Pria bersetelan hitam legam itu menatapku terkejut. Kacamata hitam beserta masker menutupi romannya. Ia bersiaga, mengeluarkan sebilah belati ganti pistol yang sudah terpental jauh.
Perawakannya tubuhnya cukup tinggi, proporsional. Topi menutupi seluruh bagian rambutnya menyisakan kening mulus seputih pualam. Ia jelas tak ingin siapa pun mengenali wajahnya, tipikal pembunuh bayaran profesional.
Pria itu bergerak mendekat, aku mencabut belati dari sabuk, bersiap untuk bertarung.
"Owen, tetap menunduk!" perintahku. Si bocah masih terlihat uring-uringan di bawah lantai.
Gerakan pembunuh itu berhenti saat mendengar suaraku. Aku mengawasi gerakannya, kenapa? Tangannya bahkan tampak gemetar sedikit. Apa dia mengenalku?
Mengambil kesempatan yang ada, aku melompat sambil melayangkan tendangan berputar padanya. Pembunuh itu terkesiap kaget. Ia menangkis dengan lengan untuk melindungi daerah vital.
Aku berhasil membuat beberapa langkahnya mundur
Mereka memindahkanku hari itu juga seolah tak ada hari lain keesokan harinya. Setelah merasa baikan dan keluar dari rumah sakit. Owen Riley, si anak remaja tampan bermata biru cemerlang membawaku kembali memasuki rumah megah Keluarga Riley."Ini kamarmu, El!" Ia sangat bersemangat menemaniku ke dalam kamar.Aku menaruh koper ke lantai, melihat ruangan besar berisi tempat tidur berwarna putih, karpet, dan sofa yang juga senada. Ini lebih menyerupai kamar hotel daripada kamar tamu.Great. Setidaknya jauh lebih baik dari kamarku sebelumnya."Jika kau lapar malam-malam, ada beberapa camilan di sini." Owen membuka pintu di dinding yang ternyata adalah kulkas. Mataku mendelik kaget, ternyata lemari pakaian pun senada dengan warna dinding, membuat ruangan tampak rapi dan luas. Luar biasa. Dia bilang ini sedikit? Isi kulkas penuh dari atas sampai ke rak bawah berisi aneka makanan. Kebanyakan merupakan minuman karbonasi, makanan ringan, juga cokelat batang berbaga
Owen melakukan apa yang dia katakan waktu itu. Untuk hari-hari selanjutnya, anak ingusan ini kembali menjadi si introvert. Dia memilih mengabaikanku sepanjang waktu. Bahkan untuk memandang mataku saja, bocah ini enggan melakukannya.Kurasa aku memang telah melukai harga dirinya sebagai pria. Ok, sebagian dari diriku merasa bersalah. Tak seharusnya Owen mendapat perlakuan kasar dariku. Anak ingusan itu tak tahu apa pun tentang masa laluku.Sudah seharusnya sebagai manusia ber-attitude, aku wajib meminta maaf padanya. Setelah dua hari bertarung dengan perasaan sendiri, aku akhirnya menemui Owen secara pribadi ke kamarnya.Ok, aku lebih suka berbicara di ruang terbuka untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan seperti kejadian kemarin. Namun sejak kejadian itu, Owen memilih mendekam di kamarnya layaknya tahanan rumah.Aku mengetuk dua kali sebelum memanggil si anak ingusan. "Owen."Hening, tapi samar-samar terdengar suara gasrak-gusru
"Owen, jangan jatuh cinta padaku. Hatiku hanya miliknya seorang. Dia mati hari itu, membawa pergi separuh jiwaku.""Aku tidak hanya menyukai wajahmu, El. Tapi kau, apa adanya dirimu. Jangan melarangku, El. Kita tidak bisa memutuskan akan jatuh hati pada siapa, aku juga tidak tahu mengapa bisa menyukaimu." Suara Owen terdengar putus asa.Sama sepertiku, jika bisa, aku juga ingin jatuh cinta lagi tanpa merasa mengkhianati Axel. Jika bisa, aku tidak ingin memulai siklus derita ini dengan jatuh cinta kepada pembunuh tampan itu, jika bisa, aku ingin melanjutkan hidup bahagia dan tinggal di pedesaan.Semua hanya jika. Karena aku tidak bisa. Aku tidak bisa melupakannya. Dan sekarang, apa hakku melarang Owen melakukan hal yang sama."Maaf," ujarku tulus. "Maaf, kau harus menyukai orang sepertiku. Aku tak layak untukmu Owen."Owen mendengkus kasar. "Jangan meminta maaf, kau membuatku terlihat menyedihkan karena menyukaimu. Dan El, apa pun masa lalumu,
