Embun kembali mendapati pesan singkat di ponsel suaminya. Pesan yang selalu datang tiap awal bulan. Keluarga suaminya selalu meminta jatah bulanan tanpa peduli kabar anak dan menantunya di perantauan. Padahal bulan ini, Embun dan suaminya yang bernama Bumi, berencana meminjam uang di bank untuk dipergunakan membeli sebidang tanah. Mereka ingin membangun kos-kosan sekaligus tempat tinggal mereka. Kelak, itu akan menjadi sumber penghasilan kedua mereka. Tapi apakah mimpi itu bisa terwujud? Jika sebagian besar gaji Bumi dikuasai oleh ibunya?
View More“Bisa dibawa jalan-jalan di taman klinik, ya, Bu! Biar bukaan-nya cepat bertambah,” ucap Bu Bidan pada Laras.Pasalnya sejak tadi pagi, Laras sudah mengalami kontraksi. Ketika dicek oleh tenaga medis, ternyata Laras sudah mengalami bukaan 2. Tapi hingga sore ini, bukaan-nya tak kunjung bertambah. Oleh karena itu, Bu Bidan menyuruh Laras berjalan-jalan santai di taman klinik.“Baik, Bu.” Anton lantas menggandeng tangan sang istri menuju taman klinik. Mereka melakukan apa yang dianjurkan oleh Bidan.“Gimana, Ras? Apa kata Bidan? Apa kata dokter?"Embun dan Bumi yang baru saja datang ke klinik itu langsung memberi pertanyaan pada sang adik. Tapi Laras hanya menggeleng sedih sembari menahan sakit. Dia menyerahkan semuanya pada sang suami untuk menjelaskan pada kakak-kakaknya.“Ooh begitu. Semoga dilancarkan, ya. Adik bisa lahir dengan selamat dan normal,” ucap Embun yang kemudian diamini oleh yang lainnya.“Kamu gak mau makan dulu, Ras? Mbak udah beliin bubur kacang ijo kesukaan kamu.”L
“Maafin aku, Kak … Aku yang salah.”Laras bersimpuh di kaki sang kakak sulung, Bella. Ia sudah keluar dari rumah sakit dan sudah mengetahui kabar tentang kepergian sang Ibu.“Harusnya aku melarang Ibu untuk ikut pergi, Kak. Kalau Ibu gak ikut, pasti aku yang tiada, bukan Ibu.”Laras menangis sejadi-jadinya sambil memohon ampun. Di sisi lain, Bella juga menangis namun tetap duduk diam. Dia belum mampu menenangkan sang adik, karena hatinya sendiri masih patah.“Sudah lah, Laras! Bangun, Dek! Ini bukan salah kamu.”Bumi memeluk sang adik dan menenangkannya. “Semua orang di sini merasa sedih. Tapi tak ada satupun yang menyalahkanmu, Dek. Ini semua sudah takdir. Yang terpenting sekarang, kita hanya bisa mengirimkan doa untuk Ibu. Agar beliau tenang di sana.”Bumi merangkul Laras sembari terus membelai rambut sang adik bungsu. Namun tiba-tiba, Bella bangun dari duduknya dan masuk ke dalam kamarnya. Meninggalkan semua orang yang ada di ruang tamu.“Kak … Itu Kak Bella pasti masih marah.” L
“Mbak kok masih di luar? Ayo kita masuk ke dalam! Ini udah malam!” ajak Bumi pada sang kakak.Tadi siang, je-na-zah Bu Retno baru saja disemayamkan. Semua orang kini masih berkumpul di rumah keluarga besar Pak Salim. Terkecuali Laras dan Anton. Ya, mereka berdua masih berada di rumah sakit karena kondisi Laras yang belum memungkinkan untuk diajak pulang. Wanita itu juga belum diberi tahu tentang kabar duka ini. Semua keluarga sepakat menyembunyikan kabar ini sampai kondisi Laras kembali pulih.“Sini duduk dulu, Mi!” Bella menyuruh sang adik duduk di sampingnya. Bumi pun menurut.“Ada apa, Mbak?”Bumi memandang wajah sang kakak yang kini nampak lesu. Bahkan matanya masih terlihat bengkak dan sembab karena terus menangis.“Mbak udah makan?”“Nanti aja, Mi! Gampang itu. Temani Mbak dulu di sini!”“Aku ambil makanan dulu, ya. Nanti aku suapin Mbak di sini.”“Gak usah! Kamu duduk aja di sini!”Bumi pun tak melanjutkan ucapannya dan memilih duduk diam di samping sang kakak. Sejenak, suasana
