Share

THE MOST BEAUTIFUL EX (2)

Gisel perlahan turun dari ranjang dan duduk di depan meja belajarnya, meraih sebuah tasbih yang sebenarnya bukan miliknya, kemudian ia mengambil rosario yang tergeletak tak jauh dari lampu belajar miliknya. Lama ia menatap kedua benda itu, secara perlahan pula otaknya kembali memutar kejadian tadi sore.

"Sekali lagi, maaf dan terima kasih banyak, berkatmu ketertinggalanku lumayan terkejar. Jadi kita lebih siap saat olimpiade besok." Gisel tersenyum tulus ke arah Jay yang saat ini sama-sama belum pulang. Gadis itu kemudian berjalan mendekat ke arah Jay yang tampak terkejut, membuatnya heran.

"Ada perlu apa lagi?"

"Tidak ada, aku cuman bingung kenapa kamu kelihatan tidak nyaman berada di sekitarku?"

Jay lama menatapnya, matanya kemudian bergulir ke sana ke mari dengan gumaman abstrak yang Gisel tak mengerti apa yang pemuda itu katakan.

"Kamu enggak perlu jawab kalau engga nyaman, kok. Aku paham, kalau begitu aku pamit duluan ya, Jay ... "

"Cantik."

"Eh? Kamu bilang apa?"

"Karena kamu cantik, aku jadi salah tingkah kalau di sekitarmu, maaf kalau jadi salah paham."

Jay buru-buru mengalihkan pandangan lagi dengan membereskan buku-bukunya, mukanya sudah memerah. Tanpa Jay ketahui pula, wajah Gisel sudah merona dengan senyum manis yang menghiasi wajahnya, namun tak lama berselang tiba-tiba saja rasa pusing menjalar di kepalanya, Gisel memejamkan mata, nyaris ambruk ke belakang kalau saja Jay tidak dengan sigap menolongnya hingga keduanya berakhir jatuh terduduk. "Kamu enggak apa-apa? Kalau masih sakit seharusnya tadi izin saja, aku enggak masalah soal nembusin ke mentor."

"Aku enggak bisa terus-terusan dapat perlakuan spesial, Jay. Selagi aku mampu, aku pasti akan usahakan, tapi makasih atas sarannya, ya."

"Tunggu di sini, aku ambilkan air dulu di loker depan."

"Oke." Gisel menatap punggung Jay yang menjauh dari hadapannya, gadis itu mengernyit tatkala menemukan sebuah tasbih yang mungkin saja itu milik Jay. Lama ia menatap benda itu bersamaan dengan dirinya yang membatin dalam hati.

'Dia seorang muslim taat.'

Gisel buru-buru menyembunyikan barang itu ketika Jay sudah kembali dengan botol air mineral. Tersenyum dan berterima kasih saat pemuda itu mengangsurkan air kepadanya dengan sabar.

"Kamu pulang naik apa? Dijemput sopir?"

"Enggak, nanti Papa yang jemput. Soalnya cuaca lagi enggak baik, lagian baru sembuh, Papa pasti khawatir."

"Kalau gitu aku antar sampai depan aja, takutnya pingsan pas turun tangga, bahaya."

"Mmm ... Mau pulang bareng sekalian? Daripada kamu naik bus, jam segini kayaknya mulai jarang ada bus."

"Apa enggak ngerepotin?"

"Enggak sama sekali, kita kan teman, udah sewajarnya aja kalau saling bantu."

"Oke, aku bantu ambil tasmu sekalian, deh." Jay meraih tas miliknya dan Gisel, harus Gisel akui dia sangat tersentuh dengan perlakuan Jay yang begitu sabar dan telaten dalam menghadapi seseorang maupun situasi. Padahal usianya dengan dia tidak berbeda jauh, namun sepertinya untuk kedewasaan Jay lebih unggul.

'Apa yang tidak bisa kamu lakukan, sih Jay...'

"Lho? Adek belum bobok?"

"Eh? Mas kapan pulangnya? Kata Papa lembur."

"Enggak jadi, kepikiran kalau ada apa-apa kasihan Papa juga sendiri."

Gisel tersenyum, segera tersadar saat suara kakaknya menginterupsi pikirannya. Pelan-pelan sang kakak menyentuh dahi adiknya itu, menatap penuh atensi. "Masih sakit? Atau lagi ada yang dipikirin?"

