"Putra anakmu, Mas! Kenapa kamu bilang begitu, hah?! Harusnya kamu panik, harusnya kamu langsung tanya dimana rumah sakitnya, bukan malah maki-maki anak sendiri."
Aku mencengkeram erat ponsel, rasanya aku ingin membanting ponselku kalau tidak ada akal sehat lagi."Anak nyusahin, ngapain aku mikirin dia. Udah, jangan ganggu aku, aku lagi sibuk dan pusing mikirin kerjaan. Kamu itu nelpon gak ada gunanya banget.""Halo Mas Guntu! Halo!""Istighfar, Mbak." Rumi langsung membantu menenangkanku. Dia mengambil ponselku agar aku tidak membanting sesuatu.Sungguh, aku marah sekali pada Mas Guntur. Biarlah dia selama ini tidak memberikan nafkahnya padaku, tetapi ini? Anaknya sendiri masuk rumah sakit. Setidaknya dia panik atau apa, bukan malah tidak peduli hanya karena dia kehilangan pekerjaannya."Dasar laki-laki gak tau diri." Aku mencengkeram erat jemariku sendiri, berusaha menahan emosi."Mbak pasti bisa, sabar ya Mbak." Rumi mengusap punggungku."Bahkan sama anaknya dia gak peduli! Dimana hatinya itu, yang dia peduliin cuma uang!"Rumi kali ini diam saja. Dia masih mengusap punggungku, berusaha menenangkan. Sementara aku untung saja bukan tipikal orang yang emosian, jadi masih bisa menahan amarah."Awas kamu, Mas! Aku tidak akan pernah melepaskanmu! Ini bukan lagi soal perlakuan kamu ke aku, tapi juga ke anakku! Kamu akan menderita, Mas!"***"Gimana keadaan Putra, Bu?" tanyaku sambil mengatur napas, kami baru saja tiba di depan ruang IGD.Aku menatap ruangan di depan, pasti Putra ada di dalam, kemudian menoleh kembali ke guru Putra yang terdiam melihatku memakai pakaian yang jarang sekali.Mereka taunya, aku memakai pakaian dekil, juga kusam saat mengambil raport atau rapat dengan guru. Kali ini berbeda. Aku tidak mempedulikan ini sekarang."Gimana keadaan anak saya, Bu?" tanyaku mengulang pertanyaan tadi kembali, membuat guru putra tampak kaget."Ibu disuruh menemui dokternya. Saya gak dikasih tau apa-apa mengenai kondisi Putra, karena yang berhak adalah orang tuanya.""Baik, terima kasih, Bu. Ibu kalau mau kembali ke sekolah boleh. Saya makasih banget udah bawa Putra ke sini.""Yaudah, Bu. Saya minta maaf banget atas kejadian ini. Kalau Ibu mau nuntut kami atas kelalaian kami, langsung aja ya, Bu datang ke sekolah. Kami siap untuk konsekuensinya. Saya permisi, Bu."Aku menganggukkan kepala, menatap guru Putra yang melangkah pergi meninggalkan kami. Buru-buru aku masuk ke dalam ruang dokter yang tidak jauh dari IGD."Dengan orang tuanya Putra?"Mendengar pertanyaan itu, aku langsung menganggukkan kepala. Aku menatap dokter itu, kemudian mengernyitkan dahi. Seperti tidak asing.Dokter itu juga saat melihatku terdiam. Dia sepertinya sedang berpikir. Aku menggelengkan kepala, aku sepertinya mengenali dokter ini."Dina, kan?" tanyanya seperti terkejut.Ah, benar sekali. Aku tersenyum sambil menganggukkan kepala."Reyza?" tanyaku tanpa menjawab pertanyaannya tadi.Yah, dia adalah mantanku dulu. Kami berpisah karena orang tua Reyza tidak setuju denganku. Sebagian karena alasan itu tadi, aku miskin dan aku tidak punya apa-apa."Kamu makin cantik." Dia tersenyum padaku."Makasih." Aku