Share

Bab 3

Matahari telah menggulung tikarnya sedari tadi untuk menyambut malam gulita. Akan tetapi, tetap saja gemintang selalu hadir menemani, menyibak pekatnya malam. Memberi pendar bagi hati yang mulai gelisah akan sebuah takdir yang merombak-rombak air mata. Apa sebab itu terjadi? Mungkinkah karena selama ini lalai akan ke hadiran-Nya?

Gadis remaja putri menengadahkan kedua tangannya, duduk bersimpuh di atas sajadah panjang, ia merintih kesakitan. Air mata tak henti-henti membanjiri pipi tirusnya. Bibirnya kelu, ia tak bisa berkata apa-apa kecuali menyebut asma-Nya.

“Allah ... Allah ... Allah,” lirihnya.

Begitu banyak dosa yang diperbuat, lalu kini ketika segunduk bahkan lebih masalah datang menghampiri, tanpa rasa malu meronta-ronta memohon untuk diringankan, lalu selama ini kemana, apa harus ada cobaan dulu, sehingga datang memohon serta mendekat?

Hati perempuan yang masih bersimpuh tersebut terhenyak, ketika mengingat begitu banyaknya dosa yang ia perbuat, serta sedikitnya mengingat Allah dalam hatinya. Kalimat istighfar kini memenuhi bibirnya. Memohon ampunan pada Sang Khalik.

Almahyra Batari mencoba untuk tabah, serta ikhlas menerima segala sesuatu yang menimpa dirinya. Tapi, keluarga yang kerap kali menjatuhkan membuat ia selalu merasakan sakit, ternyata mencoba untuk menanamkan rasa ikhlas tidak mudah seperti yang dipikirnya. 

“Ra, kamu sekolahnya pindah aja ya? Sama sepupu kamu di sini yang deket.” Wanita tua yang mendeklarasikan dirinya sebagai nenek dari Almahyra kini terengah-engah.

“Nenek tahu, untuk masuk ke sekolah yang kutempati sekarang tidaklah mudah. Aku harus berjuang mati-matian untuk mendapatkannya. Dan sekarang ketika aku sudah memperolehnya, Nenek dengan enaknya bilang pindah?” cucunya merah padam, matanya menatap nyalang. 

“Bukan gitu sekarangkan kondisinya berbeda.” 

“Dan aku yang harus menjadi korbannya?” Hyra menggelengkan kepalanya, tidak habis pikir dengan kelakuan neneknya yang mudah sekali terkompori oleh omongan tetangga.

“Denger ya, Nek! Pindah sekolah nggak semudah itu,” tegasnya yang disertai penekanan disetiap katanya.

Dengan wajah sendu, ia membanting pintu kamarnya dan menumpahkan segala amarahnya. Ia butuh sendiri. Tidak mudah baginya untuk melepaskan apa yang baru saja ia dapat dengan susah payah. Ditambah dirinya sudah nyaman dengan teman - teman barunya.

Seketika wajah Haidar terlintas dalam pikirannya. Laki-laki yang beberapa hari terakhir dikaguminya selalu memberi wejangan untuk dekat dengan Sang Maha Pencipta. Hanya mengingat namanya saja senyum simpulnya lagi-lagi tercipta.

‘Apa kamu salah satu alasan kenapa aku tidak mau pindah sekolah?’

“Sulit mencari seseorang sepertimu.”

Baru juga beberapa bulan mengenal teman-teman kelasnya, tapi entah kenapa Hyra langsung menyayangi mereka. Berkenalan dengan teman-teman baru, lingkungan baru, serta Hyra yang baru membuat ia merasakan kenyamanan. Namun, keadaan meminta ia untuk melepasnya? Maaf, tidak semudah itu.

Sampai malam terus berlarut, gadis itu masih setia dalam tangisnya dengan keadaan yang sama, duduk bersimpuh. Beberapa saat kemudian ia mengakhirinya, karena ada ketukan pintu. Menyembulah bidadarinya dengan senyum manis dari balik pintu, membuat hati Hyra semakin teriris.

“Ada apa, Bu?” tanyanya.

Tangan wanita paruh baya di hadapannya terulur untuk membelai rambutnya. “Jangan dengerin omongan nenek tadi ya,” ucapnya penuh kekhawatiran.

“Kamu kalo mau sekolah di situ, nggak papa lanjuti aja ... belajar yang bener ya?” lembutnya.

Hyra hanya bisa meringis menahan tangisnya, saat ini cuma ibunya yang mengerti.

“Kalo masalah biaya tenang aja, Ibu yang akan cari uangnya,” tulusnya.

“Nggak papa, Bu?”

“Iya. Udah ya, jangan nangis lagi.” Didekapnya sang anak untuk meyakinkan bahwa ia baik-baik saja.

“Makasih, Bu.” Air yang sedari tadi menggenang di pelupuk mata tumpah ruah.

“Sama - sama sayang. Tapi, besok ke sekolahnya pake sepeda untuk ke depannya nggak papa 'kan?”

“Iya nggak papa, Bu.”

“Soalnya Ibu nggak mau terus-terusan ngeroptin mang Wawan.”

“Iya Ibu,” kekehnya.

*****

Di langit yang sama, seorang laki-laki bertubuh tegap terus mentap langit-langit kamarnya. Baru kali ini ia merasakan kegalauan. Pasalnya, teman kecilnya terus bertanya-tanya mengenai Hyra. Sosok gadis yang akhir-akhir ini berhasil mencuri pandangnya.

