Bagian 45
Marlina kini telah sampai pada sebuah rumah sakit, tujuannya adalah ruang perawatan bayi. Dadanya sering kali bergemuruh saat mendekati ruangan ini. Berbagai rencana baik ataupun buruk telah dia susun sedemikian rupa agar bisa memuaskan hatinya, meskipun apa yang dia perjuangkan sebenarnya telah pergi. Marlina hanya hidup bersama luka yang membuat hatinya menjadi jahat. Beberapa kejadian, mengubah seorang Marlina yang baik hati. Dengan perlahan dia berusaha untuk tidak menangis, kenangan kenangan masa lalu, terlintas dalam ingatan, menyisakan titipan yang terus membangkitkan luka.Seorang dokter diikuti oleh suster baru saja keluar dari sana."Nona Marlina! Apa kabar?" Marlina tersentak sejenak, menyembunyikan air mata yang hampir saja menetes.
"Kabar baik, Dok, bagaimana keadaannya? Apakah dia baik-baik saja?"
"Sejauh ini kondisinya semakin membaik. Dia juga sudah membuka mata dan mulai bisa menggerakkan tangan. Sungguh s
Bagian 46Langkah kaki Marlina terhenti saat melihat sosok pria yang begitu dikenalnya. Dia mendekat dengan hati-hati. Dari lawan arah Arya bersama Amara tengah mengambil nomer antrian. Rupanya hari ini mereka hendak melakukan cek kandungan seperti biasa. Lumayan ramai juga, kursi tunggu hampir penuh."Apa yang dia lakukan disini?" Pikir Marlina. Menyisipkan tubuhnya dibalik tembok. "Dasar playboy! Wanita yang satunya dalam bahaya, tapi dia enak-enak berduaan dengan wanita lain. Buaya memang tidak pernah kekurangan mangsa. Jika dia disini bersama orang lain, lalu untuk apa aku repot-repot mengurung Shinta. Sama saja tidak ada untungnya bagiku. Lalu bagaimana dengan balas dendamku? Haruskah aku akhiri? Tidak! Aku harus menyelesaikan tujuanku."Marlina hendak maju untuk melabrak sepasang suami-istri yang tengah bahagia. Tapi langkahnya terhenti. "Tidak! Jika aku kesana, sudah pasti akan terjadi keributan dan menjadi tontonan banyak orang. Lagian ini di
Bagian 47"Temukan Shinta! Bagaimanapun caranya, temukan dia." Ari mengamuk bagaikan singa kelaparan. Beberapa perabot rumah yang tersisa hancur berantakan. Belum puas meluapkan kemarahannya, Ari melempar kepingan material itu ke dinding. Alhasil banyak bagian dinding yang retak karenanya.Satu jam telah berlalu, Shinta belum juga ditemukan. "Dimana kecerdasan yang selama ini kau bangga-banggakan itu Joe." Kini ganti menarik kerah Joe, sebelumnya Ari memukul dan menampar semua orang yang ada di sana. "Bahkan sekarang aku hanya memiliki orang-orang bodoh dan bisu." Hancur sudah harga diri Joe. Tapi itu tak sebanding dengan rasa kecewa dan sakit oleh luka cinta yang dirasakan Ari. Pria itu merosotkan tubuhnya kelantai."Apa yang akan aku katakan kepada mereka? Aku tidak bisa menjaga ibu mereka. Setelah ini, mereka pasti akan membenciku." Joe yakin, jika yang dimaksud Ari adalah Si Kembar.Waktu terasa berhenti saat kita merasa tak berarti.
Bagian 48Kemarahan adalah sebuah bentuk apresiasi jiwa yang menentang akan adanya kejadian yang tidak sesuai dengan apa yang ada dalam harapan. Amarah bagaikan sebuah api yang siap membakar apa saja dijumpainya. Terkadang manusia mengapresiasikan kemarahan dalam sikap yang berlebihan, sehingga melupakan norma kemanusiaan yang menjadi pedoman hidupnya.Dalam beberapa menit saja Ari telah berhasil melumpuhkan anak buah Marlina. Mereka yang berjumlah sepuluh orang, kalah telak oleh dua orang saja. Meski bukanlah pertarungan yang seimbang, tapi sang pemenang akan tetap mendapatkan takdirnya. Dan Ari adalah penyumbang nominal angka terbanyak dalam menumbangkan lawan."Berani sekali kau bermain-main denganku. Sama saja mengundang kematian." Ari menjambak rambut Dro hingga sang pemiliknya mendongak. Darah segar mengalir dari sudut bibir yang robek, wajah Dro bahkan penuh dengan lebam dan memar di sana-sini, tubuhnya pun terasa remuk dan ngilu. "Sampah!" Ari mend