menganggukkan kepala, tidak tertarik dengan pembahasan Reyza. "Aku kesini untuk nanya keadaan anakku. Bisa dikasih tau?"Dia menganggukkan kepala. Kemudian mengeluarkan hasil rongsen dan menjelaskan semuanya."Ada bagian tangannya yang patah, jadi kami harus segera melakukan operasi. Surat persetujuan sudah disiapkan. Selainnya aman semua, hanya lecet sedikit. Kami juga sudah melakukan pemeriksaan di bagian kepala, hanya terbentur, jadi sudah diobati.""Lakukan yang terbaik saja. Kalau perlu dokter tabik, ya, Rey. Saya ingin anak saya baik-baik saja."Reyza menganggukkan kepala. Aku menghela napas pelan. Setidaknya aku tidak sekhawatir yang tadi."Apa kabarmu, Dina?" tanya Reyza pelan sekali."Nanti kita bisa ngobrol, Za. Sekarang, lakukan yang terbaik untuk anakku. Kalau ada apa-apa dengan anakku, jangan harap bisa berbicara banyak denganku.""Iya. Saya akan berusaha lakukan yang terbaik untuk anak kamu.""Makasih. Saya keluar ya.""Gimana, Mbak?" tanya Rumi membuatku akhirnya menjelaskan semuanya panjang lebar."Alhamdulillah gak terlalu parah." Mama mengusap lenganku.Aku menganggukkan kepala, kemudian menoleh ke Rumi. "Mbak minta pakaian sebelum berangkat kesini, Rum. Kamu juga sebaiknya ganti pakaian, bisa bahaya kalau Mas Guntur kesini.""Kenapa kalian gak langsung bongkar aja semuanya? Kenapa harus berpura-pura lagi. Kamu gak lihat apa yang suami kamu katakan tadi, dia gak peduli sama kamu dan anakmu lagi, Sayang. Harusnya kamu langsung kasih dia pelajaran terang-terangan aja."Buru-buru aku menggelengkan kepala. Aku tidak setuju dengan perkataan Mama barusan. Ada yang masih dikejar dan itu tidak boleh jatuh ke tangan Mas Guntur.Ya, harta kami berdua. Aku pasti tidak akan mendapatkannya setelah kami bercerai nanti. Bukan karena aku membutuhkan harta itu, tetapi aku lebih ke tidak rela kalau Mas Guntur yang mendapatkannya. Aku akan membuat dia lebih menderita dari pada yang aku rasakan.Ada lagi, aku harus memberikannya pelajaran, juga mamanya yang menyebalkan itu. Aku tidak terima atas semuanya. Aku harus membalaskannya segera."Yaudah kalau itu pilihanmu, Sayang. Mama dan Papa hanya bisa mendukung dari belakang aja."Sampai malam, Mas Guntur tidak datang kesini. Entah kemana dia, bahkan tidak meneleponku untuk menanyakan makan malam. Aku mengangkat bahu, bodo amat. Aku sama sekali tidak peduli dengannya sekarang."Mbak mau pulang dulu? Biar Rumi yang jagain di sini."Putra masih belum sadar karena pengaruh obat bius sebelum operasi. Aku menghela napas pelan, Mama dan Papa juga sudah kusuruh pulang duluan tadi, kasihan mereka, pasti kelelahan dan butuh istirahat."Mbak pulang bentar ya, mau ganti pakaian sama ngecek dikit-dikit."Rumi akhirnya tersenyum sambil menganggukkan kepala. Dia memelukku sejenak."Mbak tenang aja. Rumi selalu ada di samping Mbak, bahkan apa pun itu. Jangan khawatir, ada Rumi yang jagain Putra.""Makasih, Rum. Makasih banyak. Adek Mbak gak pernah berubah sejak dulu, baik banget."Adikku itu tersenyum sambil menganggukkan kepala. Aku melangkah keluar dari ruang rawat inap Putra."Gimana keadaan Putra? Maaf Abang baru bisa datang, ini aja tadi langsung