“Kita pulang, Tuan?” Tanya Dimas memisahkan Arka yang terlihat tengah asik memeluk Dinara.
“Iya, kita pulang. Aku akan kasih Dinara kesempatan terakhir untuk membuktikan janjinya. Jika dia berani melanggar kontrak lagi, aku bukan hanya akan memukul si bodoh itu, tapi aku akan membuat keluarga istriku ini menderita dan Dinara selamanya akan menjadi tahananku.” Arka dengan sengaja mengancam Dinara agar Dinara tidak berpikir untuk melawannya lagi.Dimas melirik Dinara sekilas yang menatapnya sedih. Dimas tidak perduli apapun selain kebahagiaan Arka sebagai tuannya. Jika Dimas harus menekan Dinara, Dimas juga akan melakukannya.“Saya akan siapkan mobil Tuan.” Dimas berlalu pergi meninggalkan Dinara dengan Arka.Arka tidak memberitahu apa yang baru saja terjadi tadi di rumah orang tua Dinara pada Dimas. Tapi Dimas tidak mungkin untuk tidak tahu karena mereka memiliki banyak mata-mata.Arka merangkul Dinara keluar dari rumah sakit menDinara diam berpikir merenungkan apa yang Sandra katakan tadi. Tadi Sandra sempat memberi Dinara kode kalau Dinara diawasi oleh pelayan dan juga cctv. Dinara memeriksa kamarnya dan melihat seluruh ruang dengan hati-hati. Bahkan Dinara melupakan makanan yang tadi Sandra bawakan. Tak lama, pelayan mengetuk pintu kamar Dinara lalu masuk untuk memastikan kalau Dinara memakan makanannya atas perintah Arka yang sejak tadi sibuk mengawasi Dinara melalui cctv. Melihat pelayan datang, Dinara yakin bahwa apa yang Sandra katakan benar. Kenapa semua ini terjadi ketika Dinara mulai nyaman dengan Arka? Dinara sangat marah sekarang. “Nona Muda ingin apa? Biar kami siapkan. Tapi Nona Muda harus makan ya.” Pelayan tersebut berkata sopan. “Saya gak lapar. Kamu bisa bawa saja makanan itu ke dapur.” Dinara menolak keras dan menatap tak suka pelayan yang tak bersalah itu. “Tapi, Nona Muda, Tuan yang suruh. Saya akan dipecat kalau Tuan tau Nona Muda gak makan.” “Bawa itu atau saya buang? Sudahlah, kal
“Nara, apa kamu pernah bertemu dengan orang tua Arka? Apa kalian saling kenal? Bagaimana respon mereka setelah tau kalau kamu hamil cucu mereka?” Tanya Sandra tiba-tiba seraya menggandeng Dinara berjalan sekitar halaman rumah Arka. Dinara menoleh singkat ke arah Sandra lalu kembali menatap lurus. Sudah sewajarnya jika Sandra ingin tahu maalah ini. “Ya, kita saling kenal dan orang tua Pak Arka juga mendukung saya untuk melahirkan anak ini.” Dinara berkata singkat karena Dinara rasanya malas untuk membahas masalah seperti ini. Sejujurnya Dinara tidak begitu nyaman dengan Sandra dan situasi mereka saat ini. “Kamu dan Arka gak ada perasaan apapun kan? Kalian, maksud saya kamu murni cuman bertugas melahirkan anak itu saja kan? Setelah itu, kamu pergi?” Tampaknya Sandra sangat penasaran dengan perasaan Dinara terhadap Arka. Dinara bingung bagaimana caranya menjelaskan perasaannya sendiri. Dinara memang merasa ada yang berbeda pada dirinya seperti rasa kebergantungan pada Arka. Tapi itu s
Dinara tidak tau apakah dirinya harus senang dan berterima kasih pada Sandra karena telah membantunya keluar dari rumah atau apakah Dinara harus sedih karena Arka jadi berpikir buruk tentangnya. Setelah berpikir panjang akhirnya Arka memutuskan untuk membawa Dinara ke kantor besok sedang hari ini Arka akan bekerja dari rumah. Arka membuka laptopnya dan bekerja di ruang keluarga sedang Sandra berkesempatan untuk bermanja ria pada Arka di depan Dinara yang hal itu tentu membuat Dinara iri. Sandra meletakan kakinya di atas paha Arka sedang kepala Sandra berada di ujung sofa. Jika Sandra sedang santai, maka di sofa lain, Dinara harus mengerjakan hukuman dari Arka. Dinara disuruh menulis kalimat, ‘Saya berjanji bahwa saya tidak akan bersikap kasar pada siapapun’ sebanyak 100 baris. “Sayang, kamu beneran pecat temannya Nara itu?” Sandra tiba-tiba membahas masalah Hardiansyah pada Arka di hadapan Dinara yang spontan menoleh ke arahnya. “Kenapa kamu tiba-tib
Kamu urus dia.” Arka membawa Dinara dengan menggendongnya sedangkan Dimas diminta Arka untuk membawa Hardiansyah ke rumah sakit karena walau bagaimanapun Arka tidak ingin membuat namanya jelek akibat membunuh mantan karyawannya sendiri. Dengan keadaan kacau, Arka menatap wajah Dinara yang masih terlihat berkeringat dan air mata yang membuat jejak di pipi Dinara. Sementara ini, Arka menaruh tubuh Dinara di atas sofa sedang Arka memperbaiki penampilannya. Arka harus keluar dari sana dan membawa Dinara ke tempat yang aman namun Arka harus menunggu Dimas membereskan Hardiansyah lebih dulu. Arka hanya perlu memastikan Dinara tidak bangun sampai mereka sampai di tempat aman itu. “Sayang, kenapa kamu harus melakukan ini? Apa kamu mencintainya? Aku juga bisa melahirkan anak untuk kamu, lepaskan aja dia,” ujar Sandra yang sejak tadi sempat mengintip Arka di kamar mandi lalu Sandra berlari ke ruangan Arka dan menunggu Arka. “Sandra, tolong diamlah untuk saat i
