Share

Mulut Pedas Suamiku

"Putra anakmu, Mas! Kenapa kamu bilang begitu, hah?! Harusnya kamu panik, harusnya kamu langsung tanya dimana rumah sakitnya, bukan malah maki-maki anak sendiri."

Aku mencengkeram erat ponsel, rasanya aku ingin membanting ponselku kalau tidak ada akal sehat lagi.

"Anak nyusahin, ngapain aku mikirin dia. Udah, jangan ganggu aku, aku lagi sibuk dan pusing mikirin kerjaan. Kamu itu nelpon gak ada gunanya banget."

"Halo Mas Guntu! Halo!"

"Istighfar, Mbak." Rumi langsung membantu menenangkanku. Dia mengambil ponselku agar aku tidak membanting sesuatu.

Sungguh, aku marah sekali pada Mas Guntur. Biarlah dia selama ini tidak memberikan nafkahnya padaku, tetapi ini? Anaknya sendiri masuk rumah sakit. Setidaknya dia panik atau apa, bukan malah tidak peduli hanya karena dia kehilangan pekerjaannya.

"Dasar laki-laki gak tau diri." Aku mencengkeram erat jemariku sendiri, berusaha menahan emosi.

"Mbak pasti bisa, sabar ya Mbak." Rumi mengusap punggungku.

"Bahkan sama anaknya dia gak peduli! Dimana hatinya itu, yang dia peduliin cuma uang!"

Rumi kali ini diam saja. Dia masih mengusap punggungku, berusaha menenangkan. Sementara aku untung saja bukan tipikal orang yang emosian, jadi masih bisa menahan amarah.

"Awas kamu, Mas! Aku tidak akan pernah melepaskanmu! Ini bukan lagi soal perlakuan kamu ke aku, tapi juga ke anakku! Kamu akan menderita, Mas!"

***

"Gimana keadaan Putra, Bu?" tanyaku sambil mengatur napas, kami baru saja tiba di depan ruang IGD.

Aku menatap ruangan di depan, pasti Putra ada di dalam, kemudian menoleh kembali ke guru Putra yang terdiam melihatku memakai pakaian yang jarang sekali.

Mereka taunya, aku memakai pakaian dekil, juga kusam saat mengambil raport atau rapat dengan guru. Kali ini berbeda. Aku tidak mempedulikan ini sekarang.

"Gimana keadaan anak saya, Bu?" tanyaku mengulang pertanyaan tadi kembali, membuat guru putra tampak kaget.

"Ibu disuruh menemui dokternya. Saya gak dikasih tau apa-apa mengenai kondisi Putra, karena yang berhak adalah orang tuanya."

"Baik, terima kasih, Bu. Ibu kalau mau kembali ke sekolah boleh. Saya makasih banget udah bawa Putra ke sini."

"Yaudah, Bu. Saya minta maaf banget atas kejadian ini. Kalau Ibu mau nuntut kami atas kelalaian kami, langsung aja ya, Bu datang ke sekolah. Kami siap untuk konsekuensinya. Saya permisi, Bu."

Aku menganggukkan kepala, menatap guru Putra yang melangkah pergi meninggalkan kami. Buru-buru aku masuk ke dalam ruang dokter yang tidak jauh dari IGD.

"Dengan orang tuanya Putra?"

Mendengar pertanyaan itu, aku langsung menganggukkan kepala. Aku menatap dokter itu, kemudian mengernyitkan dahi. Seperti tidak asing.

Dokter itu juga saat melihatku terdiam. Dia sepertinya sedang berpikir. Aku menggelengkan kepala, aku sepertinya mengenali dokter ini.

"Dina, kan?" tanyanya seperti terkejut.

Ah, benar sekali. Aku tersenyum sambil menganggukkan kepala.

"Reyza?" tanyaku tanpa menjawab pertanyaannya tadi.

Yah, dia adalah mantanku dulu. Kami berpisah karena orang tua Reyza tidak setuju denganku. Sebagian karena alasan itu tadi, aku miskin dan aku tidak punya apa-apa.

"Kamu makin cantik." Dia tersenyum padaku.

"Makasih." Aku menganggukkan kepala, tidak tertarik dengan pembahasan Reyza. "Aku kesini untuk nanya keadaan anakku. Bisa dikasih tau?"

Dia menganggukkan kepala. Kemudian mengeluarkan hasil rongsen dan menjelaskan semuanya.