ninggalin kerjaan.""Udah aman, Bang." Aku menjawab pelan.Sungguh, aku kelelahan sekali hari ini. Aku mungkin butuh istirahat, dari pada ikutan sakit juga. Nanti saja setelah berganti pakaian. Aku juga akan menjaga di rumah sakit, tidak mungkin Rumi dan Bang Fino saja yang menjaga."Kamu mau kemana? Ganti pakaian? Rumi gak sekalian ikut?"Adikku itu menoleh, kemudian menggelengkan kepala. Rumi seperinya sudah berganti pakaian tadi. Aku menghela napas pelan, kepalaku sudah penuh sekali rasanya."Mau Abang anterin pulang?" tanya Bang Fino membuatku langsung menggelengkan kepala."Abang bantu jagain Putra aja, siapa tau sebentar lagi dia siuman. Aku cuma pulang sebentar kok."Bang Fino menganggukkan kepala. Bisa bahaya kalau Bang Fino ikut pulang ke rumahku, nanti ada Mas Guntur kan repot. Ah ya, aku baru ingat dengan suamiku itu.Apakah dia masih pantas untuk aku sebut sebagai suami?"Dek? Kok malah bengong." Bang Fino melambaikan tangannya ke wajahku.Aku tersenyum, kemudian menggelengkan kepala pada Bang Fino."Gimana surat kontrak ulang Mas Guntur tadi, Bang? Dia protes?""Jelas, suami kamu itu kebanyakan gaya, udah miskin juga, protes lagi."Bang Fino menganggukkan kepala. "Dia bahkan marah-marah sambil bentak kami. Untung aja gak ada kamu, Abang lumayan sabar juga tadi. Dia resmi cuma kerja jadi office boy dari pada kata temannya tadi dia gak punya uang lagi."Bagus. Bagus sekali. Aku tersenyum tipis. Ini sangat menarik. Aku sepertinya akan memenangkan persaingan ini."Harusnya, kamu itu gak usah ngasih dia kerjaan lagi, Din. Harusnya dia itu dikasih pelajaran aja, pake bilang adek sama keponakan Abang gak ada gunanya cuma nyusahin aja, mulutnya itu minta dicabein."Aku tertawa pelan, mengusap lengan Bang Fino."Dia bakalan kesulitan dengan pekerjaannya sekarang, Bang. Yang awalnya gajinya banyak, jadi turun drastis, dia bakalan kebingungan nantinya. Aku udah punya rencana matang. Jadi, aman.""Yaudah deh, Abang ikut apa kata kamu aja. Ujungnya juga buat kehidupan kamu sendiri, tapi ingat. Jangan sampai kamu maafin dia lagi. Udah cukup dek kamu disakitin.""Pasti, Bang." Aku menganggukkan kepala."Yaudah, ini kamu bawa mobil Abang aja. Nanti parkir di dekat rumah kamu, jangan di rumah kamu. Hati-hati.""Makasih banyak, Bang." Aku mengambil kunci yang Bang Fino berikan, kemudian melanjutkan langkah keluar ruang rawat inap Putra.Baru beberapa langkah menjauhi ruang rawat inap Putra, seseorang memanggilku. Aku menghela napas pelan, Reyza. Kenapa lagi dia? Ada urusan apa lagi? Aku sudah lelah."Kenapa? Aku lagi capek. Mau pulang, mau ganti pakaian." Aku menjawab cuek."Kamu gak mau kasih kesempatan aku untuk bicara sama kamu, Din? Sebentar aja, gak usah lama-lama deh. Aku butuh bicara sama kamu, Din."Sungguh, aku tidak ingin berurusan dengan siapa pun kali ini, tetapi Reyza banyak membantuku dulu. Dia yang membantu agar Rumi tetap sekolah dulu."Demi masa lalu kita, Din. Tolong, aku butuh bicara sama kamu."Akhirnya, aku menganggukkan kepala. Bukan untuk masa lalu kami, tetapi untuk semua kebaikan yang Reyza lakukan padaku."Kita ke kantin rumah sakit aja."Baiklah, aku punya waktu