Devan tersenyum lebar saat mendapati Clara dan Nathan menghampitinya. Akhirnya, kebosanan yang menghinggapinya segera hilang. Namun, senyum itu tiba-tiba luntur saat mengingat bahwa mereka telah membuat Devan lama menunggu. Ia memasang wajah masam saat Clara dan Nathan mendekatinya.
"Kenapa wajahmu masam begitu? Bukankah seharusnya kamu senang, kalau kami yang menjemputmu?" Tanya Nathan.
"Sebenarnya Devan senang, tapi kalian telah membuat Devan menunggu. Sampai Devan kebosananku sendiri. Kalian kenapa lama sekali?" Tanya Devan dengan nada sewot.
"Kami tidak bermaksud membuatmu menunggu. Tadi ada kejadian yang membuat kamu harusnya menyelesaikannya terlebih dahulu. Kamu mengerti kan?" Ucap Nathan berusaha memberi penjelasan.
"Bukan karena tante genit kan,Papa?"
"Tentu saja bukan. Papa tidak pernah berurusan dengan dia. Sekarang kita pulang."
 
Edgar tersenyum culas. Ia membayangkan sosok Wilda. Ternyata membodohi wanita itu benar-benar mudah. Ia tidak menyangka, sosok seorang anak konglomerat bisa juga terlalu bodoh. Ia kira, Wilda merupakan sosok cerdas yang berpendidikan tinggi. Hal itu semakin membuat Edgar puas. Ia tidak perlu repot-repot untuk mengatakan hal ini dan itu untuk membodohi Wilda. Wanita itu tidak akan curiga tentang sifat liciknya. Ia yakin itu. Setelah malam tadi ia berhasil mencicipi tubuh Wilda. Ia jadi ingin mencicipinya lagi. Ia tidak menyangka jikw Wilda sangat bisa membuat napsunya membucah. Ia juga bisa memuaskan nafusnya. Tadi, malam Wilda terus saja menjerit di bawah kungkungannya. Edgar yakin, bahwa Wilda begitu menikmatinya. Edgar jadi ingin mencobanya lagi. Erangan Wilda tidak kalah dengan jalang sewaan yang telah ia bayar mahal. Edgar juga tidak perlu mengeluark
Devan memasuki rumahnya dengan terburu. Ia tak sabar untuk menunjukkan sesuatu yang ia lupakan karena menahan kesal tadi. Padahal rencananya Devan akan memberitahu Clara dan Nathan pada saat Clara dan Nathan menjemputnya. Namun, harus ia urungkan karena Clara dan Nathan datang terlambat sampai membuatnya sedikit menahan kesal. Nathan mengernyit heran. Tak biasanya Devan mendahuluinya masuk ke dalam rumah. Ia menatap Devan yang sudah berlari masuk ke dalam rumah. Cepat sekali. Ia melirik Clara yang juga menatap Devan heran. Mungkin ia juga heran melihat tingkah Devan yang ajaib."Kenapa dia lari begitu cepat? Apakah dia memang terkadang seperti itu?" Tanya Clara heran."Entahlah. Sepertinya tidak. Saya tidak pernah melihat dia berlari secepat itu saat memasuki rumah. Mungkin dia ingin melakukan sesuatu." Jawab Nathan."Oh, seperti itu
Wilda menyelusuri jalan dengan terus bersungut-sungut. Ia kesal sekali hari ini. Ia tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Bagaimana mungkin, ia bisa dikalahkan oleh bocah ingusan seperti Clara? Sia-sia ia harus bersolek secantik mungkin untuk menemui Nathan. Ia telah mengeluarkan banyak biaya untuk bisa menaklukkan hati Nathan. Jika bisa, ia ingin segera menghabisi Clara sekarang juga. Namun, ia tidak cukup kekuatan untuk melenyapkan Clara saat itu juga. Wilda menghela nafas lemah. Ini adalah hari sial. Setelah ia mengumpulkan kepercayaan diri bahwa ia bisa menaklukkan hati Nathan selama setahun terakhir, ia dipaksa menerima bahwa ia kalah dengan seseorang yang batu saja datang ke kehidupan Nathan. Wilda menepuk dahinya pelan. Ia melupakan sesuatu. Daripada memikirkan Nathan lebih baik ia memikirkan seseorang yang jelas memperlakukannya dengan manis.
Clara mengetul dagunya pelan. Besok, ia akan mendaftarkan diri ke jenjang yang lebih tinggi. Ia tidak tahu harus mengambil jurusan apa. Hah... Memikirkan seperti ini saja membutuhkan waktu yang lama. Jika ia memilih jurusan matematika, mungkin ia akan kesulitan mengurus kafenya mengingat ia tidak begitu baik dalam pelajaran itu. Jika ekonomi? Sepertinya tidak aada yang perlu dipelajari lagi. Bahasa? Cukup bagus, tapi menurut Clara jurusan bahasa terlalu membosankan. Ia tidak mau itu. Sebagai anak yang cukup aktif, pasti Clara bisa mati kebosanan jika mendengar penjelasan sang dosen. Ah, sepertinya Clara menemukan hal yang tepat. Bagaimana dengan seni? Ini adalah pilihan yang terbaik. Clara pecinta seni. Ia bisa mengembangkan kemampuannya disana. Tidak monoton hanya sekedar seperti ini saja. Clara yakin, ia bisa memperluas kelebihannya. Dengan mengambil jurusan seni. Mungkin Clara akan bisa mengeksplor kebudayaan da
Nathan menyeruput kopinya pelan. Ia menikmati rasa pahit yang membekas di lidahnya. Mungkin kopi ini layaknya kehidupan yang sedang di alaminya saat ini. Hitam dan pahit. Namun, ia masih merasakan manis walaupun sedikit. Tidak apa, setidaknya hidupnya tidak seperti kopi hitam tanpa gula. Terlalu pahit. Terkadang Nathan merutuki dirinya sendiri yang kurang bersyukur. Namun, mau bagaimana lagi? Kepergian Emilia benar-benar membuat hatinya hancur dan kehidupannya berubah total. Ternyata pengaruh Emilia begitu besar bagi kehidupannya. Nathan mengusap potret Emilia, namun potret itu tiba-tiba saja berubah seperti potret Clara. Nathan menggelengkan kepalanya pelan. Kenapa ia bisa seperti ini? Apakah hatinya telah benar-benar berpaling sekarang? Ia tidak mau itu terjadi. Ia sudah berjanji apada dirinya sendiri bahwa tidak akan ada seorang pun yang bisa menggantikan
Alvin menyelesaikan semua pekerjaannya dengan tergesa. Ia harus segera menemui sang istri. Walaupun ibunya mengatakan bahwa istrinya baik-baik saja. Tetap saja hatinya begitu cemas. Ingin mengetahui kondisi sang istri. Alvin menumpuk pekerjaannya asal. Ia sempat menitipkan pada orang kepercayaannua untuk merapikan semua dokumen itu sesuai tempatnya masing-masing. Ia sedikit berlari agar segera sampai ke mobilnya. Alvin mengendarai mobilnya dengan denga kecepatan penuh. Ia tidak memperdulikan teriakan-teriakan yang terus memperingatinya agar berhati-hati. Namun, hal itu tampak seperti angin lewat saja. Alvin tidak memperdulikannya sama sekali. Fikirannya terus menuju ke sang istri. Alvin bisa bernafas lega saat ia mulai dekat dengan rumahnya. Sebentar lagi ia akan bertemu dengan istrinya. &nbs
Clara dan Rafa menyelusuri lorong dengan terus melontarkan canda tawa. Mereka bahkan tidak memperhatikan sekelilingnya yang menatap mereka aneh. Mereka terlalu ribut untuk ukuran dua orang yang saling melemparkan candaan. Bahkan, suara mereka berdua sampai memenuhi lorong kampusnya. Saking ributnya."Hei. Kamu tahu, aku dulu pernah menyukaimu? Aku yakin jika kamu tidak percaya tentang ini. Bagaimana bisa aku menyukai gadis cerewet tanpa bakat sepertimu? Aku bahkan tidak percaya semua ini." Ucap Rafa disertai dengan kekehan."Apa katamu. Aku sih percaya-percaya saja jika kamu pernah menyukaiku. Aku ini gadis yang penuh pesona. Jadi wajar, jika banyak laki-laki yang menyykaiku. Tunggu, apa katamu? Aku tidak memiliki bakat? Sepertinya kamu harus menarik kata-kata mu mulai dari sekarang. Karena aku bukan gadis yang seperti itu. Aku terlahir sebagai gadis yang penuh bakat." Ucap Clara sembari terus menyombongkan diri.
Devan menyambut kedatangan Nathan dan Clara dengan senyuman lebar. Ia kembali lebih awal bersama dengan kakeknya. Setelah menyindir habis-habisan sang kakek waktu itu kakeknya menjadi rajin sekali menjemput Devan. Sang kakek merasa bersalah karena kurang memberikan perhatian untuk Devan. Devan merentangkan tangannya. Gestur minta dipeluk. Tidak tahu kenapa, Devan begitu merindukan mereka. Padahal mereka bertemu tadi pagi. Bukankah hanya beberapa jama yang lalu? Clara dan Nathan menyambut pelukan Devan. Mereka tersenyum lebar saat melihat tingkah Devan yang begitu menggemaskan."Devan merindukan kami,huh? Padahal kita tidak bertemu hanya kurang dari sepuluh jam." Ucap Clara sembari terkekeh."Tentu saja. Bahkan Devan merindukan kalian setiap detiknya. Jangankah sepuluh jam, satu menit pun aku selalu merindukan kalian. Ah iya, tadi aku pulang bersama kakek. Kalian tidak