Setelah delapan tahun berlalu Alina tidak menyangka harus bertemu lagi dengan El yang merupakan mantan suaminya yang dulu ia sangka mengabaikannya di luar negeri pada saat dia sedang hamil juga terusir dari rumah mantan mertua. Alina syok, dia membenci El dan tidak mau kalau El tahu tentang Aliza--anak yang ia lahirkan. Sementara tanpa sepengetahuan Alina, El Pun membenci Alina karena menganggap Alina berkhianat sehingga ketika mereka berjumpa keduanya sama-sama terkejut. Terlebih sekarang status El merupakan kepala sekolah dari Aliza.
Lihat lebih banyak[Rahma : Lin, serius lo mau datang ke tunangan Pak El? Sekarang lo di mana? Ini gue di dalam. Eh, aneh! Kok Pak El gak keliatan ya?Me :Masa? Mungkin dia lagi siap-siap. Betewe. gue udah di parkiran tapi Neo minta gue nunggu. Rahma : Yaelah, tuh laki masih aje demen ditungguin. Ya udah, kabarin kalau lo udah masuk.Me :Iye. Eh, lo gak bilang Adel, kan?Rahma :Enggak. Gue gak bilang ke dia. Takut heboh dan nyebar di grup sekolah Iza. Tenang, kali ini gue gak akan bocor.]Aku menghela napas lega melihat balasan Rahma. Setidaknya untuk kali ini, info tentang El tidak akan tersebar di komite sekolah karena aku takut El malah berbalik marah.Pasalnya, setelah aku cek di beberapa grup sekolah yang kuikuti, ternyata tidak ada info tentang acara ini di grup sekolah. Adel saja bahkan tidak tahu tentang kabar El yang akan bertunangan ini.Aneh? Ya, sangat aneh. Masa, kepala sekolah mau tunangan gak ada satu pun perwakilan sekolah yang datang?Aku yakin pasti El sengaja menyembunyikannya.
Aku duduk di kursi kosong yang berhadapan dengan El. Jarak kami kini hanya seluas meja pantry. Seusai perdebatan di depan pintu rasanya tak ada pilihan lain selain mengikuti ajakan El untuk berbicara lagi pula aku masih punya waktu lima belas menit sebelum masuk kubikel. Selama kami berhadapan, kurasakan tatapan El tajam dan dingin tepat ke netraku. Padahal di pantry ini AC gak disetel di suhu yang rendah, tapi entah mengapa badanku rasanya menggigil karena ditatap sebegitu dingin. Jujur. Aku tidak tahu kalau pemandangan seorang pria yang akan bertunangan bisa sekacau ini. Rambutnya gak se-on point biasanya, lebih ke arah acak-acakan. Bajunya terlihat kusut sangat berbeda dengan tadi pagi dan wajahnya lebih dingin dari es yang baru aku keluarkan dari freezer. Aku tidak tega melihat El seperti ini, tapi keadaan memaksaku untuk tega. "Kalau Mas mau kita bicara baik-baik, lebih baik Mas minum dulu," kataku seraya mendorong secangkir teh ke arah El. Aku gak mau kami berbicara dengan em
Gelisah. Satu kata yang mungkin bisa mewakili perasaanku sekarang. Mengingat siang tadi, El memergokiku berbicara dengan Neo tak kupungkiri perasaanku menjadi semakin gak tenang. Hatiku perlahan merasa bersalah karena takut dia salah paham atas ucapanku yang gak mau rujuk. Jujur, meski tahu El akan bertunangan dan kekhawatiran ini percuma. Entah mengapa, melihat tatapan El yang kecewa pada saat mata kami bersitatap sebelum dia pergi tadi perasaanku jadi ikut tidak nyaman. Ada sisi hatiku yang tidak mau El terluka.Agh andai, Neo gak memancingku dengan pertanyaan itu bisa jadi ucapan yang aku keluarkan tidak seburuk itu.Namun, anehnya kenapa El ada di sana saat itu? Sejauh apa dia mendengarkan ucapanku? Bagaimana jika dia salah paham? Nanti bisa-bisa dia menganggapku dan Neo ada hubungan. Tapi ... kenapa juga aku harus perduli? Toh, dia sendiri yang mau move on dariku padahal sebelumnya dia bilang sama aku kalau mau memulai semua dari awal.Dasar mulut lelaki! Gak bisa dipercaya. Gi