untuk berbicara dengannya beberapa saat. Lagi pula, Rumi sudah ditemani oleh Bang Fino, jadi aku agak lega sekarang dan juga Reyza sudah membantu anakku."Kamu mau pesan apa?" tanya Reyza membuatku diam sejenak. "Ah ya, biasa jus mangga kan? Sebentar, aku pesenin dulu ya."Sungguh, aku tertegun mendengar perkataan Reyza. Bahkan Mas Guntur saja belum tentu ingat dengan apa yang akan aku pesan, minuman dan juga makanan favoritku."Nih, kamu pasti belum makan juga. Nasi goreng, walaupun gak spesial, tapi kamu tetap spesial." Reyza kembali sambil meletakkan makanan dan minuman setelah beberapa saat meninggalkanku.Aku langsung menggelengkan kepala mendengar gombalan dari Reyza. Apakah dia tidak sadar kalau aku ini sudah menikah? Apakah dia juga tidak ingat istrinya di rumah."Makasih, Za. Tapi harusnya kamu gak usah sebaik ini." Aku menghela napas pelan menatap makanan dan juga minuman yang baru saja dibawakan oleh Reyza ke mejaku barusan."Loh, kenapa? Aku gak boleh bawain kamu makanan kesukaan yang biasanya kita pesan? Atau kamu udah gak suka sama ini semua?""Stop, Rey. Langsung aja ke intinya. Kamu mau apa? Jangan sampai istri kamu lihat kita dan berpikir macam-macam. Aku gak mau menyakiti hati wanita lain.""Loh?" Reyza langsung melongo mendengar perkataanku barusan, membuatku mengernyitkan dahi aneh. Kenapa lagi pria ini hah?!"Kamu dari dulu lucu, Din. Selalu mikirin orang lain, gak pernah mikirin diri sendiri."Kenapa sih? Apa salahnya memikirkan orang lain? Dari pada nantinya aku membuat orang lain sakit hati, itu justru buruk.Ponsel Reyza berdering, membuat obrolan kami terhenti. Aku menghela napas pelan, pasti itu dari istrinya, bertanya sedang dimana, menyuruh pulang. Haduh, kenapa juga Reyza malah mengajakku kesini dulu?"Sebentar ya, aku angkat telepon dulu."Reyza agak menjauh dariku. Setelah beberapa saat dia berbicara di telepon, dia kembali. Duduk menatapku serius."Pasti istrimu kan? Yaudah yuk, kita pulang aja. Lagian aku harus ke rumah sakit lagi malam ini.""Kamu kenapa bahas soal istri terus, Din?" tanya Reyza pelan.Loh, aku ini bertanya serius, kenapa dia tidak pulang saja? Harusnya dia memahami perasaan istrinya."Berhenti berpikir aneh-aneh, Din. Aku belum menikah."Eh? Aku terdiam mendengar perkataan Reyza. Apa katanya? Dia belum menikah? Wah, dia pasti baru saja membohongiku."Gak mungkin. Orang sebaik kamu, kaya, pintar, bahkan kamu banyak kenalan, kenapa kamu belum menikah?"Reyza tersenyum tipis, kemudian menggelengkan kepala."Bagaimana kabarmu, Nin?" tanyanya pelan mengalihkan topik."Baik." Aku menjawab singkat. Sungguh, aku penasaran sekali dengan Reyza kenapa dia belum menikah?Memang aku tau, Reyza orangnya pemilih, tetapi harusnya dia sudah menikah kan sekarang? Bukan malah memilih untuk sendiri. Ah, ini aneh."Bagaimana kehidupan rumah tanggamu, Din? Apakah baik? Apakah buruk? Apakah suami kamu bertanggung jawab sebagai suami?"Apa yang barusan Reyza tanyakan? Kenapa dia seolah-olah menebak kalau suamiku tidak baik perlakuannya. Aku menelan ludah, menatap Reyza dalam-dalam, dia juga menatapku."Kamu jangan berpikir aneh-aneh tentang aku. Siapa