“Aku tidak sedang cemburu, Wifey. Aku hanya tidak ingin siapapun menyentuh apa yang sudah menjadi milikku. Sekarang jawab pertanyaanku, apa hubunganmu dengan Fynn? Ada hubungan apa di antara kalian?”
"Dan itu sebutannya apa yang lebih tepat kalau bukan cemburu?"
Apa Liam akan mengelak lagi? Atau itu hanyalah khayalan Elena saja? Liam cemburu padanya? Suatu hal yang paling mustahil terjadi.
"Mengamankan apa yang sudah menjadi milikku."
See? Ternyata memang Elena saja yang terlalu banyak menduga-duga. Lagipula dengan wajah dan tubuh seindah itu, mana mungkin Liam tertarik padanya, di saat pastinya banyak wanita yang bersaing memperebutkan perhatiannya.
"Oh ya ya ... Mengelaklah sesukamu, Liam. Lagipula tadi aku hanya becanda saja, bagaimana pria sepertimu yang aku yakin sekali tidak akan pernah kekurangan wanita cantik bisa cemburu padaku yang tak terlihat ini."
Gerakan dansa Liam terhenti dan Elena nyaris tersandung kaki pria itu,
"Kamu bukan hantu, Wifey."
"Yang bilang aku hantu siapa?"
"Barusan kamu bilang kalau kamu tidak terlihat."
Liam menyipitkan matanya saat bahu Elena terguncang oleh tawanya, awalnya hanya kikikan pelan, namun lama kelamaan menjadi gelakan tawa.
Bagaimana Elena tidak tergelak karenanya, Liam sama sekali tidak memahami apa yang Elena maksud barusan.
Hantu?
Bagaimana pria itu bisa mengarah ke sana?
"Apanya yang lucu?" tanya Liam dengan dongkol.
Mungkin Liam sedikit bingung, karena selama ini wanita hanya bisa memujanya saja, bahkan wanita tercantik sekalipun. Tapi wanita yang berdiri di depannya saat ini, yang kini telah resmi menjadi istrinya telah berani menertawakannya, entah apa yang lucu dari dirinya.
"Tidak, bukan apa-apa," jawab Elena di sela tawanya, ia bahkan menyadari beberapa pasang mata yang mengarah padanya, baik dari pria maupun wanita.
"BIsakah kamu berhenti tertawa?"
Elena berdeham pelan sebelum merespon,
"Ok, maafkan aku kalau kamu terganggu dengan tawaku."
"Bukan karena aku terganggu, Wifey. Tapi karena tawamu itu terlalu renyah, hingga aku tidak mau pria lain mendengarnya."
"Cemburu lagi pada wanita buruk rupa sepertiku?"
Sekali lagi harus Elena tekankan, itu adalah suatu hal yang mustahil terjadi. Setidaknya tidak dengan penampilan Elena yang sekarang ini. Bukan Elena yang menjadi incaran para pria lajang mapan di Eropa.
Mata Liam menatap penuh mata Elena dengan kacamata tebal yang bertengger di hidungnya. Perlahan ia melepaskan kacamata itu namun Elena menahan tangan Liam agar tidak melepaskan kacamatanya,
"Siapa yang berani bilang kalau kamu buruk rupa? Apa sebelumnya ada pria yang menghinamu?" tanya Liam. Tangannya masih memegang kacamata Elena, seolah akan segera membuangnya jauh-jauh jika Elena mengizinkannya.
"Tidak."
"Lalu kenapa kamu menilai dirimu sendiri seburuk itu? Apa kamu tidak pernah bercermin sebelumnya? Karena jelas sekali kacamata konyol ini menjadi fokus utama seseorang saat melihatmu, alih-alih kedua matamu yang terlihat indah itu."
Seketika itu juga jantung Elena berdetak dengan cepat. Memang selama mereka melakukan hubungan intim Elena tidak mengenakan kacamata, tapi ia sangsi Liam memperhatikan kedua matanya, karena pria itu terlalu fokus memberikan kenikmatan untuk Elena.
Lagipula suasana kamar malam itu sedikit temaram. Dan dengan tubuh mereka yang sama polosnya, kecil kemungkinan mata Elena yang menjadi fokus utama pria itu.
Ya, sepertinya perhatian penuh Liam semalam hanya berfokus pada kedua bukit kembar Elena saja. Karena pria itu jarang sekali menjauh dari keduanya, bahkan terlihat layaknya bayi besar yang sedang menyusu pada ibunya.
Dan kalau saat ini Liam memberikan perhatian penuh pada matanya, Elena takut kalau penyamarannya akan segera terbongkar.
