-Minggu ke empat, hari ke lima- Selama sebulan ini, aku benar-benar disibukkan oleh urusan dalam negeri yang kacau sejak ada campur tangan dari Tryenthee. Semua masalah itu terjadi karena pergantian posisi petinggi kerajaan beserta kebijakan barunya. Aku mengumpulkan berita yang tersebar dan banyak sekali keluhan dari masyarakat sejak kebijakan itu diresmikan. Bahkan ada sebagian dari mereka yang melakukan pemberontakan dengan menghancurkan beberapa wilayah dan infrastruktur akibat kesenjangan sosial. Aku menghela napas sambil bersandar lelah. Kepalaku terasa pening, tapi pikiranku enggan untuk berhenti. Masalah di dalam istana juga masih banyak yang belum beres, terutama—untuk menyelidiki mata-mata atau penyusup yang belum ketahuan. "Salam hormat, Yang Mulia." Aku kembali mengangkat punggung dari sandaran kursi ketika tabib yang merawat Azura datang. "Apa ada informasi terbaru terkait kesehatan Yang Mulia Raja?" Tabib itu mengangguk. "Ya, kabar gembira untuk Anda. Yang Mulia Ra
Aku memasuki ruangan lain bersama raja Tryenthee. Jantungku berdetak kencang karena bersemangat sekaligus takut. Berhadapan dengannya, sama saja seperti memacu adrenalin dan sangat menantang.Kini sudah saatnya aku harus adu politik dengannya, meskipun tanpa Azura yang mendukungku. Mari kita lihat, bagaimana rekasinya setelah jembatan politiknya berhasil kurobohkan."Kudengar, akhir-akhir ini kau gencar memberi hukuman mati pada petugas istana terutama dari Tryenthee," ujarnya memulai percakapan setelah duduk berhadapan di kursi masing-masing. "Sangat di luar dugaan.""Anda pasti mengetahui hal itu dari Ratu Lucia bukan? Tidak mungkin Anda mengetahuinya dari surat kabar lokal yang beredar.""Ya, jujur aku kaget saat Lucia memberi tahu kalau kau kembali ke Vainea. Tak kusangka, ternyata Raja Azura mengangkatmu menjadi 'Ratu Utama' sebelum pernikahannya dengan putriku.""Yang Mulia, masih ingatkah saat anda memberi tahu saya bahwa ... mungkin Raja Azura bisa saja mengkhianatiku dan juga
Hari ini, aku mengutus 30 orang untuk menyusup dan menjadi mata-mata di Tryenthee. Aku perlu mengetahui segala informasi mengenai situasi di sana, termasuk rencana raja Tryenthee sendiri. Orang itu sangat licik dan aku harus berusaha menemukan cara cerdik untuk menghadapinya. "Laporkan selalu apa yang terjadi di sana. Lakukanlah secara bergilir sesuai situasi yang kalian ketahui masing-masing," ujarku pada orang-orangku. "Baik, Yang Mulia." "Kalian boleh pergi." Mereka segera membubarkan diri, meninggalkanku yang duduk dengan perasaan tegang. Pasalnya, orang yang kuhadapi kali ini adalah raja dari kerajaan besar. Sekali salah langkah, mungkin Vainea akan menjadi debu dalam waktu singkat. "Yang Mulia, ada kiriman dari Yang Mulia Raja untuk anda." Aku menoleh ketika Nyonya Dhea datang dengan membawa kotak berukuran sedang di tangannya. Kuterima benda itu lalu membukanya perlahan tanpa sepatah kata. Tubuhku mematung saat mengetahui isi kotak itu, yang ternyata—berisi aneka ragam p
Suara riuh tepuk tangan menggema ketika dansa pengantin selesai. Aku meneguk minuman untuk kesekian kalinya dan pesta dansa para tamu dimulai tak lama setelahnya. Musik mengalun begitu lembut. "Selena—" "Ya, silakan," sahutku memotong. "Kalian akan berdansa, 'kan? Silakan. Aku akan menunggu giliran ... jika sempat." Azura terdiam sejenak lalu berkata, "Bagaimana kau bisa berkata seperti itu?" "Biasanya kalian selalu melakukan dansa pertama di setiap pesta, 'kan? Kau sudah pernah mengatakannya padaku kalau kau lebih suka menjadikanku pasangan terakhir dansamu," ujarku tenang. "Silakan, musiknya sudah dimulai." "Ini pesta pernikahan, bukan pesta dansa. Tamu hanya diperbolehkan dansa satu kali, sisanya adalah waktu luang untuk yang lain," tukasnya dingin. "Kau tidak mau berdansa denganku di kesempatan kali ini?" Aku melirik Lucia yang nampak sedih dan juga—sedikit geram, tapi masih bisa ia tutupi dengan wajah tenang. "Di acara ini, Lucia adalah ratumu. Kau tidak lihat aku memakai
