"Ada apa, Nana? Kenapa kamu kelihatan cemas? Katakan pada Ayah," kata Ayah ketika aku tak kunjung mengutarakan niatku berkunjung ke rumahnya."Zaki, ada apa ini? Kalian tak sedang ada masalah, kan?" sambungnya dengan melirik ke arah Zaki. Secepat kilat aku lantas menggelengkan kepala, dan menggenggam tangan Zaki. Aku tak ingin orangtuaku salah faham dengan kedatangan kami."Tidak, bukan kami yang bermasalah, Ayah. Ada hal lain yang ingin kukatakan." Zaki mengangguk, dia juga terlihat cemas sepertiku.Raut wajah Pakde Irwan masih terngiang jelas di kepalaku. Dia terlihat bingung, pucat dan seperti kurang tidur. Apalagi dia mendorong Huda sendirian, sungguh aku sangat miris padanya."Lalu, apa yang membuatmu seperti ini?" tanyanya lagi dengan memandang kami secara bergantian."Em, tadi kami ke rumah sakit untuk mengambil hasil tes lab ibu mertuaku. Lalu, kami bertemu dengan Pakde Irwan, Yah." Dengan hati-hati kusampaikan apa yang menjadi permintaan Pakde Irwan di rumah sakit tadi. Mesk
Malam ini Zaki mengajakku untuk makan malam disebuah restoran di dekat pantai, rupanya dia telah menyiapkan semuanya tanpa sepengetahuanku. Dia memilih tempat yang memang sangat dekat dengan pantai hingga deburan ombak terdengar dengan jelas. Angin sepoy juga terasa sangat menyenangkan, apalagi di tambah alunan musik klasik dan cahaya remang-remang lilin di sekitar kami.Sungguh, aku sangat takjub dengan semua yang Zaki siapkan untukku. Selain itu, ini memang kali pertama aku mendapat perlakuan khusus dari seorang lelaki. Mereka yang dulu pernah mendekatiku hanya sekedar menggodaku saja dan tak pernah bersungguh-sungguh kepadaku.Kali ini aku seperti menemukan seorang ayah kedua bagiku. Zaki sangat menyayangiku, melindungiku dan memberikan semua yang bisa membuatku bahagia. Sedikitpun aku tak menyangka jika nasibku akan berubah sedrastis ini."Kamu suka, Sayang?" tanya Zaki ketika aku masih mengagumi suasana yang baru kudapati kali ini."Ya, aku suka, A. Terimakasih, ya," jawabku deng
"A, tadi temanmu itu kenapa? Kok kaya sedih gitu?" tanyaku ketika kami melanjutkan perjalanan.Zaki menolehku, dia terlihat bingung. "Yang mana?""Yang tadi loh, A. A ... Alika. Iya Alika kan namanya?" tuturku menjelaskan dengan menatapnya dalam.Tanpa memberi jawaban, Zaki hanya mengangkat kedua bahunya. Sepertinya dia memang tak tahu alasan yang pasti kenapa Alika bersikap demikian."Em, maksudku saat ini Alika memang sedang ada masalah pribadi. Dan aku tahu bagaimana perasaannya," kata Erina yang masih kuingat."Sudah, jangan dengarkan dia. Aku baik-baik saja. Ayo Erina, kita pergi. Maaf ya sudah menganggu kalian. Silahkan kembali dinikmati," ujar Alika dengan menarik lengan sahabatnya itu sedangkan aku hanya menganggukkan kepala.Zaki? Dia hanya diam saja. Padahal katanya mereka adalah teman lama, tapi Zaki terlihat begitu cuek."Kenapa melamun, Nana? Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan. Toh aku juga tidak terlalu dekat dengan mereka jadi tidak tahu masalah apa yang sedang merepan
"Eheemm ...." Aku berdehem ketika keluar dari kamar mandi.Bukan tanpa alasan, aku hanya tak ingin Zaki terlihat canggung ketika ia menyadari bahwa aku telah mendengar pembicaraannya. Sebenarnya aku bisa saja menanyainya mengenai hal itu, dia sedang berbincang dengan siapa. Hanya saja aku rasa itu semua tidak pantas kutanyakan karena akan kentara jika aku telah mengupingnya sebelum ini."Eh, Na-nana ... Cepet banget mandinya," ujarnya terdengar aneh, padahal biasanya aku justru lebih cepat dari ini karena di sini aku sangat menikmati suasana kamar mandinya yang sangat bagus.Aku hanya tersenyum, lalu mengelap rambutku yang masih basah dan duduk di sebelahnya. "Enggak deh, A. Malah ini lebih lama dari biasanya," jawabku.Zaki terlihat sedikit gugup, lalu terlihat menggaruk tengkuk lehernya. "Masa? Apa perasaanku saja, ya," ujarnya dengan menyeringai.Sikapnya benar-benar terlihat sangat aneh, tak seperti biasanya yang selalu terlihat terbuka dan ceria. Kali ini Zaki terlihat sangat gug
"A ... Bangun," ucapku sembari menggoncangkan tubuhnya hingga dia membuka kedua matanya dengan susah payah."Ada apa, A? Kenapa Aa mengigau?" tanyaku ketika ia sudah membuka matanya.Zaki masih terlihat bingung, ia mengusap wajahnya dan menatapku datar. "Nana, ada apa?"Dahiku mengernyit, bahkan dia justru berbalik bertanya kepadaku. Seharusnya aku yang bertanya, jam berapa ia pulang dan kenapa ia sampai mengigau seperti itu? Apa ada masalah?"Em, tadi Aa mengigau. Sepertinya terlihat sangat cemas. Memangnya ada apa, A? Semalam datang jam berapa? Kok aku nggak tahu," tuturku panjang lebar, tapi Zaki masih terlihat mengumpulkan nyawanya usai bangun tidur.Sejenak ia terdiam seperti tengah memikirkan sesuatu. "Mengigau?" Aku mengangguk, lalu duduk di sebelahnya. Kali ini dia sudah bangkit dan duduk dengan tenang di sofa. "Mengigau apa, Sayang?" tanya Zaki lagi dengan menatapku dalam, sepertinya ia sangat serius dengan pertanyaannya.Kuceritakan semua yang kualami beberapa saat yang la
Aku melihat Alika yang menyenggol lengan Erina, sepertinya ia menyuruh sahabatnya itu untuk diam. Benar saja, memang seharusnya Erina diam. Tidak mengatakan hal seperti itu, karena menurutku tidak sopan jika dikatakan pada lelaki yang sudah beristri."Em, ya memang begitu, kan? Kita berjodoh bisa bertemu dengan Zaki dan istrinya lagi," sambung Erina yang terlihat memperbaiki perkataannya.Zaki hanya terdiam dan menundukkan kepalanya seperti biasanya. Dia memang baik, selalu menjaga pandangannya dari wanita lain, terlebih yang berpakaian terbuka seperti Erina ini.Aku hanya tersenyum tipis ke arah mereka tanpa berniat menimpali perkataannya. Lagipula aku bingung harus berkomentar apa, karena bahasan mereka saja sudah membuatku tidak nyaman."Zaki, sekarang kamu pendiam, ya? Tidak seperti dulu, padahal dulu kita sangat dekat, bahkan ....""Em ... Maaf, sepertinya kita harus jalan duluan. Permisi," ucap Zaki memotong pembicaraan Erina dan lantas menggandeng tanganku.Sedikit banyaknya ak
Aku tahu Zaki orang yang baik, dia bisa dipercaya. Namun sekarang rasa cemburu begitu menguasai hatiku. Ya, aku cemburu ... Pada sesuatu yang bahkan belum jelas kebenarannya."Kenapa tidak? Kamu memang harus percaya padaku, Sayang."Dia memegang kedua bahuku, lalu menatapku dalam. Detak jantungku memukul-mukul, jika dalam posisi seperti memang perasaanku tak bisa kukendalikan.Selain aku baru merasakan indahnya cinta, aku juga begitu canggung ketika dia memperlakukanku seperti itu. Wajar saja, sebelum bersamanya aku memang tidak pernah menjalin hubungan spesial dengan lelaki manapun.Hidupku penuh dengan kesibukan hingga tak sempat memikirkan perihal cinta. Ya, sebelum ini aku terlalu sibuk mengejar prestasi, lalu setelah itu aku sibuk mencari pundi-pundi uang agar bisa membantu kedua orangtuaku.Dengan segala kerja kerasaku pun, rupanya masih saja ada banyak orang yang merendahkan kami. Tak sedikit orang yang memandang kami dengan sebelah mata, termasuk saudara-saudara ayahku.Bahkan
Kami masih sama-sama terpaku setelah Zaki membalikkan badannya. Dia terkejut melihatku tiba-tiba ada di dekatnya, sedangkan aku terkejut dengan apa yang baru saja kudengarkan."Na-nana ...." ucapnya pelan setelah beberapa saat.Aku lantas mengalihkan pandangan, lalu mendekat ke arahnya. Tak lain, aku ingin melihat siapa wanita yang baru saja berbincang dengannya. Suaranya begitu tak asing di telingaku, dan hal itu membuatku sangat penasaran."Maaf, kamu nunggunya kelamaan, ya? Aku tadi habis dari toilet terus ....""Kenapa, A? Bertemu dengannya?" kataku sembari berjalan lebih mendekat ke arahnya.Dan betapa terkejutnya ketika aku melihat sosok Alika berdiri di belakang suamiku. Wanita cantik dengan hijab merah maroon itu berdiri tepat di balik badan suamiku."A-alika ...." tuturku setengah tak percaya.Namun apa yang kulihat tak membuatku begitu terkejut, karena sebelum ini pun aku sudah beranggapan bahwa Zaki memiliki suatu hubungan dengan kedua orang perempuan yang dia bilang adalah