"Mas, Dila benar-benar tega mau ngehancurin nama baik aku. Kayaknya dia sekongkol sama Sari buat nyebarin foto yang nggak sengaja aku kirim ke Sari waktu itu. Waktu dia jelek-jelekin aku katanya nggak laku-laku.""Jangan mudah menuduh. Kalau ternyata bukan Dila, kamu wajib minta maaf sama dia." "Aku bukan menuduh, Mas. Cuma menduga.""Menuduh atau menduga maksudnya sama. Sama-sama berpikiran buruk untuk seseorang tanpa ada bukti, Dita.""Iya sih, Mas. Tapi yaudahlah, aku mencoba ikhlas. Mereka nggak tahu aja tujuan awal kamu nikahi aku itu apa. Mereka cuma memandang kalau setiap wanita yang dinikahi lelaki beristri pasti karena kurang belaian. Terserah! Yang jelas suatu saat mereka pasti akan merasakan azab karena sudah mengghibah. Benar 'kan Mas?""Entahlah, Mas pusing."Wisnu terlihat bangkit dari duduk dan berjalan mendekati pintu."Mas mau kemana?""Mau cari angin segar.""Mas, boleh nggak aku minta sesuatu?"Wisnu menghentikan langkah dan berbalik menatap kearah sang istri."Aku
"Mama pulang ...," teriak Faro menyambut kepulanganku malam ini. "Nggak asyik ah, Mama pulang tapi Papa pergi," keluh Safia tampak kecewa. Tapi ia mendekat juga memeluk tubuhku.Sedang Hamid keluar kamar begitu mendengar suara adik-adiknya. Dia ikut mendekat dan mencium tanganku meski tanpa ekspresi."Papa tadi kemari, Ma. Papa juga memberi kita semua uang jajan," ucap Safia penuh bahagia."Alhamdulilah, simpan uangnya untuk keperluan mendadak ya, Nak.""Papa ngasih ke Mas Hamid lebih banyak, Ma."Aku menatap uang di tangan Hamid. Sepertinya ada lima lembar uang seratus ribu. Sedang Safia dan Faro hanya memegang uang selembar seratus ribu."Yaudah Mama simpan empat ratusan untuk kebutuhan wisuda kamu ya, Nak. Biar sama kayak adik-adik. Seratus ribunya simpan di celengan masing-masing. Ayo, bantu adik-adikmu memasukkan uang ke celengan ya, Nak," pintaku pada Hamid.Dia masih terdiam dalam berdirinya."Kenapa Nak, ada yang mau kamu bicarakan?""Besok Papa mau berangkat ke Kalimantan, M
Kali ini kepergianku tak seperti biasa, ada beban besar yang terus mengikuti. Aku tak tahu menyebutnya apa, tapi mungkin inilah penyesalan. Dan kini yang bisa kulakukan hanya menjalani meski terasa begitu bersalah dan berdosa.Kututup rapat pintu mobil sesaat setelah aku dan Dita sampai di bandara. Lalu mobil yang menjemput kami melaju menuju rumah istri keduaku itu. Kedatangan kami disambut peluk rindu oleh Zacky, anaknya Dita. Jujur, saat melihat kebersamaan mereka, pikiranku justru melambung ke Jakarta. Hanya dua hari kesempatanku di kota ini, lalu aku harus pulang untuk mendampingi Dila dalam merayakan hari wisuda putra pertama kami.*Alhamdulilah, selesai sudah semua urusanku di kantor. Meski meninggalkan kesan buruk, tapi ini adalah pilihan. Seperti pilihanku dulu saat menikahi Dita. Huhft. Jika mengingat hal itu ingin rasanya aku kembali ke masa lalu. Ingin kuubah segala keputusan yang pernah terambil. Aku akan lebih memilih setia, apapun alasannya. Jujur, malam itu saat a
[Iya, nanti aku sampaikan pada Hamid. Semoga dia tidak kecewa karena sudah begitu membangun harapan. Assalamualaikum.]Tut.Aku menatap layar ponsel yang seketika padam. Ya Allah, diri lupa mengisi ulang daya. Lekas aku mencharge ponsel tersebut tanpa menghidupkannya kembali. Lalu sejenak duduk sembari memandangi langit yang tampak begitu cerah. Dua hari kembali berada di rumah, jujur perasaan tak lebih tenang. Sebab berita Mas Wisnu nikah lagi ternyata sudah tersebar kemana-mana. Banyak yang menyayangkan sikap Mas Wisnu, terlebih di mata sekian banyak manusia, hubungan kami sangat baik, rumah tangga akur dan begitu bahagia. Tak disangka Mas Wisnu bisa menyeleweng dan memilih melabuhkan hatinya pada perahu yang lain.Jujur, sekalipun banyak suara yang memberi dukungan padaku, tapi aku tak bahagia. Sebab yang kubutuhkan bukan dukungan siapapun, tapi bagaimana caranya agar aku bisa keluar dari lingkaran masalah ini.Suara ketukan pintu membuat pandanganku teralihkan."Hamid?"Sulungku
