Share

Tujuh Bidadari

Weni yang masih berusia belia—sekitar 17 tahun dan belum menikah, sedang memandang langit biru di mana pelangi turun dengan lengkungan yang amat sangat indah. Warna-warnanya membuat gadis itu terkesima.

“Andai aku bisa secantik pelangi,” gumam Weni sambil termenung.

Anak bungsu kepala desa itu hanya duduk termenung menanti lamaran datang padanya. Entah apa hal yang membuatnya tak laku juga, dan hampir menginjak usia perawan tua.

“Padahal wajahnya tidak jelek-jelek amat. Apa gerangan yang membuat putriku tidak laku, ya?” Ayah Weni memegang dua pipi anaknya.

Diperhatikan, tidak ada cacat sama sekali. Bahkan lelaki itu telah menyodorkan putrinya pada yang lain, tapi tidak ada yang menggubris.

“Mungkin dia harus diruwat dulu untuk buang sial, Kang Mas,” jawab ibunya Weni.

“Lakukan saja, kalau masih tidak laku juga terpaksa aku harus membuat sayembara. Terserah lelaki mana saja yang mau jadi suaminya. Bikin malu saja.” Kepala desa itu mempercayakan Weni pada istrinya.

Segera saja ga
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status