Gayatri berdehem sekali saat Rachel mengerlingkan mata padanya begitu tiba di rumah setelah dihubungi Eliot. “Aku permisi, bilang sama teman kamu untuk istirahat.” Eliot keluar dari kediaman Gayatri untuk melanjutkan pekerjaannya yang sudah tertunda dua jam karena ulahnya sendiri. Sepeninggal Eliot dan Gayatri kembali mengunci pintu rumahnya, lengannya di tarik penuh nafsu oleh Rachel dan mendudukkan di sofa kemudian melepas sweater sang model paksa hingga mendapatkan pukulan telak dari Gayatri. “Kamu mau apa sih astaga nafsu amat buka baju aku?” omel Gayatri kesal. “Mau lihat ada bekas kalian bergelut apa enggak,” kekeh Rachel puas melihat wajah merah padam Gayatri, ia tidak butuh jawaban lagi setelah melihat respons sahabatnya. “Pikiran kamu benar-benar harus dicuci deh Chel, dia datang karena kamu yang kurang ajar kirim-kirim gambar punggung biru aku,” sentak Gayatri dengan denguk kencang.
“Hei,” tegur Eliot kala bibir lembut Gayatri hanya mengecup beberapa detik. “Apa? aku hanya menegaskan, apa itu yang kamu inginkan saat menahan aku pulang sama Rachel?” Gayatri menyentuh helai rambut berantakan Eliot di bagian kening. “Enggak melulu harus bersentuhan, itu terdengar seperti seorang ... maniak. Tapi enggak menolak juga.” Eliot mengakuinya dengan jantan, menjadikan Gayatri melepas tawa dengan menggelengkan kepala untuk kemudian melanjutkan langkah melewati Eliot. Gayatri duduk di sofa di mana ada satu barang Pilar tertinggal, menyentuh sweater tersebut Gayatri melipatnya dengan tersenyum hangat. “Kenapa Pilar sangat suka pakai sweater atau jaket? Aku perhatikan setiap ke mana-mana pakai baju berlapis. Lemarinya juga tadi aku lihat sangat banyak jaket.” Gayatri melempar tanya dengan menepuk lipatan sweater di pangkuan. “Awalnya memang aku yang selalu pakaikan baju berlapis jake
“Apa yang kita lakukan?” Bisikan pelan Gayatri masih terdengar dengan jelas di telinga Eliot meskipun diucapkan dengan wajah terbenam di leher sang laki-laki. Dua orang dewasa tersebut saling meleburkan kerinduan yang menganak sungai tidak dapat mereka bendung. Saat ini pukul dua dini hari dan mereka masih mengurai lelah dengan badan lembab penuh keringat. Di balik selimut kusut masai, keduanya bahkan belum kembali berpakaian. “Aku gila ya ampun,” tambah Gayatri semakin membenamkan wajahnya. “Kalau kamu gila berarti aku tidak waras, kamu menyesal?” Pertanyaan Eliot diiringi merapikan rambut di kening wanita dalam pelukan, kelembutan kulit tubuh Gayatri membuat Eliot tidak dapat menghentikan kegilaannya. “Kenapa menyesal padahal aku sadar, astaga gila.” Dengan wajah merah padam Gayatri menggigit bahu Eliot yang meringis namun kemudian terkekeh kecil. “Are you ok?” tanya Eliot lembut, Eliot meny
Gayatri dan sekretaris berlarian menuju Eliot, Rachel langsung menekan tombol panggil dalam keadaan darurat yang terdapat di kepala ranjang rawat pasien. Gayatri menarik selimut dan menekan sumber darah keluar dengan deras, sedangkan sekretaris membantu Eliot bangun untuk kembali dibaringkan. “Kamu mau apa tadi kok sampai di lantai?” tanya Gayatri tanpa melepas tekanan tangannya pada punggung tangan Eliot. “Ke kamar mandi tapi tiba-tiba keram kakinya dan keserimpet selimut.” Eliot meringis kesakitan kala kakinya diluruskan oleh sekretaris. “Bengkak Pak.” Sekretaris menunjuk pergelangan kaki kanan Eliot yang bengkak.Eliot mengangguk. “Sakit sekali itu.” Dokter datang dengan seorang perawat, memeriksa tangan dan kaki Eliot. Gayatri memperhatikan dengan wajah tegang saat kaki itu semakin bengkak dan berkata pada perawat agar membawanya CT dengan menjelaskan kemungkinan ada retak atau semacamnya.