Aku mendekatinya, Hamid terhenyak."Mama?"Dia bangkit dan berlari memelukku."Ada apa, Nak? Belum tidur?""Belum, Ma. Tapi udah mau tidur kok."Kuusap pucuk kepalanya."Oya, kamu lihat ponsel Mama nggak? Daritadi Mama cari di kamar nggak ketemu."Hamid mengulum senyum."Lihat, Ma. Tadi sama Hamid hapenya.""Em ternyata. Lain kali kalau mau pinjam hape Mama, kudu ngasih tahu ya, Nak? Biar Mama nggak kecarian?""Maaf, Ma. Tadi Hamid mau nelpon Papa, tapi nggak jadi. Takut mengganggu waktu istirahat Papa."Aku menghela napas lega, jadi dugaanku tidak menjadi kenyataan. Sebenarnya, yang kutakuti bukan Mas Hamid, melainkan Dita. Aku takut dia bicara macam-macam pada anakku."Yaudah sekarang kamu tidur, ya."Hamid mengangguk lalu kembali berbaring. kKutarik selimut menutupi tubuhnya. "Ma, Hamid boleh nanya sesuatu nggak?""Nanya apa Sayang?""Setelah Papa mengurus surat pindah kerjanya di Kalimantan, apa Papa akan pulang dan tinggal di rumah ini lagi bersama kita?"Aku terhenyak dengan p
Sudah tiga hari aku terbaring di atas ranjang rumah sakit, keadaanku pun sudah semakin sehat. Meski jika beraktivitas harus menggunakan tongkat, tapi dokter sudah memperbolehkan pulang hari ini.Dibantu asisten, Dita terlihat sibuk mengemas semua barang. Sedang anaknya Zacky masih sibuk dengan iPad keluaran terbaru. Beda sekali dengan Hamid yang bahkan sudah duduk di kelas enam, tapi masih belajar dengan menggunakan laptop. Ponsel sesekali kulihat diberikan Dila tapi tetap dengan rentang waktu tertentu. Tidak selamanya jadi hak milik anak.Ah, entah kenapa hati merasa sangat merindukan mereka. "Mas, semuanya sudah beres. Biaya administrasi juga udah aku urus. Kita pulang sekarang, ya?"Aku menatap Dita yang terlihat begitu kuat. Ada yang menusuk dalam dada, jika membayangkan dahulu pernah juga mengalami kecelakaan, dan saat itu Dila sedang hamil besar. Namun, dia terlihat begitu tegar merawatku sembari mengurus anak-anak.Jika mengingat masa itu, rasanya diri ibarat kacang lupa kulit
POV DilaDengan degup jantung yang menyentak kuat, aku memungut benda yang terjatuh ke lantai. Lalu membungkusnya dengan kain. Air mata tumpah begitu saja. Terbayang bahwa yang sedang kualami ini tak lain adalah keguguran. Aku keguguran? Ya Allah, jadi selama ini aku hamil, sedang diri begitu larut dalam masalah hingga tak pernah menyadarinya ...Sungguh sakit terasa di dada, seandainya diantara aku dan Mas Wisnu tidak terjadi masalah apapun, sudah pasti janin ini akan terdeteksi dengan cepat hingga aku akan lebih berhati-hati untuk menjaga kehidupannya hingga ia lahir ke dunia.Maafkan Mama, Nak.Penyesalan semakin dalam menusuk dada. Tapi kucoba untuk mengikhlaskan diri. Dengan segenap ketegaran, aku keluar dari kamar. Bi Surti tampak keheranan dan bertanya."Ibu kenapa?""Saya harus ke rumah sakit, Bi. Sepertinya saya keguguran.""Keguguran? Astaghfirullah. Biar saya bantu, Bu."Bi Surti segera membantuku sampai ke depan pintu lalu diri duduk sejenak di teras. Kebetulan tetangga s
Dua netra menatap Mas Wisnu yang kini bersimpuh di kedua kaki. Lalu kualihkan pandangan menatap Dita yang seperti terhenyak mendapati Mas Wisnu sedemikian memohon padaku.Sebenarnya bisa saja jika aku ingin membalas sakit hati pada wanita itu, kuterima Mas Wisnu kembali lalu memintanya lebih memerhatikanku daripada Dita. Jika melihat penyesalan yang ditunjukkan Mas Wisnu, sepertinya lelaki itu akan menerima apapun permintaanku asalkan mau menerimanya kembali termasuk menerima Dita.Tapi bukan itu tujuanku. Aku tidak perlu membuat Dita merasakan sakit yang kurasa, tapi aku hanya ingin dia benar-benar sadar akan kesalahannya dan berniat dengan sungguh-sungguh untuk memperbaiki diri supaya pantas menggantikan posisiku mendampingi Mas Wisnu.Aku kembali menatap lelaki yang matanya kini sudah basah oleh cairan, dia pernah seperti ini dahulu saat aku melahirkan anak pertama kami. Kala itu, aku mengalami perdarahan hebat, bahkan Bidan sudah begitu ketakutan dan sampai memasukkan tangannya k