Aku terbangun oleh ciuman yang mengusik hingga napasku sesak. Kubuka mata perlahan dan ia melepas ciumannya sejenak. Tatapannya begitu dalam saat ia membelai wajahku lembut. Tubuh kami yang hanya berbalut selimut, membuat dekapannya terasa gerah berkeringat. "Kau menciumku selama aku terlelap?" tanyaku, langsung memasang wajah dingin. "Kau harusnya tahu kalau itu sangat mengganggu." "Sangat menyenangkan bisa mendekapmu saat kau terlelap. Ini seperti mimpi indah di hari yang buruk," jawabnya dengan ekspresi datar. "Tolong menjauhlah sedikit. Aku gerah." Kudorong tubuhnya dan melepaskan diri dari dekapannya, lalu menghirup udara sebanyak mungkin. Azura mendesah dengan wajah sedikit murung. "Kupikir, kau akan berubah setelah kita menghabiskan malam bersama." "Kau curang," tegurku dalam posisi terlentang, agar udara di paru-paruku semakin longgar setelah lepas darinya. "Kau menghadapiku dengan memaksaku bercinta agar aku goyah?" "Ada banyak hal yang ingin kubicarakan denganmu. Kalau
Aku terdiam seketika saat hendak turun untuk sarapan. Suplemen yang biasa kuminum kini sudah tak berada di tempatnya. Biasanya aku meletakkannya di salah satu rak dekat buku di kamar, tapi—benda itu sudah tidak ada. Aku segera memanggil pelayan yang bertugas merapikan kamar, lalu menanyakan keberadaan botol berisi pil yang biasa kusimpan di tempat yang sama. Namun, tak satu pun dari mereka yang melihatnya hari ini. Setelah hasilnya nihil, aku meminta mereka semua untuk meninggalkan kamar. "Kau tadi lihat botol yang berisi pil di sini?" tanyaku pada Putri Erina sambil menunjuk rak buku kecil. Ia menggeleng. "Saya tidak melihat ada botol di situ saat masuk," jawabnya. "Tapi ... jika Anda biasa meletakkannya di situ, sudah pasti benda itu akan terlihat semua orang." "Oh astaga," desahku risau sambil mengacak-acak rak, juga lemari. "Apa ... itu suplemen untuk kehamilan?" tanya Putri Erina sembari membantu mencari di laci meja dan bufet. "Ya," sahutku sibuk. "Coba Anda ingat-ingat l
"Azura, bisakah aku tetap tinggal di sini?" pintaku merajuk. Ia menggeleng tegas. "Tidak. Kau harus dalam pengawasanku setiap waktu." Aku hanya berdiri dengan pasrah saat melihat beberapa pelayan pria membawa barang-barangku dan memindahkannya ke mansion Raja. Ya, meski tujuannya agar aku aman dalam pengawasannya, tapi—keberadaan Lucia di sana pastinya akan membuat situasiku canggung. Aku terpaksa harus memakai topeng lagi setiap hari saat bertemu dengannya. "Mulai hari ini, pekerjaanmu biar aku yang menyelesaikannya. Kau tidak boleh terlalu lelah." Azura memasukkan semua berkas-berkasku ke dalam peti besar, lalu meminta pelayan pria untuk membawanya. "Aku akan mengadakan rapat dengan para petinggi, kau bisa masuk ke mansion duluan." Ia mengecup keningku lalu melengos pergi. Bisa kurasakan suasana hatinya sedang membaik. Kuhela napas panjang saat kami berpisah ke bangunan yang berbeda. Kulihat Lucia berdiri di balkon dan menatapku dengan wajah datar. Mata kami bertemu, tapi aku
Aku berdiri di depan istana, menatap rombongan Azura yang pergi membawa 50 pengawal untuk perjalanannya. Kali ini, aku sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi suasana canggung yang dingin.Aku segera menuju ruang kerja, tapi dicegat oleh salah satu suruhanku yang bertuga memata-matai Tryenthee. Segera kuajak ia ke ruang kerja untuk memberi informasi dan pastinya—agar Lucia tidak tahu mengenai hal ini."Katakan padaku, apa yang terjadi di sana?" tanyaku, setelah kami duduk berhadapan di ruang rapat dengan wajah serius."Saat ini Tryenthee sedang dalam keadaan sedikit kacau, Yang Mulia. Terjadi perang saudara dan beberapa perselisihan antar Pangeran yang menjadi penguasa di beberapa wilayah," jawabnya. "Seperti yang Anda tahu, setiap Pangeran di beri wewenang untuk menjadi kepala wilayah di kota-kota besar. Juga, memang terjadi beberapa keributan yang katanya ... ada beberapa kesenjangan di antara mereka.""Selain itu?""Saya tak sengaja mendengar bahwa Raja Tryenthee kini tengah disi