VLAD DWangsa : Kamu sudah makan?
Aku mendesah. Matahari baru saja hilang. Mungkin dia belum sampai di rumahnya, tapi sudah menanyakan soal makan.
Savannah Gayatri : Kamu sudah sampai? Sudah makan?
Dia hanya membalas pesanku dengan emoticon senyum.
Mengingat Vlad, aku pun teringat Bhaga juga. Sedang apa dia sekarang? Ini hari Minggu, seharusnya dia masih ada di rumah. Ini hari keempat dia tidak berkabar.
Savannah Gayatri : Bhaga, kamu di mana?
Kutunggu beberapa saat, tapi tanda ceklist hanya ada satu. Terkirim tapi tak sampai. Sampai selesai aku makan ransum dari Vlad, tanda itu tidak berubah. Artinya dia tidak pulang ke rumah akhir pekan ini. Kutelepon saja dia. Dering pertama dan langsung terangkat.
“Ya, Na?” sapanya tapi diikuti suara musik dari speaker rumahan. Tidak berdentam, hanya keras saja. Suara musik ditingka
Bhaga, pulang kek. Kasihan istrinya kangen banget tuh. Dia lagi berjuang sendirian. Lha, salah lu juga ngapa nggak cerita.
ANNA melambai sambil tersenyum lebar bahkan tertawa kecil pada Vlad ketika dia mengantar Vlad pulang. Vlad mengantar Anna pulang sampai ‘menyerahkannya’ kembali kepada ibu. Membiarkan ibu Anna memastikan anak gadisnya masih utuh dan baik-baik saja setelah hampir 24 jam pergi, baru dia berpamit pulang. Ketika mobil Vlad menghilang dari hadapannya, Anna berbalik masuk. Begitu melewati pintu, Anna seperti kembali ke dunia nyata. Setelah berlibur hampir sehari penuh dia harus kembali ke realita bahwa tugasnya belum selesai. Bahunya melorot ketika masuk rumah. Melirik jam, dia makin mendesah malas. Sudah jam sepuluh. Kali ini dia benar-benar bisa tidak tidur sampai pagi. Tidak ada tapi, tanpa bisa menawar lagi, dia harus menghadapi kenyataan ini. Dua belas jam ke depan dia harus berangkat ke kampus menyerahkan tugasnya. Malam itu Anna berakhir di meja dengan laptop menyala dan segelas besar kopi hitam. *** Sampai di rumah, Vla
VLAD memang tidak pernah memaksa bertemu lagi. Tapi pesan teks dan teleponnya setiap hari pasti ada. Dia hanya menanyakan hal remeh temeh yang jika sudah kujawab maka pesan atau telepon selesai. Menanyakan sudah makan atau belum adalah yang paling sering. Seakan jadwal makanku sudah masuk di agenda kerjanya. Sering dia mengirimkan makan siang ke sekolah. Atau hanya kudapan saja. Kadang hanya minuman atau jus yang sangat segar di tengah hari. Sampai aku merasa absennya yang seperti jadwal minum obat menjadi rutinitas harian yang jika dia terlambat bisa membuatku menunggu. Sudah sebulan begitu saja kelakuannya. Hanya sesekali dia menelepon cukup lama. Biasanya jika dia merasa jenuh atau lelah. Seperti saat ini. Saat ini ponsel kami tersambung dengan video call. Dia minta ditemani menyelesaikan pekerjaannya yang besok sudah harus selesai. Memang belum terlalu malam, belum jam sembilan. Tapi dia masih berkutat dengan berkas di kantor. Ada yang sedang aku
MASIH jam sepuluh ketika Anna pergi ke kampus. Dia memilih naik kendaraan umum lalu tidur sepanjang jalan. Waktu sisa sebelum bertemu dosen dia gunakan untuk makan siang dan shalat. Setelah segar dengan perut terisi, dia merasa siap bertemu dosen. Setelah hampir dua jam berdiskusi dengan dosen baru dia bisa keluar ruangan. Dengan kepala terisi segala jenis revisi, dia kembali merasa lelah dan butuh sedikit kudapan. Bosan dengan menu di kantin, dia melihat ke seberang jalan. Ada café kecil dengan kursi yang nyaman di sana. Anna memutuskan menyeberang. Sampai di sana dia langsung memilih sofa ternyaman untuk dia duduki. Dia sampai melenguh nyaman untuk sofa empuk yang benar-benar bisa membuat tubuhnya relaks. Setelah memesan milk shake dan french fries, dia membuka-buka catatannya. Punggung dan kepalanya bersandar utuh di sandaran sampai kakinya pun terjulur ke bawah meja. Wadah french fries dia letakkan di sofa di sampingnya. Membuat tangann
SEPERTI biasa di tengah semester aku sibuk dengan urusan rapot bayangan. Tapi sesibuk-sibuknya aku, aku masih bisa membalas pesan atau menerima telepon Bhaga. Tapi hanya seminggu Bhaga rutin berkirim kabar setiap hari. Setelahnya, frekuensinya menjadi berselang seling lalu kembali ke jadwal semula—terserah dia kapan. Awalnya aku berusaha kembali mengambil inisiatif. Namun akhirnya aku jengah sendiri. Bosan selalu memulai seakan hanya aku yang butuh atau terasa aku begitu membutuhkan dirinya. Akhirnya aku membiarkan saja Bhaga dengan maunya. Terserah. *** Bhagavad Antares : Na. Itu pesan yang terbaca. Aku sedang piket jadi aku bisa memegang ponsel. Meski terkejut dan merasa mendapat kejutan, segera saja kubalas. Savannah Gayatri : Ya, Ga. Savannah Gayatri : Lagi di mana? Savannah Gayatri : Hari kerja tumben bisa internetan.
MENINGGALKAN rumah Anna, Vlad tidak ada tujuan. Jam delapan untuk ukuran Vlad berarti hari masih sore. Pulang dan Vlad adalah dua hal yang sulit bertemu. Tapi saat ini yang Vlad mau cuma diam sendirian mengurai marah. Entah marah yang mana. Anna pulang dengan lelaki lain atau lelaki itu memanggilnya boy. Itu hinaan besar bagi Vlad. Di saat negara pun sudah mengakui kedewasaannya dengan menerbitkan KTP dan SIM untuknya, kenapa banyak orang masih menganggapnya bocah? Dan— Savannah… mending tadi aku bolos biar bisa ngojekin kamu seharian. Bosan juga di sekolah nggak ada kamu. Vlad menggerutu dalam hati sepanjang jalan. Tapi kalau tadi ada gue lalu mereka ketemu, apa gue nggak dijadiin obat nyamuk tuh? Berasap tapi cuma bisa muter-muter doang kayak orang gila. Lalu gue disuruh pulang duluan gitu? Aaaarrrggghhh… Dia ingin ke tempatnya biasa nongkrong. Tapi dia tidak mau ada satu orang pun yang tahu emosinya. Bertemu teman dengan wajah ter
AKU menjalani sisa hari di sekolah bersama gelisah. Lepas jam istirahat masih ada satu kelas lagi dan itu kulalui dengan usaha sangat keras untuk tetap berkonsentrasi. Beberapa kali membuat kesalahan, akhirnya kuputuskan berhenti. Kelas kuberi tugas. Aku ingin melarikan diri, tapi tentu tak bisa. Kelas ini masih menjadi tanggung jawabku. Aku terpaksa tetap duduk menemani mereka mengerjakan tugas sambil membuka buku. Hanya kubuka tapi tak kubaca. Aku benar-benar merindukan bel pulang. Bel berbunyi, aku tak peduli jika aku terlalu bersemangat meninggalkan kelas. Yang aku mau saat ini hanya menyepi. Sendiri merasai hati. Marah pada Bhaga dan malu pada Vlad yang kurasa bersamaan membutuhkan jeda sendiri untuk mereda. Marahku pada Bhaga bisa kuselesaikan dengan bertelepon. Aku sudah merencanakan meneleponnya jika aku sudah lebih tenang. Tapi malu pada Vlad, ini yang sulit. Mungkin bukan malu, ini lebih tepat seperti aku menelanjangi diriku sendiri di hadapannya. Sesuatu yang sela
DARI hasil browsing Vlad tahu dia tidak bisa mengharapkan hasil instans. Dia tidak mau menambah asupan hormon dalam dietnya. Semua dia lakukan alami. Tapi aktifitas fisiknya tentu ada efek yang lebih cepat dia rasa dari sekadar membentuk otot. Dia merasa tubuhnya lebih segar dan jadwal hariannya menjadi rapi. Dia memang masih sering hang out. Tapi makan yang teratur, tidur yang cukup, latihan fisik yang tepat, membuat hidupnya lebih berisi. Tak mudah mengantuk di kelas dengan tubuh bugar membuat dia lebih cepat lagi menangkap materi. Di rumah dia bisa berkonsentrasi belajar meski hanya sendiri saja. Dia baru merasa belajar itu ternyata menyenangkan. Sampai dia merasa soal dari sekolah kurang lalu dia membeli buku bank soal lalu asyik mengutak atik soal dari sana. *** “Mas, tadi sore pas Vlad ngemil lontong padang aku nanya dia jadi SMA ke Singapura. Katanya iya.” Sepasang itu sedang bersantai di ranjang sambil b
UCAPANNYA mengingtkan aku kenapa sampai kecelakaan itu bisa terjadi. Aku melamun terlalu dalam sampai tak sadar sedang mengemudi. Dan ucapannya juga membuatku mengingat kembali kejadian tadi siang. Jika kecelakaan itu bisa diurus Pak Danu, maka kejadian tadi siang harus aku yang membereskannya termasuk menyanggah isi kepala Vlad. Oke, aku tahu, memang aku sedang ada masalah dengan Bhaga, tapi itu hal wajar dalam rumah tangga kan? Kejadian itu tidak membenarkan pendapat Vlad bahwa aku menjalani pernikahan yang tidak bahagia kan? Pernikahanku bahagia kan? Aku merasa aku baik-baik saja. Atau Bhaga yang merasa tidak baik-baik saja? Tapi mengingat pribadi Bhaga yang abai, kupikir Bhaga pun merasa pernikahan ini baik-baik saja. Buktinya dia sangat enteng meminta izin tak pulang. Meminta izin? Dia tidak minta izin. Dia hanya memberi info. Itu dua hal yang berbeda jauh. Ah, Bhaga, tidak bisakah dia sedikit peduli padaku? Peduli dalam arti yang aku m