SISA HARINYA DI kantor tak begitu berjalan mulus. Masalah yang seolah tak memiliki jalan keluar benar-benar menyulitkan Airi untuk berkonsentrasi. Sejak menyelesaikan rapat, dia sudah berusaha fokus menggarap pekerjaan kantornya. Akan tetapi, tiap kali mencoba beristirahat, pikirannya akan kembali pada masalah yang menjerat.
Ketika menjelang sore, Airi memutuskan untuk beranjak. Dia membuat kopi untuk dirinya sendiri, bergabung dengan beberapa karyawan yang juga tengah beristirahat. Mereka sempat menyapanya sebelum kembali berkutat dengan aktivitas masing-masing. Setelah bekerja bersama selama dua bulan, anak buah Airi sudah tak lagi segan ataupun kaku padanya. Mereka seolah sudah nyaman menjadi kolega. Kenyamanan itu terbukti dari kebebasan mereka untuk tetap lanjut mengobrol meski Airi berada di ruangan yang sama.
Airi tak berniat untuk ikut mendengarkan obrolan mereka. Dia masih sibuk memilih serbuk kopi yang akan diseduh. Namun, pembicaraan tentang keluarga Haseg
“KAU TIDAK AKAN pernah lebih baik dariku, Kei Hasegawa. Tanganmu sama kotornya denganku. Aku sudah dengar banyak tentang kau yang sebenarnya. Nogawa mengatakan semuanya padaku, tentang kau yang hampir membunuhnya. Membunuh bukanlah hal yang sulit buatmu, ‘kan? Kau sama sepertiku—pembunuh, orang yang tidak berhak mendapatkan kebahagiaan dan akan terus terjebak dalam kesendirian, ditolak dan tidak diterima. Camkan itu sebelum kau menyumpahi pamanmu sendiri, Nak.” Citra berubah menjadi merah darah, diikuti oleh jerit kesakitan. Kaki ingin berlari, tetapi dihalangi berat yang tak terlihat. Kei merasakan hantaman di perut, dia yang terjatuh. Udara seolah ditarik paksa dari paru-paru. Napas tersekat, berat, dan sesak. Telapak tangan mengepal, erat. Ketika membuka mata, warna putih terang memenuhi penglihatan. Kei mengerjap, mulai menyesuaikan cahaya yang seolah menusuk mata. Dia menoleh ke sekeliling, mengamati ruang tengah sebuah apartemen; merasakan lembut sofa
RUMOR MIRING YANG tersebar tidak luput dari pengetahuan Kei. Menjadi anggota keluarga berada membiasakannya untuk menghadapi kondisi semacam ini. Dia hanya sedikit tidak menyangka bahwa rumor yang beredar akan sangat besar. Para karyawan semakin berani mencuri pandang. Mereka juga sempat berbisik-bisik, bertanya tentang berita burung yang menyebar. Semua tatapan dan bisikan itu lenyap setelah Kei memandang mereka secara langsung. Kurata, sang asisten pribadi, seolah ikut terdampak rumor. Kei tahu, banyak orang yang mencoba mengonfirmasi gosip melaluinya. Entah itu karyawan Izanagi, kenalan jurnalis, atau rekan kerja dari perusahaan lain. Ketika Kei memanggilnya masuk, dia kelihatan lelah. Kurata kelihatan ingin bertanya, tapi tak punya keberanian yang cukup untuk mengutarakan pertanyaan. Dia hanya menyerahkan kunci mobil yang diminta sang atasan. Kepalanya menoleh dengan kilat ketika Kei kembali memanggilnya. “Ya, Hasegawa-san?” Kei tengah mengenakan