“Oh ada tamu dari jauh.” Gayatri berjalan santai masuk mendekati ranjang rawat Eliot. “Gayatri dengarkan aku dulu,” tukas Eliot. Gayatri tersenyum pada Eliot dan meletakan barang di tangan ke meja samping sofa, kemudian mengambil selembar tisu untuk kemudian menghapus jejak basah pada bibir Eliot karena ulah Risa. “Ada perlu apa ke sini?” tanya Gayatri santai.Risa mendengus menyaksikan itu semua. “Kamu pikir aku menebar bakteri?” “Siapa yang tahu riwayat kesehatan kamu.” Gayatri mengedikan bahunya. “Kamu tahu kalau yang memulai mencium itu Eliot? Dia menikmatinya juga.” Dengan tidak tahu malunya Risa berkata seperti itu.Gayatri menoleh ke arah Eliot saat lengannya ditarik pelan. “Biar aku yang bicara ya.” Gayatri melepas cekal tangan Eliot pada lengannya dan menepuknya sekali. “Jangan mempermalukan diri kamu sendiri dengan bertingkah murahan, Risa,” tandas Gay
“Terima kasih ya,” ucap Eliot dari seberang panggilan telepon. “Untuk?” tanya Gayatri tidak tahu terima kasih untuk apa. “Yang kamu kirimkan,” jawab Eliot. Gayatri terdiam beberapa saat mengingat apa yang ia kirimkan pada Eliot. Belum ia menjawab, namanya dipanggil sang fotografer. “Nanti aku hubungi ya kalau sudah selesai,” bisik Gayatri sebelum mematikan panggilan. Gayatri sendiri menjadi lupa menghubungi Eliot saat tiba-tiba kedatangan Manuel dan mengajaknya mengopi santai di tengah hiruk pikuk keramaian ibu kota. Manuel mengatakan jika ia sudah tidak bekerja pada hotel Risa di Bali semenjak Risa pulang dan menggegerkan orang tuanya karena mabuk-mabukan dan mengumpati nama Gayatri hingga berseru ingin membunuh Gayatri. “Masalahnya panjang dan rumit rupanya ya, aku langsung mengundurkan diri begitu Risa mengatakan kamu yang enggak-enggak ke seluruh karyawan hotel dan meneba
“Tunggu! Kenapa buru-buru, kamu bahkan belum lihat acara sampai selesai.” Risa menahan lengan Eliot agar tidak beranjak dari sana. “Berhenti bersikap tidak tahu malu, Risa. Aku menghormati kamu terlebih orang tua kamu, aku tidak ingin sampai bersikap kasar sama kamu ya Risa,” ancam Eliot pelan. “Ada apa Pak Eliot, Risa?” Pemilik acara menghampiri meja Eliot kala mendapat bisikan ada ketegangan di meja sang Milyader. “Tidak ada apa-apa Pak Gerry, mohon maaf saya sama Gayatri harus pamit sekarang. Tadi dihubungi kalau putri kami sedang kurang enak badan, kami harus pulang. Selamat untuk peresmiannya, saya yakin akan berkembang pesat kelak.” Eliot menyalami pemilik acara. “Terima kasih Pak Eliot. Saya mengamini doa baik tentu saja, oh terima kasih juga hadiahnya aduh repot sekali sampai si bungsu saya dapat juga di rumah. Silakan-silakan, salam untuk Pilar.” Gerry mempersilakan Eliot dan Gayatri meninggalkan rua
“Jangan buka pintu sebelum aku bilang aman,” pesan Eliot. Eliot turun dari mobil dan meminta Gayatri tunggu di mobil sementara di belakang mereka dua petugas keamanan yang menjaga gerbang depan perumahan sudah turun memeriksa kediaman rumah Eliot setelah dihubungi Gayatri. “Iya, hati-hati.” Gayatri langsung menghubungi Pilar setelah Eliot turun, kediaman Eliot cukup terang di teras bahkan samping rumah juga terang. “Sayang, Pilar kamu di mana? masih di kamar? iya papa kamu sedang mengecek sama sekuriti. Kamu tunggu dulu ya, jangan buka pintu pokoknya. Jangan matikan telepon Mama juga ya. Kalau takut, kita mengobrol saja.” Gayatri meremas ponselnya melihat wajah pucat Pilar dari layar ponselnya. “Iya Ma, aku di kolong meja belajar. Papa bawa senjata apa enggak? maksudnya balok atau pemukul kasti buat jaga diri. Takutnya orang di luar rumah bawa senjata,” ucap Pilar pelan. Rasa ingin turun dar