Salah satu staf mengangguk dan dengan sopan mengantarkannya ke ruang kerja Regan. Pintu terbuka, dan di sana Regan sedang sibuk menatap layar monitor dengan wajah serius. “Pak Regan, saya Amel, sekretaris baru Anda,” ucap Amel dengan suara lembut dan manja. Regan mengangkat kepalanya. Tidak menyangka jika Amel akan bersikap seperti itu. “Ya, selamat datang Amel. Silakan duduk. Ada beberapa hal yang perlu kita bicarakan.” Amel duduk di kursi di depan meja Regan. Ia berusaha menjaga postur tubuh yang anggun. “Terima kasih, Pak Regan. Saya siap untuk mendengarkan dan belajar.” Regan mengangguk dan mulai menjelaskan tugas-tugas yang akan dikerjakan oleh Amel. CEO tampan itu berbicara tentang jadwal, rapat, dan tanggung jawab administratif lainnya. Amel mendengarkan dengan seksama, tetapi pikirannya berkeliaran ke tempat lain. Ia lebih fokus memperhatikan cara Regan berbicara, gerak tubuhnya, dan ketegangan di wajahnya. Semua itu membuatnya semakin tertarik. Regan memberikan beb
Regan menurunkan tangan Amel dengan tegas. “Sebaiknya kamu kembali ke ruangan kamu.” Amel merasa sedikit tersinggung, tetapi tidak mau menyerah. “Kenapa kamu begitu dingin padaku, Pak Regan? Aku hanya ingin membantu.” Amel mendekat lagi. Kali ini dengan sentuhan lebih lembut di lengan Regan. Regan menarik napas dalam-dalam, berusaha tetap tenang. “Ini bukan tempat untuk hal seperti itu, Amel. Kita di kantor dan aku adalah atasanmu.” Amel mengangguk meski dalam hatinya merasa kecewa. “Baiklah, Pak Regan. Saya minta maaf jika saya terlalu lancang.” Amel berbalik. Ia segera mengumpulkan dokumen yang berserakan di lantai. Setelah Amel pergi Regan duduk kembali di kursinya. Batinnya merasa sedikit terguncang. Ia tahu ada sesuatu yang tidak beres dengan Amel. Tetapi Regan berusaha untuk tetap profesional dalam bekerja. Reina dan Olivia menghabiskan waktu seharian di mall. Selain berbelanja pakaian, mereka juga berbelanja kebutuhan bulanan. Dengan kereta belanjaan penuh, me
Reina merasa cemas. “Mama, sepertinya Pak Regan lembur lagi di kantor. Reina akan mengirim pesan untuk memastikannya.” Reina mengirim pesan kepada Regan. Beberapa saat kemudian balasan dari suaminya masuk. [Maaf, Sayang. Pekerjaan di kantor sangat banyak. Aku harus lembur. Mungkin aku akan pulang larut malam.] Reina merasakan sedikit kekhawatiran. Dia tahu bahwa pekerjaan Regan sebagai CEO memang menuntut banyak waktu, tetapi dia tidak bisa mengabaikan perasaan rindu yang mulai menyerang. “Pak Regan lembur di kantor. Mungkin akan pulang larut malam,” ucap Reina kepada Olivia. Olivia mengangguk mengerti. “Tidak apa-apa, Reina. Pekerjaannya memang berat. Kamu istirahat saja dulu.” Reina memutuskan untuk menunggu Regan di ruang tamu. Dia tidak ingin tidur tanpa memastikan suaminya pulang dengan selamat. Sementara itu di kantor, Regan dan Amel sedang sibuk menyelesaikan laporan keuangan yang harus diserahkan ke dewan direksi. Amel mencoba menjaga jarak profesional, tetapi sesekali
Hari demi hari Regan selalu pulang larut malam. Hal itu menimbulkan kecurigaan dalam benak Reina.Ia berusaha mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang aktivitas Regan di kantor.Tetapi di sisi lain, Reina merasa senang karena kondisi Mama Olivia semakin membaik. Dan suasana di rumah menjadi lebih ceria. Malam itu saat sedang di rumah, Regan berusaha menghindari pembicaraan tentang kantor. Ia lebih banyak diam.Sebenarnya Regan merasa bersalah kepada Reina. Tetapi ia juga tahu bahwa saat ini dirinya sedang membutuhkan bantuan seorang sekretaris.Reina sedang menyiapkan makan malam saat Regan hendak ke kamarnya. Wanita itu merasakan ada sesuatu yang mengganggu suaminya.“Bagaimana pekerjaan hari ini, Pak Regan?” tanya Reina dengan lembut.“Banyak pekerjaan seperti biasa. Tidak ada yang istimewa. Bagaimana keadaan Mama?” jawab Regan mengalihkan topik pembicaraan.“Mama semakin membaik. Terima kasih sudah mengizinkan Dokter Morgan untuk terus memeriksa Mama.” Reina tersenyum lalu mem