“Sandra, ini bukan saat yang tepat untuk kita honeymoon, oke? Lain kali, kalau masalah ini selesai, aku akan bawa kamu liburan keliling eropa. Tapi untuk sekarang, kamu harus kasih aku waktu untuk menyelesaikan masalah ini.” Tepat saat Arka selesai bicara, suara teriakan Dinara dari dalam kamar terdengar jelas. “Lepaskan aku! Buka ini! Dasar kau psycho sialan!” Semua orang berdiri kaget menoleh ke arah Arka lalu menoleh ke arah pintu kamar Arka yang ada di belakang mereka. “Kalian tunggu di sini, jangan ada yang masuk.” Arka membuka pintu kamarnya yang kini ditempati Dinara dan menutupnya kembali. Sedang kedua orang tua Arka dan Sandra yang penasaran segera berjalan menuju pintu dan menguping. Di dalam kamar Arka. “Mau sampai kapan kamu memberontak? Sampai lelah dan pingsan? Aku juga tetap tidak akan melepaskan kamu sebelum anak itu lahir. Jadi, lebih baik kamu menyerah saja. Aku akan bersikap baik padamu dan aku akan melepaskan si bodoh itu. Bagaimana? Apa sih susahnya untuk hidu
Dinara memikirkan cara untuk bisa keluar dari tempat ia dikurung saat ini. Dinara juga berusha untuk melepaskan tali yang mengikat tangan dan kakinya. Di sisi kirinya, Dinara melihat jendela yang cukup besar, mungkin jika Dinara bisa melepaskan tali tersebut, Dinara bisa kabur tanpa Dinara sadari seluruh tempat itu dijaga oleh petugas keamanan. Bahkan di depan pintu kamar Arka yang saat ini Dinara tempati juga sudah dijaga oleh petugas. Saatnya makan siang. Ketika Dinara masih berusaha melepaskan tali yang mengikat satu tangannya, pintu kamar terbuka membuat Dinara terkejut waspada dan langsung melepaskan tangannya. “Nona muda, saatnya makan siang. Mau makan sendiri atau saya bantu?” Pelayan suruhan Arka meletakkan nampan berisi sepiring makanan dan juga segelas air putih ke atas kasur namun Dinara tidak perduli. Dinara lebih memilih untuk membuang badan dan memunggungi pelayan tersebut. “Bawa saja atau taruh saja di situ. Nanti saya makan kalau saya mau,” jawab Dinara malas membua
“Nyonya, Bu Sandra, tolonglah biarkan saya pergi. Saya tetap akan melahirkan anak ini dan menyerahkannya pada anda, tapi saya mohon, keluarga saya butuh saya.” Dinara berlutut pada mamanya Arka, Nyonya Dena. “Dinara, jangan membuat masalah. Kamu tau apa akibatnya kalau kamu melawan Arka kan? Jangan mengacaukannya lagi, tolong bersikaplah yang baik. Lahirkan anak itu dan kamu bisa pergi. Kalau kamu terus mencari masalah sama suami saya, jadi kapan saya punya waktu untuk berduaan dengan suami saya? Kapan saya bisa liburan honeymoon sama suami saya? Kamu tunggu saja, kalau saya hamil nanti, saya akan suruh suami saya lepasin kamu.” Sahut Sandra memarahi Dinara yang seketika itu terdiam membeku. Benar juga, semua orang tau kalau Sandra adalah istri sah Arka secara hukum, agama dan media. Sedang Dinara adalah istri rahasia yang dinikahi secara siri oleh Arka karena saat itu Dinara sudah terlanjur hamil. “Dinara, saya akan menjamin keselamatan dan kenyaman
"Nyonya, saya cuman, saya hanya tidak bisa tidur. Jadi saya pikir akan lebih baik jika saya jalan-jalan ke sekitar rumah." Dinara tergagap beralasan. "Tolong jangan kasih tau Pak Arka, saya gak mau diikat lagi Nyonya. Saya mohon, ya?" Dinara berlutut di hadapan Nyonya Dena yang menatapnya tajam. "Kalau hanya jalan-jalan, kenapa kamu berjalan di bawah kegelapan? Kenapa kamu memegang telepon? Siapa yang ingin kamu hubungi? Kamu ingin kabur?" Tegas Nyonya Dena lagi mencerca Dinara yang tampak bingung. "Tidak, Nyonya. Saya tidak akan mungkin berani kabur. Saya hanya ingin bicara pada orang tua saya saja. Saya ingin tau kabar mereka, itu saja. Saya tidak bohong Nyonya. Tolonglah Nyonya, hanya 5 menit saja. Saya hanya akan mengatakan pada mereka kalau saya baik-baik saja." Melihat Dinara memohon sampai seperti ini, Nyonya Dena menjadi tidak tega. Nyonya Dena menghela nafas panjang dan menatap wajah Dinara . "Berdiri, saya kasih kamu waktu 5 menit baik orang tua kamu jawab teleponnya atau