Bagian 49"Hai, kau terlihat sangat buruk! Apa yang terjadi?" Wajah Ari penuh dengan lebam dan darah di sudut bibirnya mulai mengering."Semua yang terjadi padaku adalah karena sifat burukmu." Tangan Arya hampir saja terulur berhenti di udara. Awalnya dia penasaran dan khawatir saat melihat saudaranya berada di depan ruang UGD. Tapi melihat cara Ari memandang dirinya, Arya akhirnya menarik tangan lagi dan membawanya masuk ke dalam saku celana."Sejak kapan kau jadi pecundang Ari? Bahkan saat ini kau marah padaku tanpa alasan yang jelas." bantah Arya."Shinta!" Arya mengerutkan keningnya. Dari belakang Arya, datanglah Joe."Tuan, saya sudah mengurus segalanya. Apakah masih ada yang diperlukan lagi?" Joe membawa baskom berisi es dan handuk kecil."Tidak! Terima kasih Joe!" ucap Ari cepat, tangan Joe terulur untuk mengompres muka Ari."Biar aku sendiri Joe!" Mengambil alih handuk."Siapa yang sakit?" Arya merasa
Bagian 50Pagi yang cukup temaram karena mendung membentuk gumpalan pekat dilangit. Untuk sebagian orang, mendung adalah bentuk dari perumpamaan rasa yang buruk. Tapi tidak bagi Ari, justru dia begitu bersemangat menikmati momen ini. Sungguh, dia sangat bersyukur sebab bisa mengobati kerinduannya kepada sang kekasih.Shinta sudah siuman sejak dua jam yang lalu. Ari berusaha sebisa mungkin agar bisa membujuk Shinta. Dia rela melakukan apa saja supaya Shinta mau menerima dirinya kembali.Ari memulai usahanya dengan membawakan sebuket bunga mawar dan kue kesukaan Shinta. Ari juga rela kehilangan uang milyaran rupiah hanya agar tetap bisa menjaga memberikan kasih sayang juga perhatian penuh, khusus untuk Shinta. Seperti sekarang ini, Ari dengan telatennya menyuapi Shinta. Bahkan tanpa jijik dia juga mengelap sisa makanan di bibir Shinta dengan bibirnya."Ar, Kau!""Aku merindukanmu Shinta!" Sapuan lembut itu berakhir dengan
Bagian 51Aku lelah akan rasa iniTerlalu lama aku menahan beban derita berbalut kerinduan, mencoba bertahan dan mengikhlaskan. Berusaha bangkit meski hati masih terpuruk. Bukannya tidak mau untuk memulai, hanya saja aku terlalu takut untuk terluka kembali.Mungkin kau masih perlu ruang untuk sekedar melepas lelah, tapi ketahuilah tempat ternyaman untuk melakukannya adalah bersandar pada bahuku. Aku peluk, agar lelahmu terobati."Ar, aku ingin pulang!" Pria yang semula memangku laptopnya kini terdiam beberapa saat. Dia meletakkan benda pipih di meja, mendekati Shinta yang masih terbaring."Baru bangun tapi meminta pulang. Kau baik-baik saja?" Ari tidak menyadari kapan mata lentik nan indah itu terbuka sempurna. Dia cukup sibuk dengan pekerjaannya."Aku tidak bisa tidur." Astaga, jadi dari tadi dia hanya pura-pura."Tapi kamu harus istirahat cukup, agar tubuhmu lekas kembali pulih." Bujuk Ari membelai lembut pucuk kepal
Bagian 52"Ar, kenapa kau tidak mengatakannya?""Maaf!" Udin dan Azam menatap tak percaya kepada Ari. Bukankah info yang beredar adalah pria ini angkuh dan sombong, tapi dengan mudahnya meminta maaf kepada Shinta."Tata, ini kami lakukan sebab kau belum sadar sejak kemarin. Ari ingin agar kau fokus pada kesehatanmu terlebih dahulu." Udin merasa perlu menjelaskan, Azam jadi kesal dibuatnya. Untuk apa membela laki-laki yang kurang bertanggung jawab.Kasihan juga melihat kondisi Shinta yang nampak pucat tak berdaya."Iya kak, lagian Anin juga hanya demam biasa." Mata ketiga pria saling bersitatap. Azam juga ikutan bicara? Benarkah, meski ragu Shinta mencoba percaya. Pantas saja naluri keibuannya merasa gelisah."Bisakah aku bertemu anakku?" Shinta seolah meminta persetujuan Ari."Bo-boleh!" Aku akan mengantarmu. "Kapan kita menemuinya?""Bisakah nanti saja? Aku baru sampai, dan kau mengacuhkan aku
Bagian 53Berbincang-bincang dengan Azam, membuat mood booster Shinta kembali membaik. Kini dia duduk pada kursi roda di dorong pelan oleh Azam, menuju ruang rawat inap Anin. Tentunya setelah melalui perdebatan panjang dengan perawat agar mau melepas infus yang terpasang sempurna di tangan Shinta."Nanti Ari bisa marah kak." Ucap Azam enggan menuruti kemauan Shinta. Dasar keras kepala, bukannya menyerah Shinta malah menyakinkan Azam dengan berbagai alasan."Aku sudah sembuh, Ari juga tidak akan berani marah kepadaku, dia sangat mencintaiku." ucap Shinta penuh percaya diri. Dalam hati masih gamang, demi bisa segera melihat Anin, dia harus terlihat menyakinkan."Baiklah, akan aku hadapi si pria bernama Ari, demi dirimu kakakku tersayang.""Panggil dia dengan sebutan yang benar Azam, dia lebih tua darimu." Wajah Azam berubah kecut.Bisakah dia melihatku sekali saja. Selalu saja pria sialan itu yang ada di otaknya.