Gisel menggeleng, alih-alih menjawab ia hanya tersenyum tiga jari ke arah kakaknya itu. Namanya Al-Jaelani Dwi Untoro, usianya terpaut 6 tahun lebih tua dari Gisel, satu-satunya anggota keluarga Gisel yang berbeda keyakinan, namun tetap menyayangi papa dan adiknya. "Mas, dulu pas pindah Islam karena apa?"

"Hm? Kok tiba-tiba bahas itu?"

"Iss, udah jawab aja."

"Ya, karena calon Mas kan orang Islam, tapi alasan lain bukan soal itu. Lebih ke pilihan hati." Al menatap adiknya sangsi, melihat gelagatnya sepertinya memang ada yang sedang adiknya pikirkan, lebih-lebih langsung membahas hal sensitif begini. Apa dia naksir cowok Islam?

"Oh, gitu. Ya udah, deh. Gisel mau bobok sekarang, Mas buru bobok, ya. Kalau sakit nanti dimarahin Kak Yerisha, lho!" Al tersenyum, mengurungkan niatnya untuk bertanya lebih lanjut, ia hanya mengangguk mengiyakan sembari membantu menyelimuti adik satu-satunya yang ia miliki ini. Gisel nampak terlelap lebih cepat, mungkin faktor lelah.

"Hm?" Al pelan-pelan meraih barang yang digenggam adiknya, sebuah rosario dan sebuah tasbih. Lama pemuda itu menatap tasbih dan adiknya secara bergantian. Ia pun menghela napas setelahnya. "Semoga tidak ada badai esok hari."

+++

"Papa, Mas! Gisel berangkat dulu, ya! Badan udah enakan kok, jadi Gisel kuat naik bus. Nanti pake mobilnya pas jemput aja soalnya Gisel latihan lagi hari ini."

"Iyaaa, obatnya dibawa ya, Nak! Hati-hati!"

Al menatap ayahnya yang tersenyum seraya melambaikan tangan di daun pintu rumah depan. Ia kemudian berjalan ke ruang tamu seraya meraih majalah di depannya. Marcel yang sesaat berbalik badan, mendapati anak sulungnya duduk di ruang tamu, memutuskan kembali berjalan ke dapur dan meneruskan acara memasaknya yang tertunda. "Kamu enggak puasa, Al?"

"Puasa aku, Pa. Udah sahur kok, tadi."

"Oh ... "

Seperti yang terlihat, meski Al berusaha membaur hanya Gisel yang sudah menerima pilihan hidup yang Al inginkan, lain lagi dengan papanya yang mungkin sepenuhnya belum rela anaknya memilih keyakinan yang berbeda dengan dirinya, atau belum rela anaknya menikah, Al tidak tahu pastinya yang mana.

"Tadi makasih, Papa bela-belain masak jam dua pagi buat siapin sahur."

Tangan Marcel menggantung, pelan-pelan tersenyum tanpa Al sadari. Mau bagaimanapun, Al tetap anaknya dan sudah kewajiban orangtua memberikan restu, termasuk pilihan hidupnya. Al adalah anak penurut, pekerja keras, dan suka mengalah daripada membuat perdebatan semakin panjang. Marcel sangat membanggakannya sebelum Gisel lahir, pintar dan juga tampan.

Seiring berjalannya waktu, beranjak dewasanya Al, pemuda itu memutuskan mengejar impiannya untuk bersekolah di Turki, dan tanpa diduga, jatuh cinta dengan seorang gadis berparas manis bernama Yerisha. Awalnya, Marcel sangat menentang keras karena adanya perbedaan keyakinan, Yerisha seorang Islam taat dan Al yang saat itu memilih menjadi seorang atheist akibat pernikahan berbeda agama yang orangtuanya jalani. Sekarang, Marcel sudah sepenuhnya mengiyakan bila jalan hidup Al demikian.

"Pa, Gisel cerita Papa enggak soal cowok?"

"Hm? Enggak, dia enggak cerita apa-apa."