yang gak nanyain itu sementara anak kamu masuk rumah sakit, tapi papanya gak ada. Suami macam apa yang kamu nikahi, Din?""Sudah, Rey. Jangan ikut campur soal rumah tanggaku."Reyza tertawa pelan. "Lucu ya, kamu masih anggap aku mantan, Din? Anggap aku sahabat kamu. Gak ada habisnya kalau anggap aku hanya mantan."Tidak. Aku tidak ingin berhubungan lagi dengan Reyza. Sudah cukup semua masa lalu kami. Aku tidak ingin menambahnya lagi dengan memperpanjang di masa depan.Setelah semua rencanaku juga dengan Mas Guntur nanti, setelah semuanya selesai, aku akan memulai kehidupan baru dengan Putra dan aku tidak akan mencari orang baru lagi di keluarga kami."Oke, mungkin ini salah aku. Salah aku, karena kita berpisah ya semuanya gara-gara aku. Maafin aku, Din."Eh? Kok jadi dia yang minta maaf?Ponselku berdering. Aku menghela napas pelan, mengambil ponsel di dalam saku. Ya ampun, saat melihat namanya, aku sudah kesal duluan."Sebentar, aku angkat telepon dulu."Reyza menganggukkan kepala, aku beranjak menggeser tombol berwarna hijau."Hal—""Kamu dimana hah?! Ini makanan kenapa belum ada di meja makan?! Dasar istri nyusahin!"***"Kamu pikir dong! Anak kamu itu masuk rumah sakit! Harusnya kamu mikirin dia, bukannya mikirin perut kamu sendiri!" Sungguh, aku emosi sekali dengan Mas Guntur. Dia sama sekali tidak peduli dengan anaknya, sementara dia malah memikirkan isi perutnya di rumah dengan menanyakan makanan? Kemana pikiran dia itu?"Halah, kamu itu gak ada gunanya jadi istri!""Kamu yang gak ada gunanya jadi suami, Mas!" Aku berkata kesal, kali ini kelepasan. Aku diam sejenak, pasti Reyza mendengarnya. Ah, biarlah. Aku ingin mengurus Mas Guntur dulu. Masalah di hidupku banyak sekali. "Oh, mulai berani ya kamu? Durhaka kamu jadi istri, hah?!"Dari pada aku bertambah emosi dan semua omongan kekesalanku keluar semua, aku akhirnya mematikan telepon. Beberapa detik menenangkan diri, aku kembali duduk di meja. "Kamu butuh minum?" tanya Reyza membuatku menggelengkan kepala. Aku tidak butuh apa-apa sekarang. Yang aku butuhkan hanyalah ketenangan. Reyza menganggukkan kepala. Dia seolah tau sekali apa yang aku r
"Tentang Mas Guntur? Buat masalah apa lagi dia? Udah capek banget denger kelakuan dia yang gak bener itu.""Ya begitulah, kenapa juga kamu bisa menikah sama pria kayak dia.""Entahlah, aku juga bingung. Harusnya dari dulu aja aku buang jauh-jauh suami kayak dia."Nada langsung tertawa mendengar perkataanku. Sahabatku itu tumben sekali menelepon malam-malam begini. "Aku juga minta maaf gak sempet ngabarin kamu tadi, ada meeting dadakan.""Ah iya, gak papa, Nad." Aku duduk di salah satu kursi tunggu. Begitu juga dengan Bang Fino. Sepertinya dia masih penasaran sekali dengan cerita mengenai Reyza. Haduh, padahal aku sudah senang bisa menghindarinya. "Terus kamu sendiri kenapa gak bisa hubungi aku, Din? Ada masalah? Atau ada sesuatu?" tanya Nada penasaran sekali. "Putra abis jatuh dari tangga sekolahnya, Nad. Ini aku lagi jagain dia di rumah sakit.""Ya ampun, terus gimana keadaannya, Din? Suami kamu juga di situ? Atau dia malah gak peduli?"Aku tertawa pelan mendengar pertanyaan Nada.
