi kamu yang paling rugi, tahu nggak, Ela!” Papa masih bersikeras dengan argumennya yang penuh penghakiman. “Kamu sudah papa siapkan untuk dijodohkan dengan putra calon presiden, justru bertingkah dan melepaskan Dhanu. Okelah kalau itu hasil penjebakan, tapi pada akhirnya kamu nggak jadi menika
“Ayahmu seorang Jeremy Rustam?” Ela masih mengulang-ulang pertanyaan yang sama karena saking terkejutnya dia dengan penuturan Dipta di lobi The Royal Ruby Hotel Senayan. “Tapi kok aku jarang dengar beritanya? Aku tahunya satu lagi putranya yang sekarang memegang jabatan komisaris independen di beberapa BUMN penting yang bergerak di industri petrokimia.” Tak hentinya Ela mencecar Dipta dengan berbagai pertanyaan yang mengawang di dalam pikirannya. “Ah, yeah… panjang ceritanya, Ela.” Dipta tertawa miris seraya menjawab dengan praktis. “Kamu nggak mau cerita tentang itu?” todong Ela. Dia penasaran setengah mati tentang asal usul Pradipta Bagaskara Rustam yang sedang mengendarai mobil dengan tenang di sampingnya. “Nanti aku ceritakan, rasanya nggak elok aku cerita di tengah perjalanan kita saat ini.” Dipta membalasnya dengan bijak. Memang benar, saat ini mereka sudah kembali dari restoran Plataran Dharmawangsa untuk mengambil mobil Dipta yang tertinggal sejak mereka berkendara
DIPTA“Bisa,” ujarnya menyanggupi.Ela menatapnya tak percaya.“Gimana caranya?”“Pikiran pertamaku adalah private garden party. Maksimal lima puluh undangan dari keluarga dan kerabat dekat saja. Yang penting kamu keluar dari rumahmu dan akhirnya memiliki kuasa serta kendali atas hidupmu sendiri. Tidak lagi tunduk dalam bayang-bayang papamu yang otoriter.” Dipta menjelaskannya sambil tersenyum lebar.“Dan kamu yakin bisa menyelesaikan semuanya dalam waktu… berapa lama tadi? dua minggu? tiga minggu?”Dipta hanya nyengir lebar