“Apakah Indra menyukai Hyra? Kalo iya berarti aku harus bersaing dengan temanku sendiri.” Haidar mengacak-acak rambutnya frustasi.

“Kenapa harus Hyra sih? Ah ... dulu aku sudah berjanji untuk tidak mau lagi bermain-main dengan perasaan. Tapi dengan segala keunikannya, Hyra mampu menghancurkannya. Dan sekarang untuk memilikinya, harus bersaing dengan teman sendiri? Sungguh melelahkan,” ringisnya.

Menurutnya Hyra itu unik, ia sedikit berbeda dari kebanyakan perempuan yang ia kenal. Terkadang ia terlihat sangat bersahabat, tapi pada orang-orang tertentu ia terlihat sangat sulit untuk didekati. Seperti memiliki kepribadian ganda. Dan Hyra ketika di hadapannya? Jangan ditanya, gadis itu sangat ramah dan bersahabat saat ngobrol via chat atau pun saat berdua yang seketika bisa saja berubah saat berada dikhalayak ramai. Benar-benar harus pandai melihat situasi dan kondisi untuk mendakatinya.

Tanpa Hyra sadari ternyata banyak yang ingin memilikinya, tapi sayang mereka tidak berani mengungkapkannya secara terang-terangan itu yang Haidar tahu, begitu pun dengan dirinya. “Aku akan mendapatkanmu, tunggu saja waktunya.”

Haidar tersenyum senang, ketika akun chat orang yang dirindukannya saat ini sedang online.

Haidar : Kenapa belum tidur? Ini udah malem loh.

Belut : Siapa yang bilang pagi?

Haidar terkekeh membaca balasan dari Belut yang tak lain adalah Hyra, si gadis lincah yang sulit didapat.

Haidar : Iya deh terserah kamu ... PR udah dikerjain belum?

Belut : PR yang mana?

Haidar : Yang tadi siang tuh, masa lupa sih. Besok 'kan dikumpulin.

Belut : Ooh yang bikin puisi ya? Besok? Besok 'kan hari Minggu.

Haidar pun menepuk jidatnya, pasalnya ia lupa bahwa besok adalah hari Minggu. Pantas saja Hyra masih online padahal udah jam 23.25 WIB. Haidar hafal betul dengan jam tidur Hyra. Dia tidak akan begadang kecuali hari libur dan PR yang mengharuskannya selesai malam itu juga, selain kedua hal tersebut tidak ada. Dia akan tidur di bawah jam 22.00 WIB atau paling mentok ya jam 22.00 WIB tersebut.

Haidar : Oh iya lupa, makasih udah diingetin😅

Belut : 👍

Sebenarnya Haidar tahu kalo Hyra sudah memberi jempol, tandanya ia sudah malas dengan obrolannya. Bukan Haidar namanya kalo berhenti sampai sini.

Haidar : Udah malem sayang waktunya tidur gih ....

Belut : Sayang sayang pala lu peang!

Haidar : Ko galak sih?!😭😍

Belut : Bodoamat! Sekali lagi panggil sayang nggak akan aku bales.

Haidar : Sayang🤭

Dan benar saja Hyra tidak membalasnya lagi. Kejutekan Hyra ini yang membuat Haidar semakin tertantang untuk mengenal lebih jauh tentang kehidupannya.

Perasaan seseorang yang tadi terombang-ambing kini mulai tenang kembali, hanya karena sepucuk pesan. Senyumnya terus mengembang, meski pesan yang ia kirim sebagai jawaban terlihat seperti tidak bersahabat. Percayalah ia lakukan untuk menjaga harga dirinya. Ia tidak ingin kepedean serta memberi harapan. Sejak awal sebenarnya Hyra tahu maksud dan tujuan si pengirim, cuma dia tidak ingin terlihat seperti perempuan gampangan. Maka dari itu, sisi lain dari seorang Hyra ia tampilkan.

“Aku memang menyukaimu Haidar, tapi maaf temanmu lebih dulu mengisi ruang hampa yang kumiliki.”

Perasaannya memang tidak bisa dibohongi pada seorang laki-laki yang beberapa hari terakhir baru diketahui namanya dan yang lebih mengejutkan ia adalah temannya Haidar. Dengan sekejap Hyra langsung terpaku dengan senyum manis disertai lesung pipi, giginya sedikit gingsul membuat Hyra semakin terpesona dengan laki-laki berkulit sawo matang tersebut.

“Itu siapa, Hai?”

“Temen pas SMP, kenapa?”

“Nggak, tanya aja.”

“Meskipun kelihatannya nakal tapi dia pinter loh.”

Yang diajak bicara pun begitu antusias, matanya berbinar. “Iya 'kah? Wah hebat dong kalo kaya gitu,” ujarnya.

“Iya.”

Percakapannya dengan Haidar beberapa hari lalu saat turun dari angkot yang tanpa sengaja laki-laki tersebut lewat dengan motornya menyapa Haidar. Sontak membuat Hayra kaget, tapi juga senang. Karena perlahan ia bisa mengorek tentang siapa laki-laki yang kata Hayra manis.

Dering benda pipih yang sedang dipegangnya berbunyi. Menampilkan nomor tidak dikenal.

“Siapa sih yang berani telepon tengah malem begini?” kesalnya.

Ketika menggeser tombol hijau, suara yang cukup baik Hyra kenali menyapa lebih dulu. Seketika dadanya mulai sesak kembali.

“Ada apa?” tanyanya dengan lirih.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status