Hm, apa nih?????
Reina sudah merasa ngos-ngosan. Ia menundukkan tubuhnya sambil mengatur nafasnya yang berantakan. “Maaf,” ucap Regan sambil membukakan pintu untuk istrinya. Reina melirik kesal. Tidak habis pikir dengan sikap Regan yang kembali menyebalkan. “Bukan maksudku untuk meninggalkanmu. Tadi mesinnya agak rewel.” ‘Tidak masuk akal sekali alasannya.’ Reina hanya bisa membatin. Ia tidak ingin dianggap bertengkar. Apalagi ada Rafa yang duduk di belakang. Adiknya tersebut terlihat sedang asyik bermain mobil-mobilan. “Mainannya baru lagi, Dek?” tanya Reina kepo. “Em ... suami dicuekin. Terus ngalihin pembicaraan. Cerdas sekali istriku.” “Sudahlah, Pak. Reina sudah memaafkan kok. Nggak perlu dibahas lagi.” Reina bertanya kembali kepada Rafa untuk mengusir ketidaknyamanan suasana di dalam mobil. “Iya Kak Reina. Kak Regan yang beliin. Bagus 'kan mainannya.” Refa terlihat sangat senang. “Pak Regan kok sering-sering beliin Rafa mainan sih?!” protes gadis itu kepada suaminya. “Kenapa? Kamu mau
Namun tiba-tiba terdengar pintu kamar terbuka. Membuat Regan refleks menjauhkan kepalanya dan melihat ke arah pintu. Sementara Reina segera berlari untuk mengenakan pakaian setelah tadi sempat tertunda akibat ulah Regan. “Rafa, ada apa?” tanya Regan lembut. Ia segera menghampiri adiknya tersebut. “Rafa minta maaf ya, Kak. Rafa tidak bisa tidur. Mungkin karena kamarnya terlalu luas. Dan tidak terbiasa tidur sendirian.” Adik kecil itu terlihat sungguh-sungguh dalam berbicara. Reina pun segera muncul dengan pakaian barunya. “Kasihan kamu, Dek. Ya sudah kakak temani, ya?” Tangan Reina terulur mengusap kepala Rafa. Reina pun segera meninggalkan kamarnya. Ia menemani adiknya tidur di kamar Rafa. Sementara Regan merasa sedikit kesal. Rencananya gagal. Padahal ia sudah membayangkan sesuatu hal yang indah. Sedetik kemudian ponselnya berbunyi. Pesan dari sang asisten. “Aku harus menemuinya.” Tanpa berpikir panjang Regan meninggalkan apartemennya. Ia bergegas pulang ke rumah mama tiriny
Reina tersadar dengan keadaan kedua matanya tertutup oleh sebuah kain hitam. Gadis itu tidak bisa melihat apa-apa. Namun ia dapat merasakan seseorang tengah menyentuh dirinya.“Siapa kamu?! Lepaskan, aku!” teriak Reina sambil menggelengkan kepalanya berkali-kali.“Nyonya Reina tidak perlu takut. Kami tidak akan menyakiti Anda,” balas seorang wanita kepada Reina.Reina merasa heran. Kenapa dirinya harus diperlakukan seperti itu. ‘Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Tetapi sepertinya mereka tidak macam-macam kepadaku. Sebaiknya aku menurut saja.’Beberapa jam lamanya Reina duduk dan merasakan dirinya sedang dirias. Bahkan pakaiannya telah berganti.Setelah itu Reina dibawa masuk kembali ke dalam mobil dan dibawa ke suatu tempat yang tak ia ketahui.“Aku mau dibawa ke mana? Tolong beritahu kepadaku tentang maksud semua ini?” Reina masih berusaha untuk mencari tahu.“Tenanglah, Nyonya. Sebentar lagi kita akan sampai. Kami tidak boleh memberitahukan apapun kepada Nyonya.”Tidak ada gunanya lag
Lelaki tampan itu bergegas meninggalkan meja makan. Ia berniat naik ke lantai atas dan masuk ke dalam kamar. “Yah, Kak Regan kok ninggalin Alice sih?? Kan aku masih kangen.” Gadis genit itu mengerucutkan bibirnya. “Lihatlah, Oma. Sudah lama kami tidak berjumpa. Masak Alice dicuekin sih?!” Reina menahan diri untuk tidak tertawa. Ia sangat senang melihat ekspresi Alice yang penuh rasa kecewa. Siapa suruh berani menggoda suaminya di depan mata. Namun di sisi lain Reina merasa khawatir dengan Regan. Ia takut jika suaminya tersebut benar-benar sakit kepala. “Biasanya kalau lelaki sakit kepala obatnya apa ya?” lirih Reina seorang diri. “Begitu saja kamu tidak tahu, Reina?” celetuk Xavier yang tanpa sengaja mendengar kicauan kecil kakak iparnya. “Kamu hanya perlu menggodanya dan ehem. Kamu pasti tahu lah ya, adegan selanjutnya.” Xavier sedikit gemas kepada Reina yang terlihat berpikir keras. Lelaki itu pun segera berdiri dari duduknya seraya berkata, “Xavier juga sudah selesai, Oma. Mal
