Share

Bab 3

"Pa, yang tenang ya," bisik Adel. Namun, tidak ada jawaban dari papanya. Adel mengerti, papanya pasti masih syok dan tidak terima. 

Mereka menunggu di sebuah cafe. 

Tangan Adel sedingin es. Jantungnya berdegup cukup kencang hingga terasa seolah akan keluar. Gadis itu terus menerus meremas tangannya yang bahkan sudah berkeringat. 

Untung saja, aroma kopi di cafe ini sangat kuat dan mendominasi. Aroma itulah yang membuat Adel nyaman. Entah kenapa, kehamilan ini membuat dia sangat suka dengan bau kopi. 

"Sudah lama nunggu, Mas?" tanya Suri, teman mendiang mamanya Adel. Wanita anggun itu terlihat sedikit tergopoh-gopoh bersama Dani, suaminya. 

"Maaf kami sedikit terlambat, Pak Cakra," sambung Dani. 

Cakra hanya tersenyum penuh kecanggungan sembari mempersilahkan mereka untuk duduk. 

"Calon mantu Bunda cantik sekali," puji Suri. 

Cakra berdeham. "Sebaiknya kita langsung berbicara ke intinya saja." 

"Kenapa buru-buru, Mas? Gagah mau nyusul ke sini loh," ujar Suri sembari mengedipkan mata, berusaha menggoda Adel. 

"Ada hal penting yang harus saya bicarakan sama kalian," tutur Cakra. Suaranya terdengar sarat akan beban. "Saya tidak bisa melanjutkan perjodohan ini." 

Saat itu juga tangis Adel tak bisa lagi ditahan. Satu sisi dia tidak mau membuat mendiang mamanya kecewa. Tapi di sisi lain, kenyataan membuatnya harus menolak dan membatalkan rencana apik mamanya. 

"Maafin aku Tante. Aku hamil. Dan aku nggak mau buat anak Tante kecewa. Jadi, sebaiknya kita batalin aja. Tapi aku mohon... jangan buat Papa malu," pinta Adel. Dengan kasar ia menghapus air matanya. 

Suasana di antara mereka langsung sunyi. Tidak ada yang bicara satu kata pun. Mata Suri mulai memerah menahan tangis. Dia tidak menyangka, menantu yang sudah lama ia nanti-nantikan ternyata membuatnya sangat kecewa. 

Begitu juga Cakra. Dia tidak bisa menahan amarah dan air matanya. Tangannya mengepal kuat. Ingin rasanya dia meneriaki Adel, akan tetapi mulutnya seperti dikunci. Rasa cinta pada putrinya terlalu besar dan tak terkalahkan. 

"Nggak perlu dibatalin, Bun. Itu anak Gagah, kok."

Suara itu mengundang tatapan semua orang. Mereka yang menangis tiba-tiba terdiam. 

"Gimana bisa, Gah? Bunda nggak percaya," bantah Suri. 

Sementara Adel, dia masih termangu dan berusaha mengingat siapa pria yang berdiri di hadapannya ini. 

Gagah yang mulai menangkap kebingungan di wajah Adel mulai berjalan mendekati gadis itu. Lalu dengan suara beratnya dia berbisik, "Kamu hanya milikku." 

Adel ingat... itu adalah kalimat yang dikatakan oleh pria yang menghamilinya. Hidung Adel mengambil alih. Aroma ini... aroma parfum pria yang membuatnya mengerang dan melenguh tak karuan. 

"Gagah, jangan buat Bunda bingung. Maksud kamu apa?" 

"Iya. Yang Adel kandung, itu anak Gagah, Bun." 

Suri dan Dani menggeleng bersamaan. Pasalnya, ini adalah pertemuan pertama antara anak-anak mereka. Lalu, bagaimana bisa Gagah menghamili Adel? Mereka bertanya-tanya. 

Gagah menggenggam tangan Adel yang sudah seperti es. Sementara gadis itu, dia hanya terdiam melihat Gagah. "Aku akan tanggung jawab. Jadi, nggak akan ada pihak yang akan menanggung malu. Perjodohan ini tetap lanjut." 

"Karena Bunda sama Ayah... bahkan mungkin Papanya Adel juga nggak percaya kalau ini anak aku," kata Gagah sembari tersenyum lembut menatap Adel. "Sepulang dari sini, aku akan bawa Adel untuk tes DNA. Hasilnya akan kalian lihat sebagai bukti." 

Keputusan telak sudah diucapkan oleh Gagah. Sebagai orang tua, mereka hanya diam dan memberikan kesempatan untuk Gagah membuktikan semuanya. 

Baik Suri, Dani, ataupun Cakra, mereka berharap kalau janin yang Adel kandung memang benar anaknya Gagah. Dengan demikian, mereka bisa melanjutkan pernikahan secepat mungkin. 

Tiga hari berlalu, Gagah kembali dengan sebuah amplop coklat. 

"Bunda, Ayah, ini hasilnya. Kalian bisa lihat sendiri." 

Wajah Suri mulai memucat. Pun dengan Dani. Pria itu terlihat tegang dan tak sabar untuk membuka amplop tersebut. 

Dalam kegugupannya, Suri berusaha membaca dengan seksama. Tangannya mulai gemetar, tangisnya pecah. Dani hanya bisa memeluk istrinya dengan erat. 

"Hasilnya gimana, Bun?" Gagah bertanya dengan raut wajah antusias. 

Suri menatap wajah anak semata wayangnya, masih dengan air mata yang terus bercucuran. 

Dengan suara lirih Suri berkata, "Iya. Janin yang Adel kandung adalah anak kamu." 

Gagah berseru bahagia. Orang tuanya hanya menatap heran. Seolah-olah memang Gagah mengharapkan ini semua terjadi. 

"Ceritakan bagaimana kalian bisa bertemu, apalagi sampai berisi kayak gitu." 

Sedikit demi sedikit Dani mulai ikut antusias. Dia mendesak Gagah untuk bercerita. Wajah bahagia putranya benar-benar tidak bisa disembunyikan. 

Gagah memeluk dan merengkuh tubuh bundanya yang masih lemas. Lalu menceritakan semua kejadian tak terduga ini. Di satu sisi, Suri bersyukur dan berbahagia. Tidak ada yang diingkari. Namun, di sisi lain ia tidak menginginkan jalur seperti ini. Akan tetapi, takdir sungguh tak bisa ditebak. Inilah awal cerita mereka. 

Dengan antusias Dani menelepon Cakra. "Pak Cakra, mari bertemu besok pagi untuk membicarakan pernikahan anak-anak kita. Semuanya harus disegerakan." 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status