"Kamu mau langsung pulang, Car?"
Carla mengangguk dengan polos, "Iya, pak. Kelas aku sudah selesai, hari ini cuma satu matkul saja." jelas Carla sembari bergegas untuk pulang setelah menyelesaikan makan siangnya yang Savian berikan secara cuma-cuma."Makasih, pak, buat makan siangnya." kata Carla kemudian bangkit dari duduknya.
Melihat Carla yang ingin beranjak pergi, Savian langsung bangkit dan berdiri di depan pintu, menghalangi jalan Carla. "Hm... gimana kalau kita nonton drama korea dulu, Car?" entah ide dari mana, mengajak Carla menonton drama korea di ruang kerjanya tidak masuk ke dalam daftar rencana yang akan Savian hari ini.
Kening Carla mengerut, berpikir sejenak. Menonton drama korea bersama Savian? itu bukan ide yang buruk, setidaknya dari pada ia merasa bosan sendirian di flat. "Boleh, pak, mau nonton drama apa?" tanya Carla sambil berjalan menuju sofa panjang yang letaknya tak jauh dari meja kerja Savian.
Carla mendudukan diri di atas sofa sa
Savian memasuki ruangannya dengan wajah lesuh, ia baru saja selesai mengajar di kelas terakhirnya hari ini. Kelas kali ini menghabiskan waktu yang cukup lama karena Savian sempat marah, buntut dari ciumannya yang di gagalkan, ia jadi tidak mood dalam mengajar. Siapa suruh ketua kelas tersebut bertamu di saat yang tidak tepat dan merusak segalanya?! Badan besarnya ia lempar ke atas sofa panjang dan merebahkan diri di sana. Kedua mata Sean memejam, lalu terbayang ingatan beberapa jam lalu yang ia lakukan dengan Carla di sofa. Ah, seandainya tadi semua berjalan lancar, Savian pasti tidak akan penasaran lagi bagaimana rasa bibir Carla. Tangan Savian bergerak mengambil ponsel dan mengaktifkan, ia mengabaikan beberapa pesan yang masuk dan memilih untuk mengirim pesan ke Carla lebih dulu. Savian: maaf karena kegagalan yang tadi, semoga kamu berkenan untuk melanjutkannya di flat nanti Muka tembok, seperti tidak tahu malu, tapi itulah Savian. Pantang menyerah
Waktu berlalu dengan begitu cepat, tak terasa sudah satu bulan lamanya Savian berbagi flat dengan Carla. Sesuai perjanjian yang mereka sepakati, Savian akan pergi hari ini. Tapi, setelah semua yang terjadi antara dirinya dengan Carla, apakah Carla akan tetap membiarkannya pergi? Savian menarik kopernya seraya beranjak keluar dari dalam kamar, ia berdiri di depan pintu kamar Carla lalu mengetuknya pelan. Meski hari sudah lumayan siang, tapi Savian yakin Carla masih bergulung dengan selimutnya di atas ranjang. Ini hari libur, tidak ada yang dapat menjadi hambatan Carla untuk bangun siang. "Car.." panggil Savian dengan lembut, terdengar erangan kecil di dalam kamar. Sepertinya panggilan dari Savian berhasil mengusik tidur gadis itu. "Kenapa, pak?" pintu kamar Carla terbuka, kepala Carla menyembul dari balik pintu. Sesaat Savian terdiam, memandang wajah bangun tidur Carla yang berkali-kali lipat cantiknya. Wajahnya yang sebening salju tanpa taburan bedak sebutir
Tiga jam berlalu sejak ciuman singkat itu terjadi, tetapi Carla masih gelisah dan tidak bisa berhenti memikirkannya. Gadis itu berdiri di tepi jendela kamar, memegangi bibirnya yang habis lepas kesucian. Luar biasaaaa, Carla tidak tahu apakah ini sebuah keberuntungan atau kesalahan untuknya? Well, mendapatkan ciuman pertamanya dari Savian itu rasanya seperti mimpi. Seorang dosen famous yang di idolakan oleh para gadis-gadis di luar sana, itu berarti yang Carla lakukan adalah mencuri keberuntungan, kan? Lagi pula, beberapa minggu lalu Savian juga pernah menawarkannya ciuman, tapi gagal karena seseorang mengacaukannya. Carla menggeram, menjambak rambut menuntaskan rasa kesal. Ia masih malu... bahkan ia sampai tidak berani keluar dari kamar sejak tadi meski cacing di dalam perutnya sudah demo meminta makan. Hari sudah siang, tapi Carla setia dengan piyama dan rambutnya yang kusut karena belum mandi. tok t
