πππ
Anton menemaniku menghadiri sidang pertama di Pengadilan Agama. Mengenakan blouse putih lengan panjang bermotif sulur bunga, dan jilbab berwarna hitam, kami menunggu di depan ruangan.
"Bapak, gak keliatan, Buk?" Anton setengah berbisik bertanya padaku.
Aku menengok ke kiri dan kanan, berusaha menemukan keberadaan sosok Mas Harto.
"Sepertinya Bapakmu memang gak datang, Anton," Jawabku kemudian.
"Ibuk, ndak usah takut. Anton akan membela dan menjaga, Ibuk," Anton berkata dengan suara tegas, tak berbisik seperti tadi.
Tak berapa lama kami dipersilahkan masuk. Di dalam ruangan dengan cat berwarna putih itu, telah duduk beberapa orang mengenakan seragam yang sama, didominasi warna hitam. Meja memanjang di depan mereka ditutupi kain berwarna hijau.
Sidang pertama ini diawali dengan pemanggilan para pihak oleh panitera pengganti. Aku sebagai pihak penggugat, dan Mas Harto sebagai pihak tergugat tak nampak, ia tak hadir pada sidang hari ini.
Kupandang kursi kayu di sebelahku yang kosong. Apakah Mas Harto lupa, hingga tak menghadiri sidang pertama ini?
"As'salamualaikum β¦ saya sebagai hakim ketua secara resmi membuka sidang pertama ini." Kemudian lelaki itu mengambil palu kecil, mengetuknya beberapa kali.
"Wa'alaikum sallam," serentak semua orang yang berada dalam ruangan menjawab salam.
"Pertama-tama izinkan saya mengucapkan syukur karena kita semua dapat menghadiri sidang pertama ini dengan keadaan sehat wal afiat." Pak Hakim berhenti berbicara sejenak. Mengambil jeda pada kalimat selanjutnya.
"Hari ini saya sebagai Hakim Ketua, yang akan menentukan hasil gugatan cerai dari Nyonya Hening binti Widodo sebagai pihak penggugat, kepada Bapak Harto Prasetyo sebagai pihak tergugat." Indra penglihatannya menatapku sekilas, lalu kursi kosong di sebelahku. Kemudian melanjutkan dengan membaca nomor surat pengajuan peeceraian.
Berhubung aku tak menyewa pengacara untuk membelaku, Pak Hakim ketua langsung berbicara padaku. Bertanya beberapa masalah yang berkenaan dengan pengajuan gugatan cerai.
Setelah hampir satu jam berada dalam ruangan ini, menjawab beberapa pertanyaan. Akhirnya Hakim Ketua mengetuk palu lagi beberapa kali. Menandakan sidang kali ini selesai.
"Sidang ditunda untuk mediasi." Setelah berbicara Hakim Ketua berdiri dari kursinya, lalu meninggalkan ruangan. Bergantian diikuti tim pembela dan pendakwa yang duduk di sebelahnya kemudian perempuan pembaca agenda yang terlihat terburu-buru.
Ternyata, proses sidang itu lama. Banyak tahapan-tahapan yang harus dilalui. Selama proses sidang tadi semua orang memasang muka serius. Detak jantung di dada berdetak lebih cepat, hingga keringat dingin mengalir. Ini pertama kali aku menghadiri sidang resmi perceraian, dan ironisnya itu adalah sidang perceraian rumah tanggaku sendiri.
Sidang ditunda untuk mediasi, mungkin sekitar tujuh hari lagi dari sekarang. Akan ada pemberitahuan lagi nanti.
"Perasaan Ibu, kok gak tenang ya, Anton! Rasa takut, sedih juga kawatir muncul bergantian, detak di dada Ibu, juga semakin cepat." Telapak tanganku masih mendekap dada, ada apakah ini?
Firasatku mengatakan akan ada sesuatu yang terjadi.
"Tenang, Buk β¦ jangan kawatir. Ibuk ndak salah, jadi jangan takut!" Anton berusaha menenangkan perasaanku.
Aku naik pada boncengan motornya, mengambil posisi senyaman mungkin. Berpegangan erat, kawatir terjatuh. Motor melaju perlahan meninggalkan gedung dan halaman Pengadilan Agama.
Gawai dalam tas kecil yang kubawa berbunyi. Aku merogoh, dan mencari benda pipih itu. Tertera nama Nur Laila di layar telepon.
"Ton, berhenti sebentar!" Perintahku pada anton yang sedang menyetir motor. Motor dilajukan pelan, lalu menepi di pinggir jalan.
"Ada apa, Buk?" tanyanya kemudian.
"Sebentar, ini adikmu menelepon. Mungkin kawatir sama Ibuk," jelasku padanya.
