Clara masih kacau. Setelah menangis tadi, ia juga harus menanggung malu karena memeluk Nathan dengan tiba-tiba. Sekarang, Clara hanya bisa menundukkan kepalanya sembari menutup mulutnya. Ia harus menanggung malu sekaligus sedih dalam waktu bersamaan. Ia tidak tahu bagaimana mendeskripsikannya.
Ia terus terdiam sampai tak terasa ia sudah kembali ke rumah Nathan. Bukan ke apartemen tempat ia dan kedua kakaknya tinggal.
"Lho, kok ke rumah Pak Nathan?" Tanya Clara.
"Saya tidak mungkin meninggalkan kamu disana sendirian. Saya khawatir jika terjadi sesuatu terhadapmu." Jawab Nathan.
"Tidak apa-apa,Pak. Saya bisa mengatasi emosinya sendiri."
"Melihat kondisi kamu yang seperti tadi, saya tidak yakin jika kamu bisa mengatasinya sendiri. Untuk sementara waktu, kamu tinggal disini terlebih dahulu. Jika kondisimu sudah
Clara menghembuskan nafasnya pelan. Ia tidak menyangka jika ia kembali sendiri. Walaupun nasibnya tidak setragis dulu, namun tetap saja Clara masih belum menerimanya. Clara jadi befikir, apakah sebelumnya Clara pernah melalukan kesalahan yang begitu fatal? Sampai Tuhan menghukumnya seperti ini? Ia menatap langit dari balkon kamarnya. Ah, lebih tepatnya kamar tamu Nathan. Ia diberikan kamar oleh Nathan untuk beberapa hari kedepan. Ia sangat bersyukur setidaknya masih ada orang yang memperdulikannya. Ia tidak perlu hidup kembali di jalanan. Beruntung, Alvin menitipkannya pada Nathan. Pria baik hati yang mengerti dirinya. Padahal mereka salinh mengenal kurang dari satu bulan. Clara melihat dua bintang yang bersinar begitu terang. Lagi-lagi kedua orang tuanya menemaninya saat ia sedang berfikir. Seandainya mereka masih ada, mungkin hidup Clara tidak ak
Clara terbangun dari tidurnya. Ini baru pukul sepuluh malam. Ia merasakan tenggorokannya yang terasa kering. Ia harus segera membasahi tenggorokannya. Dengan segera, ia bangkit dari tempat tidurnya yang terasa nyaman. Ia melirik Devan yang masih terlelap dari tidurnya. Sepertinya anak itu tidur sangat nyenyak. Clara menguap lebar. Ia berusaha menahan kantuknya. Ia menelusuri tangga dengan begitu pelan. Sesekali ia menggelengkan kepalanya ribut guna menetralisir rasa kantuknya. Clara bisa bernafas lega saat menyadari sebuah kulkas sudah berada di depan matanya. Ia segera mengambil sebuah botol mineral kemudian menengguk isinya dengan brutal. Akhirnya, tenggorokan yang awalnya kering kini telah basah. Clara harus kembali ke tempat tidurnya. Ia ingin segera melanjutkan mimpinya yang telah terputus akibat rasa haus. Namun,
Clara merebahkan tubuhnya sendiri di ranjang empuknya. Ia mengingat-ingat apa saja yang keluar dari mulut Nathan. Ia seperti memiliki sosok kakak yang bijaksana dan pekerja keras. Namun, dibanding terlihat sebagai seorang kakak, Nathan lebih terlihat sebagai sosok pendamping yang selalu mengerti akan pasangannya. Clara menatap Devan yang masih tertidur lelap. Ia ingat saat Devan menceritakan semuanya. Tentang Devan yang sudah mengetahui tentang kepergian ibunya sampai Nathan yang terus menerus membohongi Devan akan fakta yang sebenarnya. Clara berfikir, ternyata Nathan memiliki masalah yang bisa dibilang cukup rumit. Entahlah. Clara tidak mau pusing-pusing memikirkannya. Memikirkan hidupnya saja telah membuat kepalanya pening, apalagi ditambah memikirkan orang lain. Clara yakin, pasti kepalanya akan pening tujuh keliling. Clara jadi ingat tentang Alvin
Nathan baru saja terbangun dari lelapnya. Ia melirik jam di nakas tempat tidurnya. Pukul enam pagi. Sepertinya ia harus cepat. Ia terlambat bangun kali ini. Mungkin karena tidur terlalu malam. Nathan harus membersihkan diri, ia belum menyiapkan semua keperluan Devan. Sesibuk apapun, Nathan selalu menyiapkan segala keperluan Devan. Walaupun ada Bi Inah, Nathan ingin selalu menjadi yang pertama untuk Nathan. Ia melangkahkan kakinya ke kamar mandi. Tidak lupa, ia membawa handuk kesayangannya. Bersiap untuk mandi. Nathan bergedik sejenak saat air dingin mengaliri tubuhnya. Ia menyesal karena lupa menyalakan air hangat pada showernya. Cuaca pagi ini begitu dingin. Walaupun malam tadi begitu cerah, namun pagi ini sepertinya akan berbalikan. Nathan belum melihat matahari muncul dari permukaannya. Matahari itu terlihat malu-malu untuk muncul ke per