Kehadiran Neo di depanku setelah aku berdebat dengan Bu Rosa dan Sania membuatku menghela napas bimbang. Di satu sisi aku sedikit lega karena pada akhirnya aku bisa melawan kesewenang-wenangan Bu Rosa meski belum semuanya terbalas tapi di satu sisi aku merasa malu karena pada saat mengenaskan seperti ini malah ditemukan oleh Neo. "Neo?" Suaraku tercekat saat melihat sosok pria berkacamata berdiri tepat di depanku seraya mengulurkan tangan. Sebenarnya, aku cukup terkejut karena mengira tidak ada seorang pun yang mengetahui pertengkaranku dengan Bu Rosa kecuali Sania tapi nyatanya aku salah. Ada Neo di sana, tapi aku gak yakin dia mengetahui semuanya."Gimana? Apa kamu butuh bantuan? Dan apa kamu baik-baik aja?" tanyanya sekali lagi seraya menggoyangkan tangannya minta disambut. Wajahnya tampak khawatir tapi aku gak mau terlihat lemah dan membuat peluang harapan di antara kami.Aku memaksakan senyum selagi bangkit berdiri tanpa memegang tangannya. "A-aku baik-baik saja Yo, terimaka
Rapat internal dengan Bos Bre berjalan cukup baik. Dengan perencanaan dan persentasi timku yang rinci semua anggaran juga target bisa disetujui tanpa harus banyak perdebatan.Aku tersenyum lega. Setidaknya di hari ini ada satu hal yang berjalan sesuai keinginan.Sehabis rapat di lantai enam, aku pun memutuskan untuk bergegas turun ke lantai lima demi menuju kubikel. Kupikir dengan menyibukkan diri, persoalan apa pun jadi gak berarti.Aku memilih menggunakan tangga untuk turun karena pada saat keluar lift sudah penuh dan banyak orang mengantri. Namun, nyatanya keputusanku salah, di luar dugaan, tepat lima meter saat aku mau berbelok ke arah tangga mataku tak sengaja menangkap ada dua perempuan tengah berjalan beriringan menuju ke arahku. Dan tahu siapakah wanita itu? Ya, dia adalah Bu Rosa dan Sania. Oh Tuhan. Apa ini tanda neraka sudah bergabung dengan bumi? Mengapa pula mantan mertuaku harus ada di sini?Wah, ini parah sih!Untuk menghindari pertengkaran yang gak jelas, aku berpik
Apa sih yang aku lakukan? Serius, kenapa aku jadi banyak memikirkan apa yang dibisikkan oleh anakku pada El? Padahal kalau dipikir-pikir, mungkin itu hanyalah keisengan Iza tapi anehnya perasaanku jadi gak enak ketika melihat El tampak terkejut dan bahkan wajahnya mendingin setelah dibisiki Iza. Apa Iza mengatakan yang salah? Apa Iza membuat El marah? Atau apakah Iza membisiki hal yang membuat El salah paham? Haruskah aku hubungi El saja?"Ah, gak! Gak! Nanti dikira aku terlalu kepo lagi." Sekali lagi aku menggelengkan kepala karena merasa pusing menerka-nerka.Setelah cukup dipusingkan karena memikirkan kejadian tadi pagi pada saat mengantar Iza ke sekolah, pada akhirnya aku memilih menyerah. Daripada aku jadi keder sendiri, lebih baik aku menyimpan pertanyaan itu dulu dan menganggapnya hanya kejailan anak kecil semata. Tapi, aku pastikan sepulang ke rumah nanti, aku akan berusaha membujuk Iza agar bicara."Haaash!" Aku mendesah kuat ketika kakiku memasuki lobby kantor dan berjalan