"Maaf ya, saya tadi gak sengaja ke sini, bukan niatnya mau nguping.""Iya gak papa, Dok." Putra yang menjawab sambil tersenyum. Aku buru-buru mengusap air mata. Momen mengharukan ini, ternyata juga ada yang mendengarkannya. "Boleh saya masuk?" tanya Reyza membuatku menganggukkan kepala. "Permisi ya, izin masukin obat ke dalam infusannya Putra."Reyza melangkah mendekati tempat aku duduk tadi. Aku beranjak agar Reyza lebih leluasa untuk melakukan tugasnya. "Tadinya mau perawat aja, tapi saya mau lihat perkembangan anak manis ini. Gimana? Masih ngerasa sakit?" tanya Reyza membuat Putra menggelengkan kepala. "Anak Mama kan kuat." Perkataan Putra membuatku tersenyum. "Pintarnya. Putra dewasa sekali, mirip banget sama keponakan dokter. Nanti kapan-kapan ketemu deh, ya." "Wah, seru banget pasti. Iya, nanti kapan-kapan sama Mama ya, Dok."Pria itu langsung menoleh ke aku beberapa saat. Kemudian kembali menoleh ke Putra dan menganggukkan kepala. "Iya, nanti sama Mama juga. Udah selesa
"Aku butuh banget jawaban dari kamu, Din. Kamu ada waktu untuk ketemu sama Mamaku?"Aku menggigit bibir, bingung mau menjawab apa. Kalau aku menolak, aku akan menyakiti hati Reyza, juga aku penasaran dengan apa yang ingin dikatakan Mama Reyza sampai ingin bertemu denganku. "Kayaknya kamu gak bersedia ya, Din? Gak papa kalau gak bisa, aku juga maklum karena kamu udah punya suami. Kamu udah punya kehidupan sendiri."Sampai Reyza mengatakan itu saja, aku masih belum berani untuk mengambil keputusan. Aku bingung harus melakukan apa. Aku takut salah. "Din? Kenapa malah bengong? Kalau gak mau gak papa kok."Huft, ini keputusan yang sangat berat. Aku membutuhkan pendapat orang lain. "Yaudah yuk, gak usah dipikirin. Jam istirahat aku kayaknya bentar lagi habis. Kita balik aja ke ruangan Putra. Yuk."Reyza sudah berdiri duluan, dia membereskan meja. Aku menghela napas pelan, semoga ini keputusan yang tidak salah. "Maaf, Rey." Perkataanku membuat pria itu langsung menoleh. Senyumnya memudar
"Bu, permisi? Saya mau bersih-bersih toilet dulu. Nanti kalau saya gak bersih-bersih, dimarahin lagi." Dih, aku memutar bola mata, langsung keluar dari bilik kamar mandi perempuan. Dia memang menyebalkan, bertambah menyebalkan lagi. "Nanti lagi ya. Nanti aku telepon lagi."Aku langsung mematikan telepon Nada, kemudian melangkah menuju ke tempat duduk Bang Fino tadi. "Lama banget. Nelepon atau ngapain?" tanya Bang Fino yang sudah gerah menungguku. "Ada Mas Guntur tadi. Yuk kita ke rumah sakit sebentar. Kayaknya Putra udah boleh pulang deh.""Serius?" Ya gak tau juga. Putra sudah merengek minta pulang tadi malam, tetapi aku mungkin akan membawa Putra pulang ke rumah Mama dan Papa dulu, nanti saja ke rumah Mas Guntur, lagi pula apdti suamiku masih mengira Putra dirawat di rumah sakit. Sebenarnya belum diperbolehkan pulang, tetapi kondisi Putra juga sudah baik, lagi pula ngapain lama-lama di rumah sakit. Nanti juga ada Mama dan Papa yang mengurus. Akhir-akhir ini juga pasti akan si