Siapapun yang kenal Elena dengan sangat baik, pastinya akan langsung dapat mengenalinya hanya dari tatapan pertama mereka, bahkan jika Elena menggunakan msker wajah sekalipun.
Tidak, Elena tidak mau mengambil resiko itu.
"A ... Aku tidak dapat melihat tanpa kacamata ini, tolong jangan lepaskan di tempat umum," pinta Elena. Semakin sedikit yang memperhatikannya, akan semakin kecil kemungkinan rahasianya terbongkar.
"Tapi saat kita bercinta semalam, sepertinya penglihatanmu tidak bermasalah tanpa kacamata ini."
Astaga ... Haruskah Liam mengungkit percintaan mereka semalam di saat seperti ini?
"Bagaimana kamu bisa tahu kalau penglihatanku tidak bermasalah semalam? Lagipula kalau dari jarak sedekat itu aku masih dapat melihatmu, meski sedikit buram," elak Elena.
"Besok sebelum ke rumahku, sebaiknya kita mampir ke salah satu optik."
"Untuk apa? Kacamataku masih terlihat bagus."
"Untuk mengganti kacamata jelek itu dengan kotak lensa, kamu pasti akan terlihat jauh lebih cantik nantinya."
Elena menepis kasar tangan Liam yang tengah menangkup pipinya itu,
"Aku tidak mau terlihat cantik. Aku tidak mau menjadi pusat perhatian. Aku lebih suka menjadi aku apa adanya. Jadi tolong, jangan pernah mengubahku menjadi wanita lain."
Menjadi Elena yang sebenarnya maksudnya.
"Aku tidak sedang ingin mengubahmu menjadi siapapun, Wifey. Aku hanya ingin kamu terlihat cantik di hari pertama bertemu dengan keluargaku."
Liam mengumpat pelan saat mendapati raut wajah Elena yang berubah menjadi sendu. Ia merutuki dirinya sendiri karena asal bicara tadi,
"Bukan berarti kamu tidak cantik sekarang ini, hanya saja kamu akan terlihat jauh lebih cantik nantinya." ia segera meralatnya.
"Bisakah aku bertemu dengan keluargamu dengan menjadi diriku sendiri? Aku takut sekali kalau aku harus menjadi wanita lain," pinta Elena.
"Melepas kacamatamu dan menggantinya dengan kontak lensa bukan berarti membuatmu menjadi wanita lain, Wifey. Hanya penampilanmu saja yang berubah, dan bukannya kepribadianmu."
"Aku akan jauh lebih percaya diri dengan apa adanya aku sekarang ini, Liam. Please, mengertilah ... "
"Ok, baiklah aku tidak akan mengganti kacamatamu itu. Segera beritahu aku kalau kamu sudah berubah pikiran." Pada akhirnya Liam menyerah.
Sambil memekik riang Elena langsung memeluk Liam, untuk saat ini ia berhasil memenangkan perdebatan mereka,
"Terima kasih, Liam. terima kasih ... Aku ingin keluargamu dapat menerimaku apa adanya."
"Sudah berkali-kali aku tegaskan mereka pasti akan menerimamu, Wifey. Karena selama ini mereka ... "
"Menginginkanmu segera menikah!" Elena yang melanjutkan ucapan Liam, karena ia telah hafal betul dengan penjelasan pria itu.
"Lihatlah, kita sudah saling mengerti sekarang ini. Bukankah ini awal yang bagus untuk rumah tangga kita?" tanya Liam lembut.
"Bisa dibilang iya," jawab Elena, ia memberikan senyuman terbaiknya pada Liam yang langsung menelan salivanya,
"Sebaiknya kamu ikut aku sekarang!" serunya dengan tidak sabar.
"Ke mana?" tanya Elena, ia berusaha melepaskan tangannya dari Liam, tapi pria itu menggenggamnya dengan sangat erat,
"Ke bawah jembatan di sana itu."
"Ada apa di sana?"
"Kita akan bercinta di sana, karena aku sudah tidak dapat menahannya lagi."