“Pak Regan, lepaskan!” Akhirnya Reina berhasil mendorong tubuh Regan. Dadanya naik turun. Nafasnya masih belum stabil. Sedangkan keadaan gadis itu sudah sangat kacau. Regan tersenyum miring. Tangan kanannya mengusap bibirnya yang telah basah. Lelaki itu benar-benar telah hilang kendali. “Siapa suruh tadi kamu mencium bibirku? Mau lagi? Hm?!” ucapnya ambigu. “Tapi 'kan Reina hanya berusaha menghibur Pak Regan. Agar Pak Regan tidak ngambek lagi. Itu saja, kok. Beneran deh!” Reina memperlihatkan jemarinya yang membentuk huruf V. Sebagai tanda ia tidak berbohong. “Dan harusnya kamu tahu, Reina. Aku adalah lelaki dewasa yang normal.” Regan menaik-turunkan kedua alisnya. “Maksudnya apa ya, Pak?” Reina mengalihkan pandangannya. Berusaha agar tidak bertatap mata secara langsung dengan suaminya itu. “Apalagi yang dilakukan oleh suami istri di malam hari?! Apa perlu kita praktekkan sekarang?” Regan kembali mendekatkan wajahnya. Hingga membuat sang istri menutup wajah dengan kedua tangannya
Esok paginya Reina terbangun dengan tubuh yang terasa pegal. Tubuhnya terasa remuk redam karena Regan yang memeluknya sangat erat berjam-jam lamanya. Bahkan suaminya tersebut tidak membiarkan Reina mengatur jarak di antara mereka. Meski tidak terjadi ritual malam Jum'at seperti yang Reina takutkan, tetapi gadis itu tetap merasa kelelahan. Reina pun merentangkan kedua tangannya lalu dengan perlahan membuka kedua mata yang masih enggan untuk terjaga. “Pagi ... Istriku,” sapa Regan dengan memperlihatkan deretan gigi putihnya yang rapi. Tiba-tiba lelaki itu sudah berada di depan Reina yang masih bermalas-malasan berada di atas ranjang. “Pak Regan!!!” teriak Reina tidak terkontrol. Gadis itu merasa sangat terkejut sekaligus malu karena bangun terlambat. Padahal ia berencana untuk bangun pagi lalu membuatkan sarapan untuk sang suami terhormat. “Tahu apa kesalahan kamu, Reina?” tanya Regan bernada tegas. Seolah lelaki itu sedang marah besar. Meski Regan melakukan hal itu hanya untuk meng
“Pagi, Sayang Reina. Oma ada perlu dengan dokter. Maaf tidak bilang-bilang.” Rupanya Oma baru saja muncul dari video call tersebut. Semua hanya akal-akalan Regan agar Reina ketakutan. “Harusnya Reina menemani Oma. Maaf, Oma. Reina justru bangun kesiangan.” Terlihat Oma tersenyum dari balik layar ponsel. Sepertinya nenek itu salah paham mengartikan ucapan Reina. Ia menganggap cucu menantunya bangun kesiangan karena kelelahan bergulat di ranjang bersama Regan. “Pokoknya kamu tidak boleh membatalkan acara bulan madunya ya? Oma sangat berharap.” Reina sudah paham apa maksud ungkap Oma. Gadis itu memilih untuk tersenyum malu di hadapan sang nenek. “Oma hati-hati selalu ya? Nanti Reina dan Pak Regan akan siapkan oleh-oleh spesial untuk Oma.” “Kamu masih memanggilnya dengan sebutan Bapak?” “Reina menghormatinya Oma.” Reina menjelaskan sambil melirik ke arah Regan. Lelaki tampan itu tampak melipat kedua tangannya di depan dada. Merasa tidak terima dengan ucapan sang istri kepada Oma Reg
Reina terperanjat kaget. Seperti baru saja mengalami mimpi yang mengejutkan.“Pak Regan kok peluk-peluk Reina sih?! Mau modus ya?!” Gadis itu segera menjauhkan tubuhnya. Reina benar-benar tidak tahu apa yang telah terjadi beberapa waktu yang lalu.“Astaga, Reina. Kamu yang lebih dulu memelukku dan tidak mau aku lepaskan. Apakah kamu tidak ingat? Hm?!” Regan merapikan pakaiannya yang kusut akibat perbuatan Reina. Ia merasa kesal meski awalnya memang Regan sendiri yang menyandarkan kepala sang istri pada bahunya.‘Tidak mungkin. Bukankah tadi hanya sebuah mimpi?’ batin Reina merasa malu dan salah tingkah.Reina tidak menyanggah ataupun mengiyakan ucapan sang suami. Ia memilih untuk menyisir rambut hitam panjangnya dengan jari-jari tangan kanan.“Teruslah berbuat semaumu.” Regan mengalihkan pandangannya. Sebenarnya ia hanya ingin mendengar ungkapan maaf dari Reina. Tetapi istrinya tersebut masih saja bersikap keras kepala. Reina berlagak tidak tahu. Ia yakin jika Regan tidak akan mungki