***"Ribet juga ya."Amanda hanya terkekeh ketika dia membantu Alula memakai penutup kepala yang harus digunakan selama operasi.Pukul tujuh pagi, semua orang datang ke rumah sakit untuk menunggu proses operasi Aludra dan Alula.The Day. Hari ini akhirnya tiba. Setelah semua persiapan, pagi ini Alula akan benar-benar mendonorkan sebagian organ tubuhnya untuk Aludra.Sesuai rencana, operasi akan berlangsung paling cepat enam jam dan paling lambat dua belas jam—tergantung situasi dan kondisi.Semua berdoa yang terbaik, termasuk Alula. Meskipun ada sedikit rasa takut di hatinya, dia memantapkan hati. Demi Aludra. Tentu, semua ini dia lakukan demi Aludra juga demi dirinya sendiri."Sudah siap?"Semua perhatian tertuju pada dokter Septa yang juga sudah siap dengan pakaian khusus operasi. Tak sendiri, Dokter Septa dibantu dua dokter lain juga beberapa perawat untuk hari ini karena operasi pencangkokan jaringan hati bisa dibilang operasi yang tergolong besar."Sudah, dokter," kata Alula."Ya
***"Ma-maksud dokter, apa?"Hampir tujuh jam menunggu di depan ruang operasi, semua yang ada di sana seketika beranjak ketika dokter Septa membuka pintu ruang operasi untuk memberikan kabar tentang operasi yang baru saja dia dan tim medis lainnya lakukan.Ada dua kabar yang dibawa dokter Septa untuk pihak keluarga Aludra dan Alula. Kabar baik dan tentunya kabar buruk.Kabar baiknya, operasi pencangkokan jaringan hati yang dilakukan berhasil. Sebagian jaringan hati Alula kini sudah berada di dalam tubuh Aludra.Namun, di balik kabar baik ada pula kabar buruk yang mampu membuat semua orang dibuat terkejut karenanya terutama Aurora dan Dewa.Alula tidak bisa diselamatkan.Empat kata itu dengan berat hati dilontarkan dokter Septa pada pihak keluarga. Sudah berusaha semaksimal mungkin, dokter Septa gagal menyelamatkan putri sulung Dewa setelah mengalami penurunan kesadaran juga detak jantung yang tiba-tiba saja melemah.Mengejutkan bukan? Di saat mereka seharusnya bahagia karena Aludra ya
***"Hati-hati ya, Pak."Memakai pakaian serba hitam lengkap dengan peci juga kaca mata yang bertengger di pangkal hidung untuk menutupi matanya yang sembab, ucapan itu dilontarkan Dewa pada beberapa orang yang ditugaskan membawa keranda ke dalam ambulance.Satu malam disemayamkan di rumah, pagi ini—tepat pukul sembilan pagi, jenazah Alula akan segera diberangkatkan menuju Sandiego Hills untuk dikebumikan.Memesan pusara paling mahal, dengan berat hati Dewa mengantar putri sulungnya ke tempat peristirahatan yang terakhir.Tak sedikit, banyak para pelayat yang datang ke kediaman Dewa untuk mengucapkan bela sungkawa atas kepergian Alula—bahkan Marvel pun datang dan akan ikut mengantar menuju Karawang.Rasanya seperti mimpi. Kemarin pagi—sekitar pukul tujuh pagi, Dewa masih mengobrol bahkan bersenda gurau dengan Alula yang terlihat tak nyaman dengan pakaian operasinya.Namun, kini. Dewa harus bisa melepaskan Alula. Sakit? Tentu saja. Tak ada orang tua yang tak sakit ketika harus melepas
***"Gimana kondisinya, Dokter?"Pertanyaan tersebut langsung dilontarkan Arka pada dokter Septa yang baru saja menyelesaikan pemeriksaan pada Aludra.Hampir dua puluh empat jam pasca operasi, Aludra akhirnya sadar tepat pukul dua siang. Tak ada siapa-siapa, di ruangan rawat hanya ada Arka yang selalu setia menemani istrinya itu karena sampai saat inu Amanda juga Dirga masih berada di Jakarta setelah pemakaman Alula pukul sepuluh siang tadi."Stabil, Pak," kata dokter Septa. "Bu Aludra tinggal menjalani pemulihan saja. Kalau kondisinya cepat pulih, seminggu dari sekarang Bu Aludra bisa pulang.""Enggak ada yang aneh, kan?" tanya Arka memastikan."Tidak ada, Pak. Semua organ vital Bu Aludra baik-baik saja—termasuk hatinya," kata dokter Septa meyakinkan. "Makan makanan yang bergizi juga istirahat yang cukup bisa membantu memulihkan kondisi.""Oh baik, terima kasih dokter.""Sama-sama, Pak. Kalau begitu, saya permisi.""Iya," jawab Arka.Dokter Septa juga beberapa rekan medisnya pergi me
