Berangkatlah Damar memacu kudanya lebih kencang menuju desa yang dimaksud orang-orang tadi. Agak dua hari dua malam ia baru sampai di bagian hulu.Malam harinya orang kepercayaan demang itu beristirahat di pinggiran desa bersama kuda yang mengantarnya. Di pagi hari ia langsung menuju tempat sayembara diadakan. Orang-orang berkerumun, kebanyakan lelaki yang ingin menang cuma-cuma mendapatkan gadis belia yang kurang beruntung. “Seperti apa wajahnya?” Damar berdesakan di antara lelaki yang datang. Terlihat olehnya kepala desa mulai naik ke atas panggung mengumumkan jenis perlombaan. “Saudara-saudaraku semuanya, hari ini aku melakukan sayembara. Siapa pun yang berhasil memanah dengan tepat sasaran maka putriku akan menjadi miliknya,” ucap kepala desa sambil tertawa. Lepas sudah beban anak terakhirnya dan ia bisa hidup bebas lagi seperti dulu. Tak lama setelah itu seorang gadis dibawa dengan menggunakan penutup wajah. Weni tidak terlalu tinggi, tapi bentuk tubuhnya idaman para lelaki
Damar beristirahat di tepi sungai. Tak terkejar ia harus ke tengah pemukiman. Lelaki itu menghidupkan api unggun guna mencegah serangan binatang buas. “Paman, aku la—” Belum selesai Weni bicara, dia sudah diberikan perbekalan terlebih dahulu. Semakin besar rasa di dalam hati gadis tengil itu. Ia tersenyum malu-malu. Setelah kenyang makan, Weni merebahkan diri di dalam pedati. “Aku tak sabar menjadi selirnya. Namanya istri muda pasti selalu diperhatikan dari yang paling tua,” gumam gadis berkuling kuning langsat itu percaya diri. Damar tengah memijit bahunya yang nyeri. Lelah perjalanan mencari selir baru tuannya sampai kulitnya semakin gelap dan kapalan karena memegang kendali kuda. Malam semakin gelap. Nyamuk semakin besar yang datang, suara kodok terdengar memanggil hujan. Pedati berguncang karena ada penghuninya. Damar hanya bisa menghela napas menahan kantuk. Lalu ia pun jalan kaki sebentar ke arah sungai, untuk mencuci mukanya agar tak tertidur. Namun, rasa-rasanya Damar se
“Murti, Nduk, sepertinya aku ingin meminta tolong padamu.” Kinanti merasa pengobatan yang ia jalani sia-sia belaka. Tak ada harapan untuk sembuh. Batuknya semakin menyesakkan dada. “Mencarikan istri untuk Kanda Damar,” tebak gadis itu sambil menyantap kangkung rebus dicampur sambal. “Hmm, akhir-akhir ini aku tak bisa melayaninya. Aku tahu kau belum menikah ta—” “Aku paham apa yang kau rasakan. Yang jadi masalah, aku saja belum menikah, Kakak suruh aku carikan Kanda istri kedua lagi. Ya, lebih baik aku mencari jodohku saja.” Murti menyantap ikan bakar yang ada di depannya sampai habis. “Apa gerangan yang membuatmu sulit menemukan jodoh? Kau itu cantik, jangankan orang biasa, adipati saja mau meminangmu. Jangan terlalu pilih-pilih, Nduk, tak baik, ada yang mau dengan kita saja sudah syukur.” “Aku tak banyak memilih, aku hanya memilih dia.” Maksud gadis pendekar itu si Pawana. “Dianya mau tidak denganmu?” tanya Kinanti. Murti hanya menggeleng saja. Sulit mendekati Pawana. Sepertin
“Jadi, dia itu siapa?” Weni melihat ke arah perempuan galak tadi. “Namanya, Kemangi.” “Kemangi? Terus hebatnya apa?” “Hebatnya? Nantilah aku bicarakan. Pesanku kau harus berhati-hati di sini. Jangan terlalu percaya dengan semua orang,” ucap Lintang. “Lalu kau?” “Kau bisa mulai percaya padaku. Aku menyelamatkanmu tadi malam. Aku tidak akan menghitungnya sebagai hutang budi. Tapi, aku pergi dulu, ya, ada yang harus aku kerjakan. Nanti aku ke sini lagi.” Lalu puri bagian belakang tempat di mana para selir tinggal terasa sunyi. Kamar mereka sebelah-sebelahan. Wajar kalau saling mendengar bisikan satu sama lain. Memang demikian perempuan peliharan Demang. Tapi tetap saja menjadi satu kebanggan bisa menjadi selir karena harta kekayaan yang akan diterima. Tidak bagi Weni. Dia masih mencari di mana Damar. Ia ingin keluar. Lalu gadis itu memanjangkan lehernya. Ia melihat dari celah jendela bambu. Banyak lelaki berwajah sangar yang berjaga. Pedang mereka tajam dan bisa memenggal leher
“Juragan, hamba ingin menyampaikan sesuatu,” bisik orang kepercayaan Pawana sambil mengendap-endap. “Sebagai orang kepercayaan Demang Ranu, aku yakin sekali kau pasti terlibat. Tidak mungkin sekeping hepeng pun tidak pernah kau makan,” gumam lelaki berkasta tinggi itu. “Tapi aku tidak yakin, sebelum mencari tahu sendiri. Sebenarnya aku tidak suka main kasar, tidak sama sekali, kecuali terpaksa.” Pawana naik ke atas kudanya. Lelaki dengan kumis tipis itu membawa lari tunggangannya. Yang ia tahu sebagai pendekar perempuan, Murti suka latihan dengan kudanya di tanah lapang milik kedua orang tuanya.“Aku akan main hati, tapi aku tidak akan menggunakan perasaan. Kau akan aku manfaatkan, selagi berguna kau akan ada di dekatku.” Pawana menarik tali kekang kuda. Ia menunggu sampai Murti kembali. Terdengar suara derap lari kuda lain yang datang. Pawana sembunyi sebentar dan nyaris saja anak panah mengenai pipinya. Tergores sedikit, dan hutang darah dari Murti akan ia ambil dari darah dari a
“Damar, aku akan pergi ke ibu kota. Kau tak akan bisa masuk, jadi daripada menunggu lama, kau tahu apa yang harus kau lakukan?” titah Demang Ranu pada abdinya. “Baik, Tuan, tapi ini adalah hari di mana para selir engkau izinkan untuk keluar sehari saja. Apa tetap dibawa, Tuan?” “Atur saja bagaimana baiknya. Aku mungkin akan kembali dalam dua atau tiga hari. Yang lebih penting jangan cari muka di depan prajurit pangeran siapa namanya itu.” “Pawana.” “Ah, itu dia. Jangan sampai dia tahu semua harta kekayaan kita berasal dari mana.” Demang Ranu menaiki pedati dengan menjadikan bahu Damar sebagai pijakan. Begitulah nasib babu kala itu. Pedati kemudian berangkat dan puri bisa dikatakan Damar adalah pengawasnya. Lelaki itu melihat ke dalam puri dan seperti biasa para selir saling membentuk kelompok dalam pertemanan. Tidak ada yang menyendiri termasuk Lintang dan Weni yang asyik menggunakan daun pacar di kuku. “Lihat, dia mengintip,” bisik Weni pada Lintang. “Bukan mengintip. Dia mem
“Aku pikir tadi kau dan kekasihmu itu yang celaka.” Weni naik satu pedati bersama dengan Lintang. “Tidak, justru aku pikir kau dan Paman tadi yang kena. Sepertinya masih dicari siapa korbannya. Apa pun itu semoga tidak akan membuat kita dikurung dalam puri selamanya.” Lintang merinding, tadi dia begitu dekat dengan suara jeritan saat kejadian berlangsung. “Bagaimana?” tanya Lintang pada Weni. “Ya, begitu-begitu saja, tapi kakiku jadi terkilir. Kami tak ada apa-apa selain dia memijat betisku. Kau sendiri bagaimana?” “Itu sudah bagus, ada pendekatan. Aku, ya, apalagi begitulah dengan dia, selagi ada kesempatan.” “Kau tak takut kalau ketahuan?” “Tidak, justru rasanya mendebarkan. Kami sama-sama butuh, kalau ada waktu tentu kami manfaatkan.” “Agak gila juga kau aku rasa.” “Ya, kau juga. Tapi gara-gara kejadian itu aku rasa penjagaan akan diperketat, lihat saja nanti.” Pedati terus berjalan membawa para selir kembali ke kediaman Demang Ranu. Semua turun ketika sudah sampai. Weni k
Bak kerbau yang dicucuk hidungnya, Damar menurut saja saat ditarik Weni ke dalam kamar. Namun, gema suara Kinanti yang terngiang dari dalam jiwa membuatnya sadar kembali. “Tidak, Nyonya, maaf ini salah.” Damar melepas genggaman tangan Weni. Tapi gadis tengil itu tak terima. “Kenapa? Dia juga tidur, besok pagi baru akan bangun. Kau lemah, tak kuatkah?” “Bukan begitu, tapi aku sudah punya istri, dan kau sudah ada yang punya.” “Lalu, salahnya di mana?” Gadis tengil itu menaikkan dagunya, pertanda dia angkuh dan tak suka keinginannya diabaikan. “Ya, kita salah telah mengkhianati pasangan.” “Bukankah sudah biasa lelaki punya lebih dari satu istri.” “Istri, iya, bukan …” “Gundik maksudmu. Jadi aku ini salah karena menjadi gundik demang?”“Nyonya, aku tak tahu ada apa denganmu. Tapi aku pulang dulu. Jalani saja takdirmu.” Damar berjalan mundur sambil menundukkan kepala. “Jangan pergi kau!” Weni menarik tangan babu itu bahkan tanpa sadar cakarnya tumbuh dan menggores kulit Damar. “Ma