Sore....
Pagi yang cerah menyambut perjalanan Reina dan Regan untuk menemui Alice. Udara segar mengalir melalui jendela mobil yang setengah terbuka, membawa harapan baru setelah semua yang telah mereka lalui. Sinar matahari menyinari jalan-jalan kota, menciptakan bayangan panjang yang menambah keheningan suasana. Reina menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi, pikirannya melayang pada pertemuan yang akan segera terjadi. Regan merasakan hatinya berdebar, tidak sabar untuk menyelesaikan semua masalah yang melibatkan keluarganya. Reina di sampingnya, menggenggam erat tangan Regan. “Apakah kamu yakin ini langkah yang tepat, Pak Regan?” “Kita harus menyelesaikan ini, Reina. Alice adalah adikku dan aku tidak akan membiarkan dia menderita lebih lama lagi. Alice perlu tahu bahwa kita ada di sini untuknya. Dia tidak sendirian.” Reina mengangguk paham. Beberapa waktu kemudian mereka berhenti di sebuah tempat makan sederhana membeli sarapan untuk Alice. Reina memilihkan makanan favorit adik ipar
Sesampainya di rumah, mereka disambut dengan penuh kebahagiaan oleh Olivia. Wanita paruh baya itu memeluk Reina erat, air mata kebahagiaan mengalir di pipinya. “Aku sangat bahagia melihat kamu kembali, Reina,” kata Olivia dengan suara gemetar. Reina membalas pelukan itu dengan penuh kehangatan. “Aku juga, Mama. Terima kasih sudah selalu mendukung kami.” Olivia mulai menanyakan semua hal yang telah terjadi. Ia penasaran bagaimana Regan bisa menemukan Reina dan berhasil membawanya pulang kembali. Reina dan Regan menceritakan dengan detail dan jujur. Mereka tidak ingin menutupi apapun itu. Kecuali tentang Alice. “Apakah kalian sudah makan? Kalau tidak keberatan mama akan memasakkan menu spesial untuk kalian berdua.” “Tentu saja kami tidak keberatan Ma,” balas Reina. “Dan Regan sangat merindukan masakan Mama,” imbuh Regan penuh semangat. Malam itu Regan sangat bahagia bisa berkumpul bersama mama dan sang istri kembali. Ia benar-benar merasa bersyukur atas segala nikmat yang ia rasa
Reina membisikkan sesuatu di dekat telinga Regan. “Iya aku mengerti, Reina. Tentu saja aku mau. Tapi setelah sarapan, ya?” balas Regan. “Dan kita harus memberitahukan hal ini kepada Mama.” Regan mengangguk setuju. Mengungkapkan niat mereka kepada Olivia. Setelah sarapan pagi yang penuh dengan percakapan hangat, mereka bersiap-siap untuk pergi ke rumah Danny. Dengan bukti-bukti yang sudah dikumpulkan, mereka merasa lebih kuat dan siap untuk menghadapi Amel. Sesampainya di rumah Danny, mereka disambut oleh Amel yang tampak sangat gembira. Amel tidak bisa menyembunyikan senyum lebarnya. Ia berpikir jika Regan datang untuk menyatakan bahwa lelaki itu akan segera menikahinya. “Regan, aku tahu kamu akan melakukan hal yang benar,” ucapnya penuh harap. Namun senyum di wajahnya perlahan memudar saat melihat ekspresi tegas Regan dan tatapan penuh kecewa dari Reina. Regan menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara. “Amel, kami datang untuk menyelesaikan semua ini. Aku punya bukti b
Setelah beberapa hari di rumah sakit, akhirnya dokter memberikan izin kepada Danny untuk pulang. Kondisinya sudah stabil meskipun ia masih membutuhkan banyak istirahat dan perhatian. Reina dan Regan dengan hati-hati merencanakan segala sesuatunya untuk kepulangan Danny. Mereka memutuskan untuk membawa Danny ke rumah baru yang telah mereka siapkan. Pagi itu Reina dan Regan tiba di rumah sakit dengan penuh semangat. Mereka siap membawa Danny pulang dan memulai babak baru dalam hidup mereka. Danny tampak lebih baik, meskipun masih lemah. Ia tampak senang bisa pulang dari rumah sakit. “Bagaimana perasaanmu, Ayah?” tanya Reina dengan lembut. Ia membantu ayahnya duduk di kursi roda. “Aku merasa lebih baik. Terima kasih, Reina. Terima kasih Regan,” jawab Danny dengan senyum tipis. Regan mengangguk dan tersenyum. “Kita akan segera sampai di rumah, Ayah. Tempat yang tenang dan nyaman untukmu beristirahat.” Mereka bergerak perlahan menuju mobil yang sudah diparkir di depan rum
Reina terpesona mendengar suara suaminya. Suara Regan yang dalam dan penuh perasaan membuatnya merasa hangat dan tenang. Setiap lirik yang dinyanyikan Regan membawa kenangan indah dan harapan baru dalam hati Reina. Regan melanjutkan lagunya, matanya tak pernah lepas dari wajah istrinya. “Kaulah bintang dalam gelapku, sinarmu menerangi jalanku. Bersamamu, aku merasa hidup.” Reina menutup matanya, meresapi setiap kata dan melodi yang mengalun dari suara suaminya. ‘Rasanya seperti mimpi. Mendengarkan Pak Regan menyanyi khusus untuknya. Hatiku terasa penuh dengan cinta dan kebahagiaan yang melimpah.’ Setelah lagu itu berakhir, Regan kembali menatap Reina. “Bagaimana, Sayang? Apakah aku berhasil membuatmu merasa lebih baik?” Reina membuka matanya dan tersenyum. Air mata kebahagiaan mengalir di pipinya. “Itu sangat indah, Pak Regan. Terima kasih.” Regan mendekat dan menghapus air mata di pipi Reina. “Aku akan selalu ada untukmu, Reina. Aku berjanji.” Reina mengangguk pelan, meras
“Ini dari sekolah Rafa,” kata Reina dengan nada sedikit bingung. Ia segera mengangkat telepon tersebut. “Halo, ini Reina, ada apa?” Suara dari seberang terdengar tenang namun mendesak. “Selamat pagi, ini dari sekolah Rafa. Kami ingin mengingatkan bahwa hari ini adalah waktu penjemputan Rafa setelah acara menginap selesai.” Reina mengangguk paham. “Oh, terima kasih sudah mengingatkan. Kami akan segera menjemputnya.” Setelah menutup telepon, Reina berpaling ke arah Regan yang menatapnya dengan penuh perhatian. “Sekolah mengingatkan kita untuk menjemput Rafa pagi ini. Acara menginapnya sudah selesai.” “Tetapi kita pagi ini harus ke klinik, Reina?” tanya Regan, raut wajahnya menunjukkan keraguan. “Aku tahu, tapi kita bisa menunda ke klinik sebentar. Rafa butuh dijemput sekarang,” jawab Reina tegas namun lembut. “Baiklah, kita jemput Rafa dulu. Setelah itu, kita langsung ke klinik.” Setelah sarapan bersama Danny, mereka berbicara sejenak dengan ayah mereka di meja makan. “Ada apa,
“Iya, Pak Regan. Aku merasa sedikit mual dan pusing, tapi aku yakin ini bukan masalah yang serius.” Namun saat mereka baru saja ke luar rumah, Reina tiba-tiba memegangi perutnya dan wajahnya berubah pucat. “Aduh, aku merasa mual lagi,” katanya dengan suara lemah. Regan segera mendekat, memegang bahu istrinya. “Kita ke klinik sekarang juga. Aku tidak ingin mengambil risiko.” Perjalanan ke klinik berlangsung dalam keheningan yang tegang. Regan terus memandang Reina dengan cemas, sementara Reina mencoba menenangkan dirinya. Setibanya di klinik, mereka segera menemui dokter. Setelah melakukan beberapa pemeriksaan, dokter tersenyum lembut. “Jangan khawatir, Bu Reina. Mual dan sakit kepala seperti ini adalah hal yang wajar selama kehamilan. Kondisi Anda baik-baik saja.” Regan menghela napas lega. “Terima kasih, Dokter. Kami sangat khawatir.” “Pastikan saja untuk istirahat yang cukup dan makan makanan yang sehat. Jika ada keluhan lain, segera hubungi kami.” Setelah mendapatkan penjel
Dengan berat hati Reina merelakan kepulangan Regan ke rumahnya. Pasti Olivia juga sangat mengkhawatirkannya. Dan pekerjaan juga membutuhkan seorang Regan. Apalagi Jeffan yang harus sering bekerja seorang diri tanpa Regan. “Hati-hati, Pak Regan.” “Tentu, Sayang. Tapi kamu harus tidur dulu. Baru aku bisa pulang dengan tenang.” “Baiklah. Reina akan tidur.” “Besok-besok jangan lupa untuk selalu minum obat dan vitamin,” peringat Regan tidak mau istrinya melupakan kesehatan diri dan calon buah hati mereka. Reina mengangguk pelan. “Pak Regan harus sering-sering mengirim pesan. Jangan lupakan Reina.” Wanita itu berbicara dengan nada manja. Sebenarnya ia sedih karena di saat hamil harus berjauhan dengan sang suami tercinta. “Mana mungkin aku melupakan kamu, Sayang. Aku akan sering-sering mengirim pesan. Bahkan meneleponmu.” “Janji?” Reina mengulurkan jari kelingkingnya. “Janji, Sayang.” Reina pun segera memejamkan kedua matanya. Hingga tak lama kemudian sudah terlelap. Regan mengecup