"Ibuk angkat telpon sebentar."
Aku turun dari boncengan, mengambil posisi lalu menekan tombol hijau pada layar gawai.
"Halo, Nur. Nanti aja telpon lagi. Ibuk masih di jalan," kataku segera saat telepon tersambung. Segera kumatikan panggilan dari Nur Laila. Ia mungkin sangat kawatir denganku, karena tak bisa menemani proses sidang. Ada lima panggilan tak terjawab sedari pagi.
Aku naik kembali pada boncengan motor. Bersiap melanjutkan perjalanan menuju rumah. Tak sabar ingin merebahkan badan, kepalaku begitu berat terasa.
Tuhan, tolong kuatkan aku. Beri kemudahan agar masalah ini cepat terselesaikan. Aku menatap langit, berharap doaku terbang mengangkasa menuju-NYA.
"Ayo nak, jalan lagi, kita pulang," kataku pada Anton. Roda kembali berputar, menyusuri jalan yang kurasa lebih panjang dari saat aku berangkat tadi.
Beberapa saat berkendara, Anton berseru agak keras, "Buk Lihat itu!"
"Apa, Nak?"
Aku menengok ke kiri dan kanan, tak mengerti maksud dari Anton. Saat menghadap ke depan barulah aku mengerti apa maksud anak lelakilu.
"Lihat ke depan, Buk!" Seakan mengerti kebingunganku. Anton berkata lebih keras lagi.
Sontak aku mengikuti perintah Anton. Berjarak sekitar dua meter di depan kami, sepeda motor matic berwarna merah melaju. Di kursi belakangnya ada seorang perempuan dengan rambut sebahu. Berpegangan mesra pada pinggang sang supir. Tubuh mereka berdempetan tanpa jarak. Bagaikan anak muda yang sedang kasmaran. Anton sengaja memelankan motor kami. Mengikuti kendaraan di depan kami itu.
Pantas saja Mas Harto tak menghadiri sidang perceraian pertama kami. Ia sedang asyik memadu cinta rupanya.
Sebegituku tak pentingnya kah aku ini?
Apa sidang perceraian kami juga tak ada artinya? Hingga ia lebih memilih bersenang-senang dengan wanita selingkuhannya itu dari pada datang ke persidangan?
Entah apa yang dipikirkan anak sulungku. Melihat bapaknya sedang bergoncengan mesra dengan perempuan lain.
Tiba-tiba Anton melajukan motor. Tepat di samping motor matic merah yang ditunggangi bapaknya ia memelankan motor.
Tentu saja das Harto selingkuhannya masih tak menyadari kehadiran kami. Mereka terlihat berbicara dengan pelan. Sesekali kepala si perempuan mendekat ke kuping mantan suamiku itu.
Anton menekan klakson motor beberapa kali lalu membuka helm yang dikenakannya. Mas Harto dan wanita di boncengannya itu menoleh. Mereka tampak terkejut bertemu dengan kami.
Sejenak kami berpandangan tanpa ada kata yang terucap.
Sakit, kecewa, marah? Tentu saja sangat sakit melihat dengan mata kepala sendiri kedekatan mereka.
Aku sudah sangat lelah menghadapi masalah-masalahku. Hingga tak ada tenaga lagi untuk mengeluarkan emosi. Tanpa senyum namun tak ingin mendendam. Aku berusaha kuat, menganggap pemandangan di depanku tak ada.
Hanya sekadar memberitahu bahwa kami tak takut, aku dan Anton tak mendendam. Namun masih belum bisa untuk memaafkan semua perbuatan Mas Harto.
Anton menarik gasnya. Motor bergerak cepat meninggalkan matic merah tadi.
"Ibu, ndak apa-apa?"
Air mataku luruh. Topeng kuat dan tegar yang berusaha kubangun runtuh. Air mata menetes. Persendianku terasa lemas semua.
"Eng-gak, I-bu gak apa-apa?"
Terbata kujawab pertanyaan dari Anton. Jangan mengasihani ibu, nak! Rasanya akan sangat rapuh. Sejujurnya tadi itu sangat menyakitkan.
Kuseka pelan air mata di sudut mata. Tuhan kuatkan aku.