Devan mengelus perutnya pelan. Ia kenyang sekali. Ia makan terlalu banyak pagi ini. Ia jadi khawatir, jika ia akan mengantuk di kelas nanti. Tidak apa, jika mengantuk Devan hanya perlu membasuh wajah bukan. Tidak mungkin jika ia dimarahi ibu guru hanya karena menahan kantuk. Nathan pun sama. Tak biasanya ia makan sebanyak ini. Biasanya ia makan seperlunya saja. Tidak sampai merasakan kenyang. Entah kenapa, saat melihat Devan makan terlalu lahap membuat nafsu makannya ikut naik."Selesai. Papa ayo berangkat. Devan mau berangkat pagi. Devan piket hari ini. Devan tidak mau membuat Lala menunggu." Ucap Devan semangat."Piket? Tidak biasanya kamu melaksanakan piket." Tanya Nathan."Itu karena Devan selalu berangkat terlambat. Jadi, Devan tidak pernah piket. Devan jadi kasian dengan Lala. Devan harus meminta maaf.""Bai
Edgar menghembuskan asap rokoknya. Ia tidak perduli jika petikan api mengenai ranjang mewahnya. Ia melirik seorang wanita yang masih dalam posisi telanjang di sampingnya. Mereka baru saja melewati malam panas yang begitu menggairahkan. Edgar merupakan pria rakus akan segalanya. Ia rakus akan harta dan juga wanita. Bahkan, ia tak segan untuk melakukan apapun agar membuatnya cepat kaya. Walaupun seburuk apapun itu. Yang penting semua keinginannya tercapai. Ia tidak perduli cara yang dilakukan olehnya. Ia hanya perduli terhadap hasil yang telah diperoleh. Selain suka sekali dengan karta. Edgar juga haus dengan wanita. Tak jarang ia harus menyewa wanita mahal hanya untuk menuntaskan hasratnya. Terkadang, ia bermain bersama dengan dua atau tiga wanita sekaligus. Bejat bukan? Itulah Edgar. Edgar kesal. Setelah beberapa hari, perusahaan miliknya tak kunjung memb
Devan senang sekali pagi ini. Selain tidur bersama Mama tadi malam, ia juga disiapkan segalanya oleh Mama. Jika setiap hari seperti ini, pasti Devan akan senang sekali. Ia akan terus tersenyum sepanjang hari. Raka, teman Devan mengernyit heran. Tidak biasanya, Devan seceria ini. Memang Devan merupakan anak yang ceria,namun kali ini ia terlihat lebih bersemangat. Bahkan, Devan terus saja menyunggingkan senyumannya saat bertemu dengan teman-temannya. Melihat tingkah Devan yang tidak seperti biasanya membuat Raka semakin penasaran. Kaki kecilnya berjalan mendekati Devan. Ia menyentuh bahu Devan, sedangkan yang disentuh berjengit kaget saat merasakan seseorang menyentuh bahunya. Devan melirik tidak suka saat menyadari siapa si pelaku. Raka adalah anak yang suka sekali mencari masalah dengan Devan."Kamu kenapa kagetin aku?" Tanya Devan."Aku nggak berniat buat ngage
Clara memasuki rumah dengan menggendong Devan. Entah kenapa Devan jadi manja sekali. Clara tidak menyangka jika ia menjadi seorang ibu di usianya yang masih sangat muda. Walaupun bukan sebagai seorang ibu dalam artian yang sebenarnya, tetap saja Clara masih tidak menyangka. Dimas yang melihat Clara sedikit kesusahan sedikit jadi merasa bersalah. Devan adalah cucu kandungnya sendiri. Seharusnya ia sendiri yang menjemput Devan , bukan orang lain yang bahkan bersama mereka selama kurang dari satu minggu. Dimas jadi merutuki dirinya sendiri yang terlalu pulas jika tertidur. "Devan kamu sudah pulang,Nak? Maaf kakek tidak sempat menjemputmu. Kakek menyesal sekali." Ucap sang kakek. "Memangnya Kakek sering menjemput Devan? Tidak tuh. Kakek pernah menjemput Devan satu kali saja selama Devan sekolah. Kakek selalu beralasan tidak sempat. Padahal, kakek selalu tidur dari pagi sa