"Ada bagian tangannya yang patah, jadi kami harus segera melakukan operasi. Surat persetujuan sudah disiapkan. Selainnya aman semua, hanya lecet sedikit. Kami juga sudah melakukan pemeriksaan di bagian kepala, hanya terbentur, jadi sudah diobati."

"Lakukan yang terbaik saja. Kalau perlu dokter tabik, ya, Rey. Saya ingin anak saya baik-baik saja."

Reyza menganggukkan kepala. Aku menghela napas pelan. Setidaknya aku tidak sekhawatir yang tadi.

"Apa kabarmu, Dina?" tanya Reyza pelan sekali.

"Nanti kita bisa ngobrol, Za. Sekarang, lakukan yang terbaik untuk anakku. Kalau ada apa-apa dengan anakku, jangan harap bisa berbicara banyak denganku."

"Iya. Saya akan berusaha lakukan yang terbaik untuk anak kamu."

"Makasih. Saya keluar ya."

"Gimana, Mbak?" tanya Rumi membuatku akhirnya menjelaskan semuanya panjang lebar.

"Alhamdulillah gak terlalu parah." Mama mengusap lenganku.

Aku menganggukkan kepala, kemudian menoleh ke Rumi. "Mbak minta pakaian sebelum berangkat kesini, Rum. Kamu juga sebaiknya ganti pakaian, bisa bahaya kalau Mas Guntur kesini."

"Kenapa kalian gak langsung bongkar aja semuanya? Kenapa harus berpura-pura lagi. Kamu gak lihat apa yang suami kamu katakan tadi, dia gak peduli sama kamu dan anakmu lagi, Sayang. Harusnya kamu langsung kasih dia pelajaran terang-terangan aja."

Buru-buru aku menggelengkan kepala. Aku tidak setuju dengan perkataan Mama barusan. Ada yang masih dikejar dan itu tidak boleh jatuh ke tangan Mas Guntur.

Ya, harta kami berdua. Aku pasti tidak akan mendapatkannya setelah kami bercerai nanti. Bukan karena aku membutuhkan harta itu, tetapi aku lebih ke tidak rela kalau Mas Guntur yang mendapatkannya. Aku akan membuat dia lebih menderita dari pada yang aku rasakan.

Ada lagi, aku harus memberikannya pelajaran, juga mamanya yang menyebalkan itu. Aku tidak terima atas semuanya. Aku harus membalaskannya segera.

"Yaudah kalau itu pilihanmu, Sayang. Mama dan Papa hanya bisa mendukung dari belakang aja."

Sampai malam, Mas Guntur tidak datang kesini. Entah kemana dia, bahkan tidak meneleponku untuk menanyakan makan malam. Aku mengangkat bahu, bodo amat. Aku sama sekali tidak peduli dengannya sekarang.

"Mbak mau pulang dulu? Biar Rumi yang jagain di sini."

Putra masih belum sadar karena pengaruh obat bius sebelum operasi. Aku menghela napas pelan, Mama dan Papa juga sudah kusuruh pulang duluan tadi, kasihan mereka, pasti kelelahan dan butuh istirahat.

"Mbak pulang bentar ya, mau ganti pakaian sama ngecek dikit-dikit."

Rumi akhirnya tersenyum sambil menganggukkan kepala. Dia memelukku sejenak.

"Mbak tenang aja. Rumi selalu ada di samping Mbak, bahkan apa pun itu. Jangan khawatir, ada Rumi yang jagain Putra."

"Makasih, Rum. Makasih banyak. Adek Mbak gak pernah berubah sejak dulu, baik banget."

Adikku itu tersenyum sambil menganggukkan kepala. Aku melangkah keluar dari ruang rawat inap Putra.

"Gimana keadaan Putra? Maaf Abang baru bisa datang, ini aja tadi langsung ninggalin kerjaan."

"Udah aman, Bang." Aku menjawab pelan.

Sungguh, aku kelelahan sekali hari ini. Aku mungkin butuh istirahat, dari pada ikutan sakit juga. Nanti saja setelah berganti pakaian. Aku juga akan menjaga di rumah sakit, tidak mungkin Rumi dan Bang Fino saja yang menjaga.

"Kamu mau kemana? Ganti pakaian? Rumi gak sekalian ikut?"

Adikku itu menoleh, kemudian menggelengkan kepala. Rumi seperinya sudah berganti pakaian tadi. Aku menghela napas pelan, kepalaku sudah penuh sekali rasanya.

"Mau Abang anterin pulang?" tanya Bang Fino membuatku langsung menggelengkan kepala.

