Share

Bab 11. Sidang Pertama.

πŸ’—πŸ’—πŸ’—

Anton menemaniku menghadiri sidang pertama di Pengadilan Agama. Mengenakan blouse putih lengan panjang bermotif sulur bunga, dan jilbab berwarna hitam, kami menunggu di depan ruangan.

"Bapak, gak keliatan, Buk?" Anton setengah berbisik bertanya padaku.

Aku menengok ke kiri dan kanan, berusaha menemukan keberadaan sosok Mas Harto. 

"Sepertinya Bapakmu memang gak datang, Anton," Jawabku kemudian.

"Ibuk, ndak usah takut. Anton akan membela dan menjaga, Ibuk," Anton berkata dengan suara tegas, tak berbisik seperti tadi.

Tak berapa lama kami dipersilahkan masuk. Di dalam ruangan dengan cat berwarna putih itu, telah duduk beberapa orang mengenakan seragam yang sama, didominasi warna hitam. Meja memanjang di depan mereka ditutupi kain berwarna hijau. 

Sidang pertama ini diawali dengan pemanggilan para pihak oleh panitera pengganti. Aku sebagai pihak penggugat, dan Mas Harto sebagai pihak tergugat tak nampak, ia tak hadir pada sidang hari ini.

Kupandang kursi kayu di sebelahku yang kosong. Apakah Mas Harto lupa, hingga tak menghadiri sidang pertama ini?

"As'salamualaikum … saya sebagai hakim ketua secara resmi membuka sidang pertama ini." Kemudian lelaki itu mengambil palu kecil, mengetuknya beberapa kali.

"Wa'alaikum sallam," serentak semua orang yang berada dalam ruangan menjawab salam.

"Pertama-tama izinkan saya mengucapkan syukur karena kita semua dapat menghadiri sidang pertama ini dengan keadaan sehat wal afiat." Pak Hakim berhenti berbicara sejenak. Mengambil jeda pada kalimat selanjutnya. 

"Hari ini saya sebagai Hakim Ketua, yang akan menentukan hasil gugatan cerai dari Nyonya Hening binti Widodo sebagai pihak penggugat, kepada Bapak Harto Prasetyo sebagai pihak tergugat."  Indra penglihatannya menatapku sekilas, lalu kursi kosong di sebelahku. Kemudian melanjutkan dengan membaca nomor surat pengajuan peeceraian.

Berhubung aku tak menyewa pengacara untuk membelaku, Pak Hakim ketua langsung berbicara padaku. Bertanya beberapa masalah yang berkenaan dengan pengajuan gugatan cerai. 

Setelah hampir satu jam berada dalam ruangan ini, menjawab beberapa pertanyaan. Akhirnya Hakim Ketua mengetuk palu lagi beberapa kali. Menandakan sidang kali ini selesai.

"Sidang ditunda untuk mediasi." Setelah berbicara Hakim Ketua berdiri dari kursinya, lalu meninggalkan ruangan. Bergantian diikuti tim pembela dan pendakwa yang duduk di sebelahnya kemudian perempuan pembaca agenda yang terlihat terburu-buru.

Ternyata, proses sidang itu lama. Banyak tahapan-tahapan yang harus dilalui. Selama proses sidang tadi semua orang memasang muka serius. Detak jantung di dada berdetak lebih cepat, hingga keringat dingin mengalir. Ini pertama kali aku menghadiri sidang resmi perceraian, dan ironisnya itu adalah sidang perceraian rumah tanggaku sendiri.

Sidang ditunda untuk mediasi, mungkin sekitar tujuh hari lagi dari sekarang. Akan ada pemberitahuan lagi nanti.

"Perasaan Ibu, kok gak tenang ya, Anton! Rasa takut, sedih juga kawatir muncul bergantian, detak di dada Ibu, juga semakin cepat." Telapak tanganku masih mendekap dada, ada apakah ini?

Firasatku mengatakan akan ada sesuatu yang terjadi.

"Tenang, Buk … jangan kawatir. Ibuk ndak salah, jadi jangan takut!" Anton berusaha menenangkan perasaanku.

Aku naik pada boncengan motornya, mengambil posisi senyaman mungkin. Berpegangan erat, kawatir terjatuh. Motor melaju perlahan meninggalkan gedung dan halaman Pengadilan Agama.

Gawai dalam tas kecil yang kubawa berbunyi. Aku merogoh, dan mencari benda pipih itu. Tertera nama Nur Laila di layar telepon.

"Ton, berhenti sebentar!" Perintahku pada anton yang sedang menyetir motor. Motor dilajukan pelan, lalu menepi di pinggir jalan.

"Ada apa, Buk?" tanyanya kemudian.

"Sebentar, ini adikmu menelepon. Mungkin kawatir sama Ibuk," jelasku padanya.

"Ibuk angkat telpon sebentar."

Aku turun dari boncengan, mengambil posisi lalu menekan tombol hijau pada layar gawai.

"Halo, Nur. Nanti aja telpon lagi. Ibuk masih di jalan," kataku segera saat telepon tersambung. Segera kumatikan panggilan dari Nur Laila. Ia mungkin sangat kawatir denganku, karena tak bisa menemani proses sidang. Ada lima panggilan tak terjawab sedari pagi.

Aku naik kembali pada boncengan motor. Bersiap melanjutkan perjalanan menuju rumah. Tak sabar ingin merebahkan badan, kepalaku begitu berat terasa. 

Tuhan, tolong kuatkan aku. Beri kemudahan agar masalah ini cepat terselesaikan. Aku menatap langit, berharap doaku terbang mengangkasa menuju-NYA.

"Ayo nak, jalan lagi, kita pulang," kataku pada Anton. Roda kembali berputar, menyusuri jalan yang kurasa lebih panjang dari saat aku berangkat tadi.

Beberapa saat berkendara, Anton berseru agak keras, "Buk Lihat itu!"

"Apa, Nak?"

Aku menengok ke kiri dan kanan, tak mengerti maksud dari Anton. Saat menghadap ke depan barulah aku mengerti apa maksud anak lelakilu.

"Lihat ke depan, Buk!" Seakan mengerti kebingunganku. Anton berkata lebih keras lagi.

Sontak aku mengikuti perintah Anton. Berjarak sekitar dua meter di depan kami, sepeda motor matic berwarna merah melaju. Di kursi belakangnya ada seorang perempuan dengan rambut sebahu. Berpegangan mesra pada pinggang sang supir. Tubuh mereka berdempetan tanpa jarak. Bagaikan anak muda yang sedang kasmaran. Anton sengaja memelankan motor kami. Mengikuti kendaraan di depan kami itu.

Pantas saja Mas Harto tak menghadiri sidang perceraian pertama kami. Ia sedang asyik memadu cinta rupanya.

Sebegituku tak pentingnya kah aku ini?

Apa sidang perceraian kami juga tak ada artinya? Hingga ia lebih memilih bersenang-senang dengan wanita selingkuhannya itu dari pada datang ke persidangan?

Entah apa yang dipikirkan anak sulungku. Melihat bapaknya sedang bergoncengan mesra dengan perempuan lain.

Tiba-tiba Anton melajukan motor. Tepat di samping motor matic merah yang ditunggangi bapaknya ia memelankan motor.

Tentu saja das Harto selingkuhannya masih tak menyadari kehadiran kami. Mereka terlihat berbicara dengan pelan. Sesekali kepala si perempuan mendekat ke kuping mantan suamiku itu.

Anton menekan klakson motor beberapa kali lalu membuka helm yang dikenakannya. Mas Harto dan wanita di boncengannya itu menoleh. Mereka tampak terkejut bertemu dengan kami.

Sejenak kami berpandangan tanpa ada kata yang terucap.

Sakit, kecewa, marah? Tentu saja sangat sakit melihat dengan mata kepala sendiri kedekatan mereka. 

Aku sudah sangat lelah menghadapi masalah-masalahku. Hingga tak ada tenaga lagi untuk mengeluarkan emosi. Tanpa senyum namun tak ingin mendendam. Aku berusaha kuat, menganggap pemandangan di depanku tak ada.

Hanya sekadar memberitahu bahwa kami tak takut, aku dan Anton tak mendendam. Namun masih belum bisa untuk memaafkan semua perbuatan Mas Harto.

Anton menarik gasnya. Motor bergerak cepat meninggalkan matic merah tadi. 

"Ibu, ndak apa-apa?"

Air mataku luruh. Topeng kuat dan tegar yang berusaha kubangun runtuh. Air mata menetes. Persendianku terasa lemas semua.

"Eng-gak, I-bu gak apa-apa?"

Terbata kujawab pertanyaan dari Anton. Jangan mengasihani ibu, nak! Rasanya akan sangat rapuh. Sejujurnya tadi itu sangat menyakitkan.

Kuseka pelan air mata di sudut mata. Tuhan kuatkan aku.

πŸ’—πŸ’—πŸ’—

Bersambung…

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status