"Waah, mobil Pak El bagus banget. Ac-nya dingin dan joknya empuk, waaah!"Setelah mengalami perdebatan kecil tadi, pada akhirnya Alina harus mengalah dan mengikuti kemauan putrinya untuk berangkat ke sekolah bareng El. Semenjak masuk ke dalam mobil, Iza tak henti memuji interior mobil El yang memang sangat berbeda dengan milik bundanya. Maklum, mobil Alina memang hanyalah mobil bekas dan harganya pun cocok buat kaum janda yang mendang-mending seperti Alina.Jadi, Iza kadang kegerahan dan sering kali mogok, mungkin itulah alasan anaknya betapa senang jika naik mobil mewah kayak milik El. Namanya juga anak-anak, mereka terlalu polos untuk mengekspresikan perasaan."Oh, ya, kok Pak El mau sih jemput Iza sama Bunda? Kan rumah Pak El jauh?" Pertanyaan Iza yang tiba-tiba sontak membuat Alina mau pun El terkesiap. Mereka berdua sontak saling pandang, baik Alina mau pun El seakan bingung harus menjawab apa. Rasanya gak mungkin mereka menjelaskan pada Iza kalau sebenarnya El ke rumah Alina se
"Baiklah karena udah sepakat, mulai besok saya harap hubungan kita akan kembali ke semula, seperti awal perkenalan. Terima kasih ya, Lin sudah bersedia memaafkan saya dan membiarkan saya dekat dengan Aliza."Alina tidak tahu sudah berapa kali kalimat El yang dilontarkan sebelum mereka berpisah semalam tersebut telah menggema di telinganya. Saking terus terngiang-ngiang, Alina jadi kurang fokus pada keesokan harinya padahal dia ada meeting penting hari ini dengan Bre di kantor. Perempuan cantik itu jadi sibuk melamun seraya menyiapkan bekal Iza sembari mempertanyakan keputusannya sendiri.Dari semalam hingga pagi hari ini di rumahnya, benak Alina seolah sibuk bertanya-tanya. Apakah yang ia lakukan ini sudah benar atau tidak? Bagaimana kalau keputusannya ini salah? Bagaimana kalau nanti Bu Rosa akhirnya tahu kalau cucu yang ia benci nyatanya sudah bertemu dengan anaknya?Ah, Alina bahkan tak sanggup memikirkannya.Jujur. Terlepas dari semua kekhawatiran itu, sejujurnya Alina sendiri mas
POV Author"Jadi, Aliza benar anak saya, kan? Tes itu beneran akurat, kan?" "Iya akurat. Dan aku bisa pastikan, sebagai dokter kalau Aliza adalah anak Mas El. Kecocokan DNA kalian 100%. Tapi, aku mohon jangan marah sama Mbak Alina. Aku yakin Mbak Alina sengaja menyembunyikannya karena ancaman seseorang dan Mas harus menemukan itu. Sekarang, lebih baik bujuklah Mbak Alina untuk mengatakan semuanya. Aku yakin dia juga menderita dan masih sayang sama Mas, karena dia juga sejak tadi gelisah di luar sana." El mendesah sambil memejamkan matanya. Setelah mendengar penjelasan Aruna yang mengatakan kalau Aliza adalah benar anak yang selama ini ia dambakan, rasanya semua sakit yang El derita bertambah kali lipat nyerinya. Beragam emosi yang ia rasakan seolah bertumpuk di dalam dada. El menjadi marah pada dirinya sendiri yang tak bisa menjaga Alina dan anaknya. Bahkan El merasa batinnya menjadi hancur setelah mengetahui kalau nyatanya selama ini dia sudah gak bertanggung jawab kepada anaknya.
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.