πππ
Bersambungβ¦
πππRoda motor Anton berhenti di halaman parkir yang cukup sesak, banyak kendaraan terparkir lebih dulu. Anton menengok ke kiri dan kanan, mencari celah memasukkan motornya."Sini, Mas!" Seorang Bapak tua melambai pada Anton, mengenakan topi, peluit dan jaket berwarna hijau.Anton menurut dan mengarahkan motornya menuju tempat di sebelah bapak yang melambai itu. Anton merogoh selembar uang pecahan dua ribu, diberikannya pada Bapak tadi."Ibuk, masuk dulu. Kamu tunggu disini aja!" Kulepas helm di kepala. Anton meraih dan mengg
πππMalam kian larut, mataku masih enggan terpejam. Kepalaku sungguh terasa berat, pusing di seluruh bagiannya.Suara-suara semalam, dan siang perlahan terngiang. Bayangan tiap kejadian berputar kembali dalam ingatan."Saya ... legowo yang mulia, saya bersedia berpisah dari istri saya!" jawab Mas Harto siang itu dengan suara lirih, seperti ada keraguan di dalam kalimatnya. Tapi, aku sangat lega mendengar kata-kata Mas Harto. Seperti ada rantai yang terlepas dari kakiku.Sebuah rasa kelegaan terlepas, dengan sebuah senyuman dari b
Bab : 14Judul Bab : Maling Dalam SelimutπππKepalaku semakin terasa berdenyut, pusing menjalar di seluruh bagian kepala. Kenapa semua masalah datang bertubi-tubi di waktu yang sama. Sebegitu sayangkah Tuhan padaku, hingga ia terus mengujiku?Uang pensiun yang kutitipkan pada Mbakyu Widuri, hilang segepok. Segepok uang itu ada empat juta rupiah, aku ingat betul terakhir memasukkan uang pesangon yang diberikan oleh pihak pabrik ada delapan gepok, sudah terpakai untuk banyak hal. Hanya tersisa lima gepok uang.
πππAku tak sabar menanti sidang ke tiga hari ini, pada sidang sebelumnya Mas Harto telah mengatakan jawabannya secara lisan bahwa ia bersedia berpisah.Hari ini adalah tanggal 16 Juni 2020, acara sidang ke tiga, semoga semuanya berjalan dengan lancar, perceraianku segera selesai, dan aku tak perlu bolak balik ke Pengadilan Agama lagi. Sungguh melelahkan rasanya.Kuawali pagi dengan mengambil air wudhu, membasuh segarnya air pada telapak tangan, berkumur tiga kali lalu membasuh pada bagian tubuh lainnya. Kemudian kukenakan mukena putih dengan hiasan brokat di tepiannya. Kuangkat kedua tangan setinggi telinga, m
πππAku sedang duduk berdua dengan Mas Harto di sebuah taman, taman yang indah banyak bunga bermekaran juga beberapa kupu-kupu yang mengepakkan sayapnya anggun, terbang kesana kemari. Sesekali hinggap pada bunga menghisap madunya.Senyum kami selalu merekah, menatap indah pemandangan sekeliling. Betapa bahagia bisa menikmati pemandangan indah ini berdua dengan suami tercinta.Tiba-tiba seorang perempuan datang mendekat, ia tersenyum menyeringai menampakkan taring tajam, lalu menarik paksa tangan Mas Harto."Mas β¦ Mas β¦ jangan bawa sua
Bab : 17Judul Bab : TeluhπππMataku kian membulat sempurna menangkap sosok perempuan itu, tepat di atasku sekitar tiga meter melayang-layang perempuan yang semakin lama semakin jelas dengan wajah mengerikan.Setan perempuan dengan rambut panjang terjuntai hampir mengenai wajahku. Matanya semerah darah, wajahnya penuh luka dan nanah.Mengerikan, sungguh wajah yang mengerikan. Tawanya terdengar melengking dan nyaring. Andai bisa kututup mata ini agar tak meliha
Bab : 18Judul Bab : Menangis Semalamπππ"Mbah, pamit pulang dulu. Jika ada apa-apa jangan sungkan datang ke rumah, Mbah, ya?" ucapnya kemudian.Mbah Ji menatap dan mengangguk padaku sebelum berbalik badan melangkah menuju pintu keluar. Langkahnya tertatih, sedikit membungkuk, faktor usia telah mengurangi kegesitan dan kekuatannya.Aku menatap punggung lelaki tua itu pergi, lalu bersandar pada dinding kamar. Kini badanku sudah bisa digerakkan lagi, hanya terasa lema
πππ"Ya allah, ampuni hamba yang melakukan perbuatan yang tidak Engkau sukai, bukan ingin hamba untuk meminta cerai. Tapi sakit ini sudah tak tertahankan, kuatkan hamba pada jalan yang sudah hamba pilih ini, ampuni hamba Ya Allah," lirih aku mengadu. Menguraikan satu demi satu sesak di dada.Sesenggukan aku memohon ampunan Tuhan. Sadar apa yang kulakukan dibenci agama, namun untuk bertahan sudah tak mampu lagi."Ya allah, jika jodoh diantara kami sudah selesai. Mudahkanlah proses persidangannya, hilangkan rasa yang masih tertinggal dalam hati ini," pintaku lagi.