“Sayang … Sayang, kamu dimana sih? Laras … Mas datang, Sayang. Kamu dimana?”Anton seperti orang kesurupan. Dia datang membawa keributan ke rumah sakit. Bagaimana tidak? Saat dia tengah bekerja, ponselnya tiba-tiba berdering dan memberi kabar mengejutkan tentang musibah yang menimpa sang istri. Tanpa pikir panjang, saat itu juga Anton membawa angkot yang dia kendarai ke rumah sakit.“Tenang, Mas … tenang! Biar aku yang cari tahu ke bagian informasi, ya,” ucap Ilham.Beruntung Ilham masih berada di sisi Anton saat ini, hingga dia mampu menemani serta memberi ketenangan pada teman sekaligus bos-nya itu.Ilham pun mencari tahu tentang keberadaan Laras melalui pusat informasi. Mereka pun diarahkan untuk bertemu Laras yang sudah dipindahkan ke ruang rawat.Ketika melihat tubuh sang istri terbaring di ranjang rumah sakit dengan tangan yang telah dipasang ja-rum infus, hati Anton ter-i-ris. Dia langsung mendekat ke arah sang istri dan memeluknya.“Ya ampun, Sayang. Kamu gak apa-apa, ‘kan? An
“Mas, antar aku ke pasar, yuk! Hari ini aku pengen banget buat bolu pisang.”Laras merengek di hadapan suaminya. Di trimester akhir kehamilannya ini, Laras benar-benar mengidamkan makanan manis. Seperti kali ini, air li-ur nya menetes jika membayangkan bolu pisang.“Nanti, ya, Sayang. Mas harus narik dulu hari ini.”Anton tak mau ongkang-ongkang kaki begitu saja sebagai mandor angkot. Dia juga ingin bekerja dengan peluhnya sendiri sebagai salah satu supir angkot milik Bastian yang telah dipercayakan pada dirinya. “Tapi kamu pulangnya pasti sore, Mas. Apa gak bisa kamu libur dulu hari ini? Atau narik agak siangan?” tanya Laras, masih terus membujuk sang suami.“Tapi Ilham sudah datang, Sayang. Gak enak kalau harus menyuruh dia pulang lagi.”Ilham adalah kernet angkot yang biasa diajak Anton untuk bekerja. “Atau gini aja deh. Biar nanti aku yang beliin bahan-bahannya di pasar. Kamu gak perlu ikut! Di rumah saja, ya! Cukup kasi aku catatan belanjaan saja.”Anton mencoba mencari jalan t
“Ya ampun, Nak. Kalian semua sudah besar. Tante seneng kalian baik-baik saja,” ucap Embun. Dia menc1um dan memeluk anak-anak Bella satu per-satu. Semua orang di rumah Pak Salim terlihat sangat bahagia dan penuh haru. Pada akhirnya, semua orang bisa berkumpul dengan lengkap, kecuali Bastian. Bu Retno juga mulai pulih dan mau berbicara kembali saat melihat cucu-cucunya kembali dan berkumpul lagi dengan keluarga. Hanya ada dua orang yang terlihat berdiri di pojok ruangan, melihat momen ini dengan mata berkaca-kaca. Mereka tak berani mendekat, walaupun perasaan bahagia juga terpancar dari wajah mereka. Bella menyadari akan hal ini. Dia lantas mendekati pasangan suami istri itu.“Anton … Laras, maafin, Mbak, ya. Mbak terlalu keras pada kalian. Mbak telah menyakiti hati kalian dengan perkataan Mbak. Hari ini, Mbak sadar kalau kalian adalah saudara—adik-adikku.” Bella memeluk Laras dengan erat. Pecah tangis di antara keduanya. Semua orang yang semula sibuk menyambut kedatangan anak-anak B
“Maksud kamu apa, Sayang?” tanya sang suami.“Kamu pasti ngerti maksud aku, Mas. Aku menginginkan anak ini. Aku mau anak ini terus bersama kita.”Sang suami terdiam dan tak mengucapkan sepatah kata pun lagi. Dia fokus menyetir mobil sambil sesekali melihat ke arah spion—melihat mobil Bumi yang masih mengikuti mereka.“Nanti di depan, kita belok kiri, Mas. Kita alihkan perhatian mereka dan kabur. Sepertinya mereka bukan orang asli sini. Pasti mereka tak hapal jalan sini.”Lagi-lagi sang istri memengaruhi pikiran suaminya untuk berbuat yang tak semestinya. Dia menginginkan Anna menjadi anaknya. Dia tak sudi memberikan Anna pada siapapun itu, sekalipun mereka adalah keluarga kandung Anna.Dia terus menyusun rencana busuk. Sementara itu, Bumi dan Anton terus mengikuti mereka dengan hati-hati, memastikan Anna tetap aman di dalam mobil pasangan suami istri itu.“Tolong, jangan seperti ini, Sayang! Kita antar dulu anak ini ke kantor polisi. Cari tahu kebenarannya. Kalau mereka bukan keluarga
“Maafin Mama, Nak. Mama sudah tega meninggalkan kalian.”Maria dan Bella saling berpelukan. Anak sulung Bella dan Jery itu tak bisa lagi menahan rasa rindunya pada sang Ibu.“Papa, Ma. Papa sudah meninggal. Papa d1bunuh Tante Mega.”Bella dan yang lainnya merasa terkejut. Apa yang dikatakan oleh Maria? Bukankah Jery meninggal karena kecelakaan?“Aku dengar Tante Mega berbicara pada seseorang di telepon. Mereka ingin mencelakai Papa.”Bumi, Bella, dan Anton saling pandang. Yang mulanya sudah ikhlas, kini menjadi curiga. Jangan-jangan, yang dikatakan Maria adalah fakta. Gerak-gerik Mega memang sangat mencurigakan.“Bumi. Kita harus laporkan ini ke polisi! Kita minta polisi menyelidiki kembali kasus ini.”Bumi setuju akan ucapan sang kakak, tapi terlebih dahulu, mereka harus menjemput anak-anak Bella yang lainnya.Tiga panti asuhan berikutnya berhasil membuat Bella dan anak-anaknya berkumpul kembali. Mereka meluapkan rasa rindu yang selama ini terpendam. Mereka menangis sejadi-jadinya.
“Pergi kamu dari sini!”Bella mengusir Mega dari rumah Jery. Dia merasa lebih berhak mendapatkan rumah itu dibanding Mega, wanita yang mengaku-ngaku menjadi istri kedua Jery.Mega tak peduli. Dia masuk ke dalam dan kembali membawa satu amplop coklat.“Ini baca!”Mega memperlihatkan surat nikah dan surat wasiat tentang seluruh harta Jery semasa hidup. Mega yang mendapatkan semuanya. Entah bagaimana caranya wanita itu membuat semua ini masuk akal. Yang pasti, Bella dan anak-anaknya tak mendapat harta sepeserpun. Tapi tidak hanya mereka. Bahkan Bu Endang, ibu kandung Jery juga tak mendapat bagian. Semuanya atas nama Mega.“Kamu memeras suamiku.” Bella berteriak di depan wajah Mega. Urat nadi di leher Bella timbul saat dia berteriak.“Iiih, jangan dekat-dekat! Nafasmu bau jigong!”Mega menanggapinya dengan santai. Dia tak tersulut emosi, bahkan sempat-sempatnya memperolok Bella.“Kembalikan harta suamiku! Itu hak ku dan anak-anak!” Mereka kini saling jambak. Bumi merasa ini waktu yang te
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.