Carla keluar dari kamar mandi dengan wajah segarnya. Berjalan menuju kamar sambil bersenandung kecil. Suasana hatinya mendadak cerah sejak mendapatkan ciuman singkat dari Sean. Terlebih lagi tubuhnya tidak bereaksi apapun, dan karena hal itu Carla merasa seperti menjadi perempuan normal pada umumnya. Carla berdiri di depan cermin, mengaplikasikan skincare malamnya seperti biasa lalu mengeringkan rambutnya menggunakan hair dryer. Setelah seharian mengerjakan tugas dan baru selesai setengah jam lalu, akhirnya Carla bisa bersantai ria. Selesai dengan wajah dan rambutnya, tangan Carla bergerak meraih ponsel. Mengecek jam lalu mengirim Savian pesan. Ini sudah jam tujuh malam namun Savian belum juga pulang. Carla: Vi, kok belum pulang? Agak ragu untuk mengirimnya karena ini pertama kali Carla menghilangkan kata 'pak' di teks pesan yang akan ia kirim ke Savian. Tapi, siapa peduli? Savian sendiri yang memintanya untuk memanggilnya dengan sebutan n
Carla mengetahui satu hal, Savian telah membohonginya. Carla ingat dengan jelas bahwa hari itu Savian mengatakan bahwa hubungannya dengan Kristal hanya sebatas dosen dan mahasiswi. Tapi ternyata... Carla tertawa renyah untuk sedikit menutupi sesak yang merambat di dada. Ia kira selama ini ucapan Savian benar, tentang hal yang pria itu ucapkan kalau hanya dirinyalah yang dekat dengan Savian. Nyatanya, ada yang lebih dekat lagi.Kristal Beverly. Carla mengetik nama tersebut di papan search sebuah sosial media. Deretan profil dengan nama Kristal Beverly muncul, Carla mengetuk satu nama di deretan paling atas. Benar, yang satu itu akun asli milik Kristal. Jemari Carla berseluncur melihat satu demi satu foto yang gadis berdarah campuran Amerika itu posting di akunnya. Pengikut akun Kristal bahkan lebih dari sepuluh ribu pengikut, dan Carla mengetahui satu hal lagi. Savian dan Kristal saling mengikuti. Carla menyeringai, Savian lebih pandai bersilat lidah dari y
Savian: Car, kamu masih di kampus? Savian mengusap layar ponselnya untuk bergulir kebawah, men-scroll puluhan pesannya yang sudah satu minggu ini tidak pernah Carla ladeni. Gadis itu hanya membacanya tanpa membalas. Dan nasib pesan yang Savian kirim satu jam lalu pun berakhir sama, hanya di baca saja. Hembusan napas panjang keluar dari hidung bangir Savian. Pria itu menjatuhkan badannya pada sandaran kursi, menatap pintu ruangan dengan pandangan menerawang. Seketika ia kepikiran Carla. Sudah satu minggu hubungan mereka renggang dan tidak seintens sebelumnya. Di flat pun mereka jarang bertemu karena Savian biasa pulang larut malam dan pergi pagi-pagi. Anehnya, kenapa pesannya pun ikut di abaikan oleh Carla seakan gadis itu sedang membentang jarak dengannya? Aneh, Carla seperti sedang menghindarinya. Savian menepuk jidat, lalu menggeram. Kenapa ia baru menyadarinya perubahan Carla sekarang?
Selama dua tahun berteman, baru kali ini Alvero mendengar Carla bercerita tentang pria yang berhasil mengambil peran dalam hidupnya. Alvero terkejut, jelas. Siapa yang tidak kaget jika seorang gadis tak terjamah itu akhirnya merasakan jatuh cinta dengan lawan jenis. Tapi jika teringat trauma yang Carla miliki, Alvero merasa senang karena artinya Carla sudah mulai membuka diri dan tidak terpaku pada masa lalu. Namun tidak menutup kemungkinan jika ia juga merasa sakit hati. Setiap kata yang keluar dari bibir Carla seperti sayatan benda tajam yang melukai ulu hatinya.Carla mengatakan pria itu baru beberapa bulan menjalin pendekatan dengannya. Dan sialnya berhasil mendapatkan tempat spesial di hati Carla. Alvero meringis, apa kabar dengan dirinya yang berjuang selama dua tahun ini?"Dia bilang mau jadikan aku sebagai cadangan. Ck!"Siapa lagi yang Carla bicarakan kalau bukan Savian? Sejak mendengar pemb
Savian berdecak, melempar kesal ponselnya ke atas sofa. Matanya yang menyipit tajam itu kembali melirik ke jam Eiger yang melingkar di pergelangan tangan kokohnya. Jam 11 malam, dan Carla belum juga pulang. Kali ini Carla keterlaluan. Savian bangkit dari duduknya, tubuhnya yang menjulang tinggi berjalan mondar-mandir bak setrikaan di depan pintu utama. Ia risau dan tidak tenang memikirkan apa yang Carla lakukan di luar flat hingga larut malam begini? Ponsel Carla tidak aktif. Jika di hitung, mungkin hampir 50 kali Savian menelepon gadis itu. Sialnya, Carla seperti sengaja tidak mengaktifkan ponsel. Savian menggeram. Merasa tidak tahan ia hanya berdiam diri di temani kecemasan seperti ini. Dengan tak sabaran Savian melangkah masuk