***"Udah semua masuk, Ar?""Udah, Pa."Arka yang sejak tadi mengemasi barang-barang segera mengumpulkannya di dekat sofa. Pukul sepuluh pagi—setelah menjalani pemeriksaan, Aludra akhirnya dipersilakan pulang oleh dokter Septa yang menilai kondisinya sudah cukup baik.Sebenarnya tentang kepulangan Aludra sudah diberitahukan sejak kemarin, tapi tetap saja pagi ini keadaanya harus benar-benar diperiksa lebih dulu untuk menghindari sesuatu yang tak diinginkan.Tak sampai seminggu, Aludra hanya menjalani pemulihan pasca operasi selama lima hari saja karena memang kondisinya sangat cepat membaik—mengingat betapa perhatiannya Amanda juga orang-orang disekitarnya pada istri Arka tersebut kecuali Aurora.Ya, hampir lima hari Aludra sadar, tak sekali pun Aurora datang untuk menjenguk putri bungsunya itu dan alasannya tentu saja karena dia belum siap.Aurora belum siap bertemu Aludra karena semua itu akan membuatnya kembali mengingat Alula dan mau tak mau Dewa pun membiarkan semua itu.Tak mau
***"Regan, Raiden, kita beli sesuatu buat aunty yaaaa!"Mendudukkan Raiden juga Regan di car seat, Aludra terlihat begitu antusias sore ini. Hari sabtu, Aludra mengajak Arka pergi ke Mall untuk membeli sesuatu setelah sang suami mengajaknya ke Jakarta hari minggu besok.Sampai detik ini—hari keenam Alula meninggal, Aludra masih belum tahu mengenai kenyataan pahit yang sebenarnya terjadi karena memang semua anggota keluarga sepakat untuk memberitahu semuanya besok.Tepat di hari ke tujuh Alula meninggal.Rencana yang disusun besok adalah; Amanda akan berangkat terpisah menuju Jakarta bersama Regan juga Raiden, sementara Arka akan membawa Aludra ke Sandiego hills untuk mengunjungi pusara Alula.Berat sebenarnya bagi Arka membawa Aludra ke tempat peristirahatan Alula, tapi apa boleh buat? Secepatnya Aludra harus tahu karena memang tak mungkin kepergian Alula terus dirahasiakan dari Aludra."Padahal kayanya kita enggak perlu beli sesuatu buat Alula, Ra," kata Arka saat Aludra masuk ke mo
"Sarapannya yang banyak, Mas. Kamu kan mau nyetir jauh."Sekali lagi, Aludra menyendokkan nasi goreng yang dia buat ke piring Arka—membuat pria itu mendesah karena nasi di piringnya pun masih banyak."Nanti enggak habis, Ra.""Harus habis," kata Aludra. "Supaya enggak capek di jalan nanti.""Kamu tuh."Minggu pagi ini Aludra terlihat bersemangat. Bangun pukul empat pagi, dia langsung menyiapkan semua baju yang akan dibawa menuju Jakarta karena memang rencananya Aludra ingin menginap di sana untuk beberapa hari.Aludra bersemangat, Arka justru sebaliknya. Rasa takut juga khawatir kini semakin merongrong hatinya. Sungguh, Arka belum siap melihat bagaimana hancurnya Aludra nanti ketika tahu yang sebenarnya terjadi."Nih aku udah makan banyak lagi," kata Aludra sambil menunjukkan nasi goreng di piring. "Kamu mau aku makan banyak, kan?""Iya, makan yang banyak. Biar cepat sembuh.""Terus ngasih asi lagi ke si kembar," kata Aludra. "Kalau bisa aku pengen makan sekaligus aja deh tuh obat su
***"Ini maksudnya apa?"Aludra memandang Arka penuh tanya. Pria itu terlihat menunduk sambil memandangi pusara Alula, sementara tangan kanannya mengusap hidung yang sedikit memerah karena cairan bening berlahan berkumpul di pelupuk mata."Mas, kok diem?" tanya Aludra dengan perasaan yang semakin tak menentu. "Aku tanya, ini maksudnya apa? Kenapa nama Kak Lula ada di nisan ini."Arka menghela napas lalu memberanikan diri untuk menoleh pada Aludra."Kok nangis?" tanya Aludra."Kamu mau ketemu sama Alula buat berterima kasih, kan?" tanya Arka. "Silakan berterima kasih sekarang.""Maksud kamu?""Alula," ucap Arka tercekat, seraya memperintens tatapannya pada Aludra. "Dia udah enggak ada, Ra. Alula—kakak kamu udah meninggal."Percaya? Tentu saja tidak. Tak langsung menangis, Aludra justru tersenyum—bahkan terkekeh setelah mendengar kabar dari sang suami yang menurutnya terlalu tak masuk akal."Bercandanya enggak lucu, Mas," kata Aludra. Dia kemudian mengedarkan pandangannya—mencari kamera