Sial, sial, sial, aku memaki dalam hati. Tanpa sadar bergerak cepat menutupi Owen dengan tubuhku dari pandangan pria besar itu.Lewi telah mengunci sasarannya. Entah bagaimana mereka bisa sampai ke mari secepat ini, informasi dari mana? Ah, aku lupa ... jika jaringan pembunuh di Rumah Kayu bukan orang-orang biasa. Mereka pasti telah menemukan ahli lacak lain setelah Yuki tiada.Dia berjalan cepat menuju ke arah kami. Tak seorang bodyguard pun bereaksi karena tak mengenal wajah si pembunuh. Lewi bersikap normal layaknya pengunjung lain. Sebentar-sebentar pura-pura melihat jajanan di pinggir jalan, tapi langkahnya menuju pasti ke arah kami.Aku menekan telinga, earpiece telah terpasang untuk menghubungi Alpha tim B."Eve, dia datang. Arah jam sembilan. Pria berjanggut dan kacamata hitam," ujarku cepat."Kau yakin, bagaimana kau bisa mengenali mereka?" tanya Eve."Seratus persen, aku punya riwayat bertemu dengan salah satu dari mereka, te
Tangan si pembunuh terulur seakan hendak menyentuhku. Namun jemari panjang itu tak pernah sampai, seseorang menariknya dari balik kain tenda."No ... no ... no, jangan pergi!" teriakku parau, rasa sakit semakin tak tertahankan, bukan hanya di tubuhku, tapi di sini ... hatiku sakit. Sangat, sampai rasanya aku ingin mati saja. Mengapa, mengapa? Pertanyaan itu kembali menghantamku dan ketidakberdayaan mengungkungku di tempat aku berdiri.Axel, apa itu kau? Kau hidup lagi?Pikiran terakhir itu bernaung dalam benak yang mulai kacau balau. Suara berisik di sekitar seketika menjadi senyap. Owen masih menangis sambil mengguncang lenganku. Berusaha menahan tubuhku agar tak lari mengejar si pembunuh.Lalu ... semua tiba-tiba menjadi gelap. Tubuhku jatuh dan menimpa Owen, rasa sakit seketika menghilang.***Tahu pasti aku akan jatuh jika tetap melangkah maju.
"Jadi kau tinggal di sana, kau masih ingat lokasinya sekarang?" tanya George setelah kalimat terakhir keluar dari bibirku.Hanya si tua yang masih tetap seperti biasa, sementara para anggota lain terlihat murung. Well, meskipun tak kuterangkan secara detail apa yang terjadi dalam hidupku, lewat misi penerimaan dan sifat para anggota Rumah Kayu, mereka sudah bisa membayangkan bagaimana sulitnya hidup di tengah psikopat itu. Antara kau berhasil menjadi salah satu dari mereka ... atau menjadi gila.Setiap kali aku menyebutkan nama Axel, Owen bergerak canggung, matanya tak lepas dari wajahku. Entah apa yang dipikirkan anak ingusan ini di dalam benaknya."Sayangnya tidak, lokasinya di dalam hutan, tapi aku tak ingat di mana tempat itu berada. Setelah tinggal di dalam Rumah Kayu, aku tak pernah keluar lagi kecuali untuk misi pertama," jawabku."Aku akan menghubungi kakakku untuk mendapat perlindungan le
Entah apa yang berlabuh dalam pikiranku saat itu, mengundang apa yang seharusnya tak boleh dilakukan. Aku bodyguard-nya, pelindungnya, bukan kekasih Owen.Kemarahan membuncah menguras semua logika keluar dari otakku. Dia hidup, dia mempermainkan hidupku, dan mengapa aku masih hidup sampai detik ini? Apa karena Axel menyelamatkanku, menyuruhku pergi sejauh mungkin, atau karena dia sudah bosan padaku?Kalimatnya kembali bergaung, cerita tak masuk akalnya tentang ikan petarung yang bahkan membunuh kekasihnya sendiri. Hidup dalam kesendirian abadi. Apa dia merepresentasikan sosoknya saat itu? Dia ... tidak menginginkanku lagi.Aku membenamkan wajah ke dalam bantal, merasa sesak ini membantuku menghentikan pikiran buruk. Pedih, sakit. Seperti sesuatu menyalakan api di dalam dada. Terus berkobar menjilati semua organ tubuh, membakarku hidup-hidup.Sementara aku terbenam dalam tangis. Suara ketukan di pi
"Tidak apa-apa jika kau tidak mau." Aku menarik selimut menutupi tubuh setelah Owen selesai membelitkan perban baru, dan menggeser ke arah lain agar tidak berbaring di atas bekas darah. Kupikir, siapa yang suka berhubungan dengan gadis kaku sepertiku, bahkan di dalam sex, aku layaknya benda mati."Bukan itu. Aku sangat senang bisa menjadi pengalih rasa sakitmu, tapi El ...." Owen menyentuh noda merah di seprai. "Aku ingin kau juga menikmatinya. Aku ingin kau menerimaku.""Bukankah aku sudah menerima tubuhmu di dalamku." Kalimat vulgar itu membuat wajah Owen kembali memerah."Bukan itu, aku ingin hatimu.""Owen ...." Aku menatap mata biru itu sembari menghela napas lelah, "Eli ... sudah mati lima tahun yang lalu, kau tidak bisa memiliki hatinya lagi."Owen menekuk wajah, mengeraskan rahang lalu mengembuskan napas kalah. Ia bangkit, memberi kecupan ringan di keningku. "Aku akan menyuruh pela