"Kita akan bercinta di sana, karena aku sudah tidak dapat menahannya lagi.""Astaga Liam, bagaimana kalau ada yang melihat?""Sebaiknya kamu lihat ke sekelilingmu, apa yang sedang mereka lakukan?"Dan Elena pun terdiam. Karena beberapa pasangan lainnya tengah memadu kasih di tempat yang mereka rasa cukup aman. Yang pastinya akan menjadi sebuah skandal yang sangat memalukan jika Elena yang melakukannya."Tidak, aku tidak mau di sini! Lebih baik kita kembali ke Villa saja," pintanya dengan panik."Tidak akan ada yang mengganggu kita, Wifey." bujuk Liam yang tidak paham sama sekali apa yang sedang menjadi dilema untuk Elena.Elena menghentak kasar tangannya hingga terlepas dari genggaman tangan Liam, bersamaan dengan langkah kakinya yang terhenti, "Aku tidak mau! Melakukan hubungan itu di tempat umum seperti ini, di mana siapapun dapat melihat kita? Aku tidak dapat melakukannya, Liam!"Bahkan saat tengah luar biasa marah atas ide gila Liam itu, suara Elena masih terdengar sangat lembut
Sebenarnya ia tidak sedang mengelak, karena malam itu ia memang sedikit mabuk, dan setengah akal sehatnya sudah pasti akan terlelap, dan setengahnya lagi tidak bekerja dengan baik.Ya, pasti karena itu."Kalau tahu akan seperti ini, seharusnya aku membiarkan kamu setengah mabuk sebelum kita melakukan perjalanan panjang ini.""Jadi, kita non stop ke Miami?""Kenapa pertanyaanmu itu terdengar seperti sebuah keluhan? Kamu tidak kuat melalui perjalanan panjang selama delapan jam?" tanya Liam."Sejujurnya ya. Umm, bisakah kita berhenti di suatu tempat, aku butuh merenggangkan kakiku agar tidak bengkak," pinta Elena."Sudah pasti kita akan berhenti nantinya, Wifey. Kita akan bermalam di salah satu hotel nanti."Saat itu Elena pun bernapas dengan lega. Ia selalu merasa tidak nyaman jika hanya berdiam di satu tempat saja dalam waktu yang lama."Syukurlah. Tapi kenapa harus bermalam? Istirahat satu atau dua jam saja sudah cukup kok untukku.""Aku ingin kita sampai di rumahku tepat sebelum maka
Miami, salah satu kota yang menawarkan penduduknya limpahan sinar matahari. Kota yang kaya akan budaya, bisnis yang berkembang pesat, makanan kelas dunia, dan lebih banyak lagi pesona yang kota ini tawarkan, termasuk juga pantai indahnya, serta kehidupan malamnya yang semarak.Rumah keluarga Liam sendiri terletak di barat daya downtown Miami, Coral Gobles. Salah satu kota tertua di South Florida. Rumah yang terlihat begitu mewah dan Artsy. Jelas sekali Arsitek dan Interior Decorator rumah itu begitu menguasai arsitektur yang berseni tinggi. Rumah dengan desain Mid-Century Modern itu menggunakan material beton, kayu eboni, dan kaca di hampir di seluruh bagian rumah. Sehingga terkesan modern, maskulin dan sophisticated.“Sudah siap bertemu dengan keluargaku?” tanya Liam sebelum menggandeng lengan Elena yang tengah mengagumi rumah mewahnya itu.Elena membetulkan letak kacamatanya sebelum mendesah pelan dan menjawab, “Siap tidak siap, aku harus siap.”Liam pun tergelak,. “Astaga, aku sep
Selesai membersihkan dirinya, Elena tidak menemukan Liam di balkon, tempat terakhir Liam terlihat. Bahkan di ruang santai kamar mereka pun suaminya itu tak terlihat juga.Mengira Liam telah lebih dulu turun untuk makan, Elena pun keluar dari kamarnya menuju dapur, aroma makanan seketika menyeruak masuk ke dalam lubang hidung Elena, membuat perutnya terasa bergolak bersamaan dengan rasa lapar yang tiba-tiba saja ia rasakan."Kenapa kamu menikah dengan wanita asing? Wanita yang bahkan asal-usulnya kamu sendiri pun tidak mengetahuinya! kenapa kamu bisa seceroboh itu, Liam? Bagaimana kalau ternyata wanita seorang buronan? Seorang penjahat? Atau bagaimana kalau dia seorang pelacur? Astaga Liam, apa kamu sudah kehilangan akal sehatmu?"Terdengar cecaran pertanyaan seorang wanita yang membuat langkah kaki Elena terhenti. Mungkinkah wanita itu adalah mommynya Liam?Buronan? Penjahat? Pelacur? Ya Tuhan ... Elena sungguh tidak menyangka keluarga Liam mengira ia serendah itu."Siapa dirinya, dan