Amel tersenyum tipis. Ia mendekat dengan berkas di tangannya. Wanita itu kemudian duduk di kursi di depan meja Regan. “Bagian ini, Pak Regan.” Amel menunjuk pada satu paragraf. “Saya tidak yakin bagaimana cara menafsirkannya.” Regan melihat lebih dekat. Tetapi Amel memanfaatkan momen itu untuk menatap Regan dari jarak dekat. Ia berharap kedekatan fisik ini akan membuat Regan lebih mudah digoda.“Ini tentang proyek yang sedang berjalan. Angka-angka ini menunjukkan progresnya,” jelas Regan.“Terima kasih, Pak Regan. Bapak sangat baik hati.”Regan mengangguk tanpa banyak bicara. Ia berusaha mencari cara agar Amel segera pergi dari ruangannya. Tetapi sebelum Regan bisa mengatakan sesuatu, telepon di mejanya berbunyi. Hal itu merupakan kesempatan bagus baginya.“Maaf, saya harus mengangkat telepon ini,” ucap Regan.Amel merasa kecewa. Tetapi ia tidak punya pilihan lain selain meninggalkan ruangan CEO itu. Siang itu saat kantor sudah mulai sepi karena karyawan sedang beristirahat, Amel
Regan memandang Reina dengan penuh penyesalan. Ia tidak mau jika ada pertengkaran di antara mereka. Meski CEO tampan itu tahu bahwa semua ini memang salahnya. Reina tersenyum lembut melihat kesungguhan pada kedua mata suaminya. Hati wanita itu sedikit lega mendengar kata-kata Regan. “Reina hanya menginginkan kejujuran dan perhatian Pak Regan. Itu sudah lebih dari cukup.” Regan mengangguk mengerti. “Baiklah, Sayang. Sekali lagi, maafkan aku ya?” Reina tersenyum kembali. Kemudian ia menyentuh pipi suaminya dengan lembut. “Ngomong-ngomong Reina sebenarnya datang ke sini atas perintah Mama. Mama sudah mau ditinggalkan sendiri di rumah. Mama sudah kuat dan mandiri sekarang.” “Itu kabar yang baik, Sayang. Berarti kita bisa merencanakan sesuatu yang spesial.” Regan merangkul pundak Reina dengan penuh semangat. “Sesuatu yang spesial?” ulang Reina sambil menatap suaminya dengan penuh harap. “Bagaimana kalau hari ini kita makan malam di sebuah restoran? Untuk quality time kita. Dan hitu
Kedua mata Reina melotot tajam. Tetapi akhirnya ia hanya bisa pasrah dan menganggukkan kepalanya. Sementara di ruangannya, Amel berjalan mondar-mandir tak tenang. Ia penasaran apa yang sedang dilakukan Regan dan Reina di dalam ruangan CEO. Setelah beberapa saat Amel memutuskan untuk diam-diam membuka pintu ruangan CEO dan mengintip ke dalam. Pemandangan yang ia lihat membuat hatinya berdesir. Ruangan itu sudah sangat berantakan. Pakaian berserakan di lantai dan ia bisa mendengar suara desahan dan lenguhan dari dalam ruangan pribadi Regan. Amel berjalan perlahan, mengikuti jejak pakaian Reina yang berserakan di lantai. Setiap langkah kakinya semakin menambah perasaan cemburu dan sakit hati di hatinya. Saat dia mendekati ruangan pribadi Regan, suara desahan semakin jelas terdengar. Amel merasa dadanya sesak. Melihat betapa intimnya hubungan Regan dan Reina. Amel merasakan kebencian yang membara di hatinya. “Lihat saja, Reina. Apa yang akan aku lakukan kepada Regan nanti,” gumamny
Suara itu sangat familiar. Membuat Reina mengangkat wajahnya. Di depan matanya berdiri Leon yang terlihat mengkhawatirkan dirinya. “Leon...?” Reina hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Leon segera melepas jaketnya dan menaruhnya di bahu Reina. Mencoba melindungi wanita itu dari hujan. Meski kenyataannya Reina sudah terlanjur basah. “Kenapa kamu di sini sendirian dan basah kuyup seperti ini? Kamu bisa sakit, Reina.” Reina menggigil. Baik karena dingin maupun perasaan campur aduk di dalam hatinya. “A–aku ... aku hanya butuh waktu sendirian, Leon.” Leon yakin jika terjadi sesuatu di antara Reina dan Regan. Leon menggelengkan kepalanya. Ia merasa prihatin. “Ayo, kita masuk ke mobil. Kamu bisa menghangatkan diri di sana.” Leon membantu Reina berdiri dan membawanya ke dalam mobilnya yang hangat. Setelah mereka masuk, Leon menyalakan pemanas dan memberikan handuk kecil yang dia temukan di mobilnya. “Keringkan dirimu sebentar. Kamu tidak bisa terus seperti ini.” Rein