AIRI SEDANG INGIN sendiri. Dia merasa perlu menata pikirannya, mencoba menghilangkan perih yang masih menghantui. Bertemu Kei dengan tidak sengaja jelas-jelas bukan bagian dari rencana. Matahari mulai tenggelam di ufuk barat. Pandangan mata mulai menggelap. Orang-orang mungkin akan terheran pada kacamata hitam yang masih bertengger bangga di hidungnya. Akan tetapi, Airi memilih risiko ini. Dia sedang malas memoles wajah demi menghilangkan bengkak di matanya. Menyembunyikan bukti tangis dengan kacamata hitam dirasa jauh lebih simpel. Kaki masih mengayun stabil, berbeda dengan hela napas yang mulai berantakan. Sejak kembali ke Tokyo, dia sama sekali belum kembali mencoba untuk berolahraga. Penurunan staminanya teramat kentara. Tungkai dan paha mulai terasa berat, menolak untuk digerakkan. Padahal, dia baru berlari beberapa putaran. Ayunan kaki yang melambat sudah tentu diprediksinya. Airi menarik dan mengembuskan napas dalam, mencoba menstabilkan detak jantung. Tak per
SELEPAS PULANG DARI kantor, Airi segera bersiap-siap untuk pergi ke Fukui, sesuai dengan rencana yang kemarin disepakati. Pagi tadi, Kazuki sudah mulai berangkat sekolah. Dia meminta izin untuk menghadiri training camp yang diadakan oleh klub voli. Aktivitas Kazuki mempermudah Airi untuk meninggalkan apartemen. Dia jadi tak perlu menyuruhnya menginap di rumah Ethan.Kepergiannya ke Fukui hanya diketahui oleh Kazuki. Dia tak berniat memberi tahu Ethan sebelum mengetahui kejelasan mengenai keluarga Ozuki ini. Belum ada penjelasan yang bisa Airi utarakan pada lelaki itu. Dia juga belum ingin kembali membahas tentang nasib hubungannya dengan Hiroki. Tutup mulut sesaat adalah pilihan terbaik yang sekarang dia punya.Airi menyisir rambut untuk terakhir kali. Dia memandang refleksi dirinya melalui cermin. Bengkak di matanya sudah mereda. Kali ini benar-benar hilang, disamarkan oleh riasan wajah sederhana. Mata mengerling pada jam dinding. Tepat sesuai dugaan, ponseln
KETIKA TERBANGUN DARI tidur, Airi mendapati ranjang di sebelahnya yang kosong. Tempat tersebut tampak rapi, tak tersentuh, seolah Kei memang tidak tidur di sana. Pandangan Airi seketika langsung mengedar. Dia menarik napas pelan saat melihat keberadaan sang pria di sebuah sofa alih-alih tempat tidur yang telah disediakan. Posisi sofa yang memunggungi tempat tidur sempat menyulitkan Airi untuk mengetahui keberadaan Kei.Sinar matahari di luar sana tampak bersinar terang, meski jam dinding masih menunjukkan pukul lima. Airi menjauh dari jendela. Dia bergegas mencuci wajahnya dan hendak mengambil jubah mandi yang terlipat rapi di atas nakas. Musim panas memang akan selalu mendorong orang-orang untuk mandi pagi. Airi tak terkecuali. Urusan pakaian ganti akan dia pikirkan nanti.Langkah kakinya terhenti ketika mendengar berat suara sang pria.“Kau tak membangunkanku?” Kei berkata dengan nada serak khas bangun tidur.Airi menoleh, melihatnya mengali
AIRI DAN KEI membungkuk sopan pada Sara. Mereka berdua sudah hendak pergi setelah jam istirahat Sara selesai. Tawaran untuk tinggal lebih lama ditolak dengan sopan oleh mereka.“Jangan sungkan untuk kembali menghubungiku, Airi,” ungkap Sara ketika mengantarkan mereka hingga ke tanah lapang. “Aku ingin bertemu Kazuki-kun,” tambahnya.Airi mengulas senyuman.“Tentu saja, Ozuki-san. Saya akan menghubungi Anda lagi dan berkunjung ke sini bersama Kazuki dan Shