"Ayo ikut Ibu!"Bu Retno menarik tangan Bastian dengan kuat. Anak itu sempat memberontak dan menegur ibunya."Pelan-pelan, Bu. Lututku terbentur meja. Memangnya ada apa?" Bastian terlihat sangat kesakitan. Dia dipaksa mengikuti langkah ibunya yang cepat. Padahal kondisi Bastian saat ini tidak bisa melihat."Sudah lah! Ikut Ibu saja! Di depan ada Mbah Sirat.""Mbah Sirat?""Iya. Kamu pijitin dia! Sekarang kamu telah resmi menjadi tukang pijat. Ibu sudah promosi ke orang-orang. Ibu juga sudah pasang papan nama di depan rumah, bahwa kamu menawarkan jasa pijat."Langkah Bastian terhenti. Tubuhnya mendadak kaku. Bahkan sang Ibu berusaha keras untuk mendorong tubuhnya keluar menuju ruang tamu, namun tak bisa."Tukang pijat? Bu, aku gak bisa. Aku gak punya keahlian jadi tukang pijat.""Ah … itu mah gampang. Apalagi untuk lansia seperti Mbah Sirat. Kamu tinggal pijat-pijat ala kadarnya saja. Sudah lah, lakukan apa yang Ibu minta. Memangnya kamu mau Arista kekurangan makanan karena kamu tak la
"Lihat, Bu! Mereka asik merayakan ulang tahun Rayyan tanpa mengundang kita." Lidya menyerahkan ponselnya pada Bu Retno. Di ponsel itu terlihat postingan yang diunggah Embun di akun media sosial miliknya. Video yang menampakkan wajah Embun, Bumi, Bastian, dan kedua orang tua Embun, membuat hati tiga orang panas dan mendidih. Mereka iri akan kebahagian keluarga lain yang sedang merayakan pesta.Bastian baru saja resmi menyandang status duda. Dia telah mengikhlaskan Lidya untuk kakaknya. Sedangkan Arista kecil, masih dibawah pengasuhan Lidya.Saat ini, Bu Retno, Lidya, dan Bara telah pindah dari rumah sebelumnya. Para tetangga merasa keberatan jika mereka masih tinggal di lingkungan itu. Terpaksa Bu Retno harus merelakan rumahnya untuk disewakan. Sedangkan ia dan yang lainnya memilih mengontrak di dekat rumah orang tua Embun. Bumi tak tahu soal ini. Pasalnya, selama kurang lebih 5 bulan ini, mereka telah memutuskan komunikasi. Bumi terpaksa melakukan ini untuk memulihkan mental Bastian.
Waktu bergulir begitu cepat. Tak terasa sudah tiga bulan lamanya, Bastian wara-wiri di ajang pencarian bakat yang disiarkan oleh salah satu stasiun TV. Acaranya belum berakhir, dan Bastian masih bertahan sejauh ini. Selama tiga bulan ini, Valerie setia mendampingi Bastian. Saat ini bukan lagi hanya sebatas perancang busana pribadinya, tapi Valerie kini merangkap menjadi asisten Bastian. Kenapa bisa? Hal ini berawal dari tingginya penjualan di butiknya sejak Bastian menjadi model busananya. Pria itu memiliki daya tarik tersendiri hingga mampu memikat banyak pelanggan. Karena hal itu, Valerie menawarkan diri menjadi asisten Bastian. Embun tak bisa lagi menemani Bastian karena sibuk dengan usahanya sendiri—menjadi distributor pakaian anak."Lihat itu! Si cantik dan si buta!""Ganteng sih, tapi sayang … gak bisa melihat.""Andai saja Bastian itu tak buta, pasti dia sudah menjadi idola baru yang lebih sukses dari sekarang."Selentingan-selentingan itu selalu terdengar di telinga Bastian.
"Mana istrimu? Sudah seminggu dia gak keluar rumah. Benar kalau dia sudah melahirkan?" tanya Bu Emma pada Bara.Bara yang saat itu baru saja pulang ke kontrakan sehabis membeli sarapan di luar, kedatangan tamu tak diundang yang selalu membuat jengkel. Orang itu adalah Bu Emma, tetangga yang paling sering menanyakan ini dan itu terkait status rumah tangga Bara dan Lidya."Saya ikut masuk, ya? Sekalian mau silaturahmi. Ini saya juga bawa buah buat istrimu," ucap Bu Emma. Ia kekeuh ingin ikut masuk ke dalam rumah. Bara semakin risih. Tapi apa yang bisa dia perbuat? Wanita paruh baya itu sudah merangsek masuk dan berhasil menerobos ke dalam rumah."Eh, ada Bu Emma. Mau ngapain, ya?" tanya Bu Retno. Ia heran mendapat kunjungan mendadak dari tetangganya yang paling menyebalkan."Mau jenguk Lidya dan anaknya. Bener, 'kan sudah melahirkan? Kok kamu gak bilang-bilang?" ucap Bu Emma. Ia mulai menempati tempat duduk di samping Bu Retno. Sedangkan Ibunda Bara itu langsung memberi kode pada anak l
"Jadi ini istri dan anak Bastian, Bu?" tanya seorang wartawan pada Bu Retno.Iya. Bara dan Bu Retno berhasil menyebarkan fitnah. Video Lidya yang sedang terbaring lemas serta Deby kecil terbaring di sampingnya, viral di media sosial. Netizen kini terpecah menjadi dua kubu. Ada yang menelan mentah-mentah video itu dan mengecam tindakan Bastian, dan ada juga yang tetap percaya kalau Bastian adalah orang baik."Ternyata tak hanya cacat fisik tapi dia juga cacat moral. Masa istri dan anaknya ditelantarkan begitu.""Iya, sayang banget. Padahal aku dulu menjodohkannya dengan Valerie, tapi sekarang nggak. Kasihan Valerie deket-deket sama cowok cacat dan jahat seperti itu.""Jangan menelan mentah-mentah berita ini!""Kok aku masih yakin kalau Bastian itu anak baik, ya?""Wajahnya polos, tapi hatinya busuk.""Baru saja naik daun, sekarang sudah bikin sensasi aja.""Semangat, Bas! Buktikan kamu itu berada di pihak yang benar.""Percuma kalian pada perang di komen, orangnya gak bakal bisa baca h
Tak hanya sirine ambulans yang terdengar dari kejauhan, tapi juga suara sirine polisi. Bara langsung tahu kalau kebebasannya terancam. Dia diam-diam kabur melalui pintu belakang saat semuanya sibuk melakukan sidang pada Bu Retno. Tetangga serta Pak RT di lingkungan itu sedang fokus pada Bu Retno."Tangkap mereka, Pak!" ucap Bumi. Kata-kata itu ditujukan untuk ibu dan kakaknya. Namun kemana, Bara? Bumi baru menyadarinya."Mas Bara kabur."Bumi ikut melakukan pencarian dengan anggota kepolisian. Belum ditemukan. Kakaknya sungguh lihai dalam hal melarikan diri. Di sisi lain, Embun ikut mengawal Lidya dan bayinya menuju ke rumah sakit. Mereka harus melakukan pemeriksaan kesehatan. Terlebih Lidya. Saat petugas medis datang, dia seolah-olah lemah dan tak sadarkan diri. Sampai saat ini, Lidya belum tersadar dari pingsannya. Bahkan dia memerlukan bantuan pernapasan."Maaf, Mbak. Tolong jaga anak-anakku!" Itulah kata-kata terakhir Lidya untuk Embun.Takdir berkata lain. Tak berselang lama sej
"Sudah dua tahun aku di sini. Persembunyianku masih aman. Sepertinya sudah tak ada yang mencariku lagi, Paman."Bayu bercerita sembari menyesap rokok di teras rumah Pak Sukarsa."Ini kopinya, Mas … Pak." Mirah datang membawa nampan berisi dua gelas kopi. Minuman itu dia taruh di meja yang terletak diantara Bayu dan Pak Sukarsa.Suasana sore yang dingin, membuat kopi dan rokok menjadi perpaduan yang pas untuk penghangat tubuh."Tapi kamu masih masuk DPO, Mas. Walaupun sudah tak ada petugas yang mencari ke sini, kamu masih belum aman jika berkeliaran di luar sana.""Benar kata Mirah, Yu. Di sini kamu aman. Kamu juga mendapat identitas baru dariku. Jika semuanya aman di tempat ini, untuk apa kamu ingin pergi?" tanya Pak Sukarsa."Aku hanya ingin melihat dunia luar sebentar saja. Mencari informasi dari orang-orang tentang diriku. Apakah pemberitaannya masih hangat atau tidak. Lagipula, wajahku juga sedikit berubah, Paman. Kumis dan jenggot serta luka jahitan di pipi, tentu membuat wajahku
"Mas, sudah pulang, ya? Sini aku bantu ke rumah." Mutia sigap menuntun Bastian keluar dari taksi."Gak usah dianter juga gak apa-apa, Mut. Aku sudah bisa sendiri, he he." Bastian sudah mengenali suara Mutia. Karena wanita itu tetap memaksa untuk mengantarkan Bastian ke rumahnya, akhirnya penyanyi itu pun tak sanggup menolaknya."Toko belum tutup, Mut? Bukannya sudah malem, ya?" tanya Bastian di tengah-tengah perjalanan menuju rumah orang tua Embun.Mutia merupakan salah seorang pegawai di toko sembako milik Pak Salim. Toko itu semakin besar sejak Bastian ikut menyumbangkan dana renovasi dan pembelian barang untuk dijual. Sementara itu, rumah keluarga Embun juga direnovasi oleh Bastian. Tentu semua ini berkat kerja kerasnya sebagai penyanyi.Walaupun Bastian bisa dikategorikan sebagai penyanyi terkenal, tapi dia tetap sederhana dan memilih tetap tinggal di rumah orang tua Embun. Pak Salim dan Bu Nadine juga enggan berpisah rumah dengan anak angkatnya itu. Kecuali jika Bastian sudah ber