"Wanita itu bukanlah seorang wanita penghibur. Karena aku yang pertama dengannya! Jangan bilang aku bodoh karena tidak bisa membedakan mana wanita yang masih suci dan mana yang tidak!""Apa kamu yakin?" Tetap saja mommy Yvette meragukannya."Aku bukan anak kecil lagi Mom yang tidak bisa membedakan wanita yang masih virgin dan yang sudah tidak virgin lagi. Apa selama ini Mommy tidak pernah mendengar reputasiku sejauh menyangkut wanita?""Tentu saja Mommy pernah mendengarnya. Reputasi sialan yang membuat Mielda ragu untuk melanjutkan hubungan kalian ke jenjang yang lebih serius lagi!""Apa Mommy yakin reputasi itu yang membuat Mielda pergi dariku?" Elena dapat menangkap nada sinis di dalam pertanyaan Liam pada mommynya itu."Ya, memangnya alasan apa lagi? Kamu tidak hanya tampan, tapi juga salah satu billionaire paling berpengaruh di negara ini. Wanita mana yang tidak akan tergoda padamu, Liam? Tapi Mielda sepertinya berbeda dengan para wanita yang mengejarmu itu, atau barisan mantan ke
Sebelum mendatangi restoran mewah yang Liam maksud, pria itu mengajak Elena memasuki salah satu butik yang hanya orang tertentu saja yang dapat memasukinya, saking eksklusifnya butik tersebut. “Apa kamu yakin? Harganya pasti mahal sekali, Liam.” Bukan asal tebak, beberapa pakaian Elena di London juga keluaran brand tersebut. Jadi Elena tahu betul berapa jumlah uang yang harus mereka rogoh untuk salah satu koleksi terbaik brand ternama itu.“Harga bukan masalah untukku. Lagipula, aku tidak mau ada yang merendahkan istriku lagi. Dan terutama, untuk memasuki restoran itu kita harus menggunakan pakaian resmi.”Elena melihat pantulan dirinya di cermin yang terdekat dengannya. Saat ini ia hanya mengenakan pakaian santai saja, celana jeans belel yang dipadukan dengan kaos yang terlihat kebesaran di tubuhnya.“Aku pasti akan langsung diusir jika tetap mengenakan pakaian ini,” gumamnya.Ia tahu memang ada beberapa restoran yang menuntut kesempurnaan bukan hanya dari segi makanan yang mereka
Namun kalau ia Bertemu dengan seseorang yang telah lama mengenalnya, pastilah identitasnya akan ketahuan detik itu juga. Jadi, Elena hanya berharap ia tidak bertemu dengan seseorang yang mengenalinya. Semoga saja Tuhan masih berbaik hati padanya.“Anda suka, Mrs. Payne?”“Ya, suka sekali. Terima kasih untuk kerja keras kalian. Aku terlihat seperti seorang princess saja,” kekeh Elena."Anda sudah cantik secara alami. Kami hanhya menonjolkan saja kecantikan anda yang tersembunyi itu, Mrs. Payne. Kalau anda sudah siap, kita bisa menemui Mr. Liam sekarang.""Ya, saya sudah siap. Tolong tunjukkan jalannya." Butik itu terlalu luas, Elena belum menguasai seluk-beluknya.Dan saat ia kembali ke ruang utama, Liam yang tengah menunggunya itu pun tak bisa menutupi keterpukauannya pada penampilan Elena, lehernya bergerak naik turun tiap kali pria itu menelan salivanya. Jelas sekali penampilan baru Elena membuatnya tak dapat berkata-kata.“Kamu cantik sekali, Wifey. Aku jadi ragu untuk membawamu ke
Siang itu Marie Hastingham, Countess of Foxmoore tengah menikmati secangkir teh sambil melihat berita tentang kecelakaan hebat yang menyebabkan Lord dan Lady Penwood kehilangan nyawa mereka satu minggu yang lalu. Berita yang begitu menghebohkan media Inggris saat itu. Hingga hampir semua media menjadikan beritanya sebagai tajuk utama media mereka hingga saat ini. Ia baru akan menyesap tehnya lagi ketika Simon Hastingham, Earl of Foxmoore masuk sambil menggendong seorang anak perempuan berusia sekitar satu tahun. Baik Simon maupun anak itu, keduanya sama-sama mengenakan pakaian hitam, seolah mereka tengah berkabung saja. Marie meletakkan cangkir tehnya dengan anggun, sebelum menghampiri Simon yang terdiam di ambang pintu. Suaminya itu terlihat kebingungan, juga ketakutan. Entah karena apa. “Anak siapa itu, Sayang? Lucu sekali,” tanya Marie sambil melangkah mendekat dan memberikan senyuman lembutnya pada anak kecil itu. Tanpa meminta persetujuan Simon, ia mengambil anak itu dan menggen