"Loh kok karena aku, Bang? Aku kan gak ada masalah apa pun sama Reyza. Kita juga udah jadi mantan, aku udah nikah.""Bukan soal itu aja, Din. Kamu perhatiin baik-baik, Reyza sampai saat ini faktornya apa lagi kalau belum menikah?"Ya, mana aku tau. Masa nanya sama aku sih? Kan aku juga tidak tau kenapa dengan Reyza. Ah, ini menyebalkan sekali, kenapa Bang Fino malah berasumsi begitu?"Nah, coba kamu pikirin lagi selama kamu di rumah sakit ini. Si Reyza selalu minta waktu kosong kamu buat dia ngobrol sesuatu, kan? Terus setiap kamu tanya kenapa dia belum menikah, dia jawab kamu bakalan tau sendiri, itu karena dia masih mengharapkan kamu, Din. Masa kamu gak sadar juga sih?" tanya Bang Fino kesal. Tunggu sebentar, memang benar sih kata Bang Fino. "Bahkan, dia langsung ngasih tau kamu ketika Mamanya minta kamu untuk datang. Meskipun ya harusnya dia memang memberitahu kamu, tetapi kalau dia tidak ada rasa lagi dan dia gak berharap lagi sama kamu, harusnya dia gak seantusias itu. Tandanya
"Ah, udah puas banget lihat suaminya Dina jalan sama wanita lain."Bang Fino enteng sekali mengatakannya. Haduh, ngapain bahas itu ketika ada Reyza di sini. Kan jadinya terbongkar semuanya, ini aib rumah tangga loh. "Maaf banget nih, aku gak papa di sini? Ini soal rumah tangganya Din—" "Gak papa, aman kok. Dina juga udah cerita soal dia kayak mana kan di keluarganya itu? Kamu mungkin bisa bantu untuk ngasih solusi juga."Reyza terdiam mendengar perkataan Nada, kemudian menganggukkan kepala. Sementara aku kesal sekali mendengarnya, hampir saja aku menimpuk Nada dengan sendalku sendiri, menyebalkan. "Gimana, Din?" tanya Reyza masih ingin mendengar aku sendiri yang mengizinkannya. Baiklah, kasihan juga dia, lagi pula memang benar kata Nada, aku sudah pernah bilang pada Reyza mengenai hal ini. Aku menganggukkan kepala. "Dengerin aja gak papa, Rey."Akhirnya pria itu bisa lebih tenang. Dia menganggukkan kepala, aku menghela napas pelan, kembali fokus melihat ke arah ponsel Nada yang m
"Wow?! Ini serius? Video ini viral?" "Iya. Video ini akhirnya viral, Mbak. Dishare ratusan ribu, di-like jutaan. Wow, kita bisa serbu suami Mbak itu."Aku menoleh ke Rumi yang tersenyum. Beberapa detik kemudian, aku mengernyitkan dahi, siapa yang memvideokannya? "Siapa yang videoin, Rum? Kok Mbak gak tau ada yang videoin?" tanyaku membuat Rumi tertawa pelan. "Salah satu dari ibu-ibu yang juga ada di warung itu, Mbak. Dia yang videoin, Mbak gak sadar juga kalau lagi divideoin."Ini wow sekali. Aku menelan ludah, memang ini benar videoku sedang marah-marah dan membongkar semuanya. Benar kata Rumi, video ini benar-benar sedang trending. Sungguh, aku tidak menyangka dengan semua ini. Padahal aku tidak pernah berharap untuk perkataanku kemarin, aku juga sebenarnya tidak menginginkan apa pun untuk perkataanku tidak sengaja kemarin, tetapi kalau sudah begini, ini malah kabar bagus sekali. Aku tersenyum senang. "Kita makin dekat sama tujuan akhir kita, Mbak. Gak perlu repot lagi. Aku jug