💔💔💔
"Bapak akan tinggal di rumah ini sementara waktu, kasihan kalau rumah ini dibiarkan kosong tak berpenghuni," jawab Harto. Senyumnya mengembang, terlihat senang.
Entah sebenarnya apa dan bagaimana isi hati juga otak dari Harto. Setelah tertangkap basah berduaan dengan seorang perempuan hingga dibawa ke balai desa, ia juga berbuat onar beberapa kali pada tengah malam, mengamuk dan mengancam Hening hingga ketakutan, hingga akhirnya Hening sakit-sakitan.
Surat cerai telah turun beberapa bulan sebelum Hening mengembuskan napas terakhir. Surat itu telah memutus hubungan antara Hening dan Harto, ia sudah tak berhak atas rumah itu. Seharus
💔💔💔Tut … tut … tut!Terdengar benda pipih yang ditempelkan di telinganya terputus dari sambungan telepon. Dilemparkannya benda pipih itu di atas kasur.[Gimana, Mas? Akta rumahnya ketemu?] Tulis Kalyra pada layar pesan itu.Tak berapa lama gawai Kalyra kembali berbunyi.[Belum.] Setelah membaca satu kata yang tertulis wajah Kalyra terlihat memerah. Menahan amarah."Dasar, lelaki bodoh!" umpatnya."Masak suruh cari barang-barang berharga saja tidak bisa. Bisa rugi aku kalau tidak mendapatkan apa-apa darinya."
💔💔💔 Harto ingin bertemu dengan Siti Kalyra, wanita yang beberapa bulan ini dekat dan selalu dalam pikirannya. Seakan-akan sosok wanita itu di depan mata, tersenyum dan memanggil-manggil Harto. Kuda besi tunggangan Harto berjalan perlahan menuju rumah Kalyra. Di sebuah warung kecil tepi area persawahan, ia melihat beberapa temannya sedang duduk mengobrol. Lama tak bersua dengan teman-temannya ia membelokkan stang motor. "Hei, guk!" Setengah berteriak seorang laki-laki yang sedang duduk di depan warung mengangkat tangannya menyapa. Saat motor telah terparkir sempurna, Harto segera berjalan menuju mereka, menyalami. "Kemana aj
Sepi, sunyi, yang terdengar hanya suara jam berdetak. Lampu kamar masih menyala. Entah siapa yang kutunggu. Di luar sana, mulai terdengar suara ayam jantan berkokok bersahutan. Biasanya, di jam seperti sekarang, aku sudah sibuk mempersiapkan diri, mandi, memasak nasi, lalu berjalan ke jalan raya untuk menunggu angkot yang biasa mengantar jemput ke pabrik rokok tempatku bekerja. Kini, aku sudah pensiun dan tengah menikmati hari sebagai seorang ibu rumah tangga.Tok … tok … tok ….Tok … tok … tok ….Terdengar bunyi ketukan dari arah pintu dapur“As-salaamu’alaikum."
Setelah kejadian di balai desa, tak ada yang ganjil dengan sikap Mas Harto. Dia juga memperlakukanku seperti biasa. Namun, kebiasaan begadangnya tak berhenti. Di dalam rumah pun ia kerap tidur larut malam di depan TV yang menyala.Pagi itu, kulihat ada beberapa pesan masuk pada aplikasi WhatsApp di gawai Mas Harto. Ia sedang berada di kamar mandi. Penasaran, kucoba untuk membuka dan memeriksanya. Tertera nama pengirimnya hanya diberi inisial “S”.[Mas aku kangen!] pesan pertama yang kubaca.[Mas kapan kita ketemu lagi!]Jiwa detektif seorang istri menuntunku untuk mencari tahu lebih banyak lagi. Kubuka percakapan mereka
Jarum pendek benda pipih di dinding telah menunjukkan pukul setengah dua dini hari, dan aku masih terjaga. Meskipun kucoba memejamkan mata, namun pikiranku tak henti bekerja. Ia memutar semua kejadian hari ini, dan hati mengingatkan tentang rasa sakitnya.Tuhan, aku ingin mengamuk, menjelma badai memporak porandakan dunia. Jika boleh meminta, aku ingin hilang ingatan melupakan semua yang menyakitkan dan berharap segalanya baik-baik saja.'Tuhan … tolong aku.'"Bude, ndak tidur." Aini bertanya sambil menggosok-gosok matanya, yang masih mengantuk. Wajah remaja itu terlihat iba dan kawatir.
đź’žđź’žđź’ž"Dek, lihat cermin ini?" Mas harto menunjukkan sebuah cermin antik, berbentuk oval berbingkai ukiran jati di pinggirannya. Ia meraba ukiran sulur bunga itu."Bagus, ya, Mas? Terlihat cantik dan unik?" Kataku mengomentari cermin itu, setelah mengamati bentuknya dari atas hingga bawah."Kita beli, ya?" tanya Mas Harto, meminta persetujuanku. Lalu aku mengangguk, menyetujui usulnya.Seminggu setelah pernikahan, kami berjalan-jalan. Indahnya memadu kasih setelah kata ijab diucap. Tak ada rasa malu-malu atau kawatir dengan omongan orang
💔💔💔Berjalan menyusuri koridor rumah sakit, beberapa orang berlalu lalang. Sejenak orang-orang itu menatap bayi kecil digendongan Mas Harto yang terus menangis.Mas Harto menggendong jagoan kecil kami dengan posisi miring. Tanpa selendang, karena jika menggunakan selendang luka di punggung atau di atas pusarnya itu akan tertekan selendang, pasti semakin sakit.Aku mengikuti langkah perawat berbaju putih tadi. Mas Harto berjalan dengan cepat di samping perawat itu, sementara aku tertatih. Mengikuti mereka perlahan.Tiba
Deru mobil berhenti pada sebuah rumah kecil. Dengan atap genteng berwarna merah terbuat dari tanah. Dindingnya masih berupa susunan bata dan semen yang belum dicat, tak mengurangi rasa syukur kami pada Tuhan. Pintunya telah terbuka, mungkin Simbok atau Lilik telah berada di dalam.Rumah Kecil dan sederhana, namun di dalamnya terdapat sejuta rasa bahagia. Saat pasangan lain banyak yang menanti hadirnya buah hati, atau masih menumpang pada orangtuanya. Aku telah memiliki semua itu. Rasa syukur membuat kita selalu merasa cukup."Akhirnya kita sampai, kita pulang, nak," bisikku lirih pada Anton yang tertidur dalam gendongan, ia hanya menggeliat.Mas Harto membuka pintu mobil, ia mengambil Anton dari dalam gendonganku. Menuntunku turun perlahan dari mobil. Saat kakiku telah