Al enggan membahas lebih jauh, takut kalau papanya kecewa bila anaknya menjalani hubungan berbeda keyakinan lagi sama seperti dirinya. Lelaki itu tersenyum, berjalan ke arah papanya dan mulai membantu menyiapkan sarapan yang akan papanya bagi ke panti asuhan dekat dengan rumah mereka. "Al, tolong kamu bantu Papa juga awasi Gisel, ya. Kamu tahu, kan? Papa enggak mau kalau Gisel mengalami kesulitan yang sama dengan Papa alami dulu."

Al terdiam, mengerti arah pembicaraan papanya dan mungkin khawatir kalau Gisel jatuh terlalu dalam ke hati pemuda muslim itu. "Al hanya bisa membantu sebisanya, Pa. Karena mau gimanapun hidup Gisel bukan milik Al atau pun Papa."

"Papa hanya tidak mau, apa yang papa alami dialami juga sama Gisel, lebih-lebih kondisinya yang bisa dibilang cukup serius. Pagi ini dia ceria sekali karena badannya terasa segar. Efek pengobatan beberapa waktu lalu sudah hilang, meski agak cemas, Papa iyakan saat dia ingin berangkat naik bus."

"Nanti Al saja yang jemput Gisel, Pa. Papa enggak perlu cemas, ya?"

Marcel tersenyum, mengusap pundak putra sulungnya. Hidup sendirian setelah istrinya meninggal bukan hal mudah, ia hanya ingin semua yang terbaik ada pada putra dan putrinya ini. Al terkejut saat ayahnya itu tiba-tiba mendekap kepalanya, namun tidak pula menolak. Ia tersenyum saat sang papa mengucapkan kalimat andalannya yang tak pernah berubah.

"Papa bangga sama kamu, Nak. Terima kasih, ya."

+++

Pandu menyampirkan jaketnya ke pundak, sebelumnya dia sudah mengirimkan pesan ke handphone abangnya, hanya saja sudah satu jam berlalu belum juga dibalas.

"Kemana sih ini anak? Apa latihan di laboratorium?"

Pandu mendecak pelan, meski malas memutuskan menyusul abangnya sembari menunggu jemputan dari sopir mereka. Toh, hari ini ia batal latihan sepak bola karena lapangan sekolah yang terlalu berlumpur. Pandu celingukan di sekitar koridor laboratorium, masih ada beberapa guru dan siswa anggota olimpiade ilmiah yang berlalu-lalang beberapa kali. Orang pintar memang terlihat lebih sibuk ternyata.

DUGH

"Eh? Maaf-maaf. Kamu enggak apa-apa? Sini kubantu beresin bukunya."

Pandu segera berjongkok seraya mengambil buku yang berserakan, juga membantu gadis yang baru saja ia tabrak tanpa sengaja. Si gadis tersenyum, dari nametag-nya serta tag kelas dia seharusnya sekelas dengan Pandu dan Jay juga. "Lho? Aku baru lihat kamu sekarang, ternyata kita sekelas, ya?"

"Iya. Maaf telat menyapa, kamu murid pindahan yang juga kembarannya Jay, kan? Kenalin, aku Gisel, aku anggota tim kakakmu, lho."

"Oh, salam kenal. Aku Pandu, wah tumbenan di grup orang pinter ada yang cantik, pasti Abang seneng, nih. Haha."

"Haha, kamu lucu juga, ya, Pandu. Lagi nyariin abangmu, kah?"

"Ah, enggak, kalian belajar aja, aku bisa nunggu, kok. Karena kebetulan tim sepak bola ogah lanjut latihan, aku gabut jadi numpang wi-fi sambil nunggu aja di luar."

Jauh dari tempat Pandu dan Gisel mengobrol, ada Jay yang menatap ke arah mereka dengan raut muka kusut. Entah dorongan dari mana, pemuda yang biasa kalem itu berjalan cepat ke arah dua orang itu.

"Eh, Abang. Baru kenalan sama Gisel, ini. Latihannya masih lama?"

"Udah kamu diem. Gisel, ayo cepat masuk. Nanti latihan kita makin lama kalau ngobrol sama adikku yang bawel ini."

Nada ketus dan cara Jay yang menyeret paksa Gisel masuk ke laboratorium membuat Pandu heran. Alih-alih merasa kesal pemuda itu bergumam menanggapi sikap abangnya. "Lagi PMS apa dia cemburu? Jangan-jangan bener lagi kata Mama sama Papa pagi tadi."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status