"Abang bantu jagain Putra aja, siapa tau sebentar lagi dia siuman. Aku cuma pulang sebentar kok."

Bang Fino menganggukkan kepala. Bisa bahaya kalau Bang Fino ikut pulang ke rumahku, nanti ada Mas Guntur kan repot. Ah ya, aku baru ingat dengan suamiku itu.

Apakah dia masih pantas untuk aku sebut sebagai suami?

"Dek? Kok malah bengong." Bang Fino melambaikan tangannya ke wajahku.

Aku tersenyum, kemudian menggelengkan kepala pada Bang Fino.

"Gimana surat kontrak ulang Mas Guntur tadi, Bang? Dia protes?"

"Jelas, suami kamu itu kebanyakan gaya, udah miskin juga, protes lagi."

Bang Fino menganggukkan kepala. "Dia bahkan marah-marah sambil bentak kami. Untung aja gak ada kamu, Abang lumayan sabar juga tadi. Dia resmi cuma kerja jadi office boy dari pada kata temannya tadi dia gak punya uang lagi."

Bagus. Bagus sekali. Aku tersenyum tipis. Ini sangat menarik. Aku sepertinya akan memenangkan persaingan ini.

"Harusnya, kamu itu gak usah ngasih dia kerjaan lagi, Din. Harusnya dia itu dikasih pelajaran aja, pake bilang adek sama keponakan Abang gak ada gunanya cuma nyusahin aja, mulutnya itu minta dicabein."

Aku tertawa pelan, mengusap lengan Bang Fino.

"Dia bakalan kesulitan dengan pekerjaannya sekarang, Bang. Yang awalnya gajinya banyak, jadi turun drastis, dia bakalan kebingungan nantinya. Aku udah punya rencana matang. Jadi, aman."

"Yaudah deh, Abang ikut apa kata kamu aja. Ujungnya juga buat kehidupan kamu sendiri, tapi ingat. Jangan sampai kamu maafin dia lagi. Udah cukup dek kamu disakitin."

"Pasti, Bang." Aku menganggukkan kepala.

"Yaudah, ini kamu bawa mobil Abang aja. Nanti parkir di dekat rumah kamu, jangan di rumah kamu. Hati-hati."

"Makasih banyak, Bang." Aku mengambil kunci yang Bang Fino berikan, kemudian melanjutkan langkah keluar ruang rawat inap Putra.

Baru beberapa langkah menjauhi ruang rawat inap Putra, seseorang memanggilku. Aku menghela napas pelan, Reyza. Kenapa lagi dia? Ada urusan apa lagi? Aku sudah lelah.

"Kenapa? Aku lagi capek. Mau pulang, mau ganti pakaian." Aku menjawab cuek.

"Kamu gak mau kasih kesempatan aku untuk bicara sama kamu, Din? Sebentar aja, gak usah lama-lama deh. Aku butuh bicara sama kamu, Din."

Sungguh, aku tidak ingin berurusan dengan siapa pun kali ini, tetapi Reyza banyak membantuku dulu. Dia yang membantu agar Rumi tetap sekolah dulu.

"Demi masa lalu kita, Din. Tolong, aku butuh bicara sama kamu."

Akhirnya, aku menganggukkan kepala. Bukan untuk masa lalu kami, tetapi untuk semua kebaikan yang Reyza lakukan padaku.

"Kita ke kantin rumah sakit aja."

Baiklah, aku punya waktu untuk berbicara dengannya beberapa saat. Lagi pula, Rumi sudah ditemani oleh Bang Fino, jadi aku agak lega sekarang dan juga Reyza sudah membantu anakku.

"Kamu mau pesan apa?" tanya Reyza membuatku diam sejenak. "Ah ya, biasa jus mangga kan? Sebentar, aku pesenin dulu ya."

Sungguh, aku tertegun mendengar perkataan Reyza. Bahkan Mas Guntur saja belum tentu ingat dengan apa yang akan aku pesan, minuman dan juga makanan favoritku.

"Nih, kamu pasti belum makan juga. Nasi goreng, walaupun gak spesial, tapi kamu tetap spesial." Reyza kembali sambil meletakkan makanan dan minuman setelah beberapa saat meninggalkanku.

Aku langsung menggelengkan kepala mendengar gombalan dari Reyza. Apakah dia tidak sadar kalau aku ini sudah menikah? Apakah dia juga tidak ingat istrinya di rumah.

"Makasih, Za. Tapi harusnya kamu gak usah sebaik ini." Aku menghela napas pelan menatap makanan dan juga minuman yang baru saja dibawakan oleh Reyza ke mejaku barusan.

"Loh, kenapa? Aku gak boleh bawain kamu makanan kesukaan yang biasanya kita pesan? Atau kamu udah gak suka sama ini semua?"

"Stop, Rey. Langsung aja ke intinya. Kamu mau apa? Jangan sampai istri kamu lihat kita dan berpikir macam-macam. Aku gak mau menyakiti hati wanita lain."

"Loh?" Reyza langsung melongo mendengar perkataanku barusan, membuatku mengernyitkan dahi aneh. Kenapa lagi pria ini hah?!

"Kamu dari dulu lucu, Din. Selalu mikirin orang lain, gak pernah mikirin diri sendiri."

Kenapa sih? Apa salahnya memikirkan orang lain? Dari pada nantinya aku membuat orang lain sakit hati, itu justru buruk.

Ponsel Reyza berdering, membuat obrolan kami terhenti. Aku menghela napas pelan, pasti itu dari istrinya, bertanya sedang dimana, menyuruh pulang. Haduh, kenapa juga Reyza malah mengajakku kesini dulu?

"Sebentar ya, aku angkat telepon dulu."

Reyza agak menjauh dariku. Setelah beberapa saat dia berbicara di telepon, dia kembali. Duduk menatapku serius.

"Pasti istrimu kan? Yaudah yuk, kita pulang aja. Lagian aku harus ke rumah sakit lagi malam ini."

"Kamu kenapa bahas soal istri terus, Din?" tanya Reyza pelan.

Loh, aku ini bertanya serius, kenapa dia tidak pulang saja? Harusnya dia memahami perasaan istrinya.

"Berhenti berpikir aneh-aneh, Din. Aku belum menikah."

Eh? Aku terdiam mendengar perkataan Reyza. Apa katanya? Dia belum menikah? Wah, dia pasti baru saja membohongiku.

"Gak mungkin. Orang sebaik kamu, kaya, pintar, bahkan kamu banyak kenalan, kenapa kamu belum menikah?"

Reyza tersenyum tipis, kemudian menggelengkan kepala.

"Bagaimana kabarmu, Nin?" tanyanya pelan mengalihkan topik.

"Baik." Aku menjawab singkat. Sungguh, aku penasaran sekali dengan Reyza kenapa dia belum menikah?

Memang aku tau, Reyza orangnya pemilih, tetapi harusnya dia sudah menikah kan sekarang? Bukan malah memilih untuk sendiri. Ah, ini aneh.

"Bagaimana kehidupan rumah tanggamu, Din? Apakah baik? Apakah buruk? Apakah suami kamu bertanggung jawab sebagai suami?"

Apa yang barusan Reyza tanyakan? Kenapa dia seolah-olah menebak kalau suamiku tidak baik perlakuannya. Aku menelan ludah, menatap Reyza dalam-dalam, dia juga menatapku.

"Kamu jangan berpikir aneh-aneh tentang aku. Siapa yang gak nanyain itu sementara anak kamu masuk rumah sakit, tapi papanya gak ada. Suami macam apa yang kamu nikahi, Din?"

"Sudah, Rey. Jangan ikut campur soal rumah tanggaku."

Reyza tertawa pelan. "Lucu ya, kamu masih anggap aku mantan, Din? Anggap aku sahabat kamu. Gak ada habisnya kalau anggap aku hanya mantan."

Tidak. Aku tidak ingin berhubungan lagi dengan Reyza. Sudah cukup semua masa lalu kami. Aku tidak ingin menambahnya lagi dengan memperpanjang di masa depan.

Setelah semua rencanaku juga dengan Mas Guntur nanti, setelah semuanya selesai, aku akan memulai kehidupan baru dengan Putra dan aku tidak akan mencari orang baru lagi di keluarga kami.

"Oke, mungkin ini salah aku. Salah aku, karena kita berpisah ya semuanya gara-gara aku. Maafin aku, Din."

Eh? Kok jadi dia yang minta maaf?

Ponselku berdering. Aku menghela napas pelan, mengambil ponsel di dalam saku. Ya ampun, saat melihat namanya, aku sudah kesal duluan.

"Sebentar, aku angkat telepon dulu."

Reyza menganggukkan kepala, aku beranjak menggeser tombol berwarna hijau.

"Hal—"

"Kamu dimana hah?! Ini makanan kenapa belum ada di meja makan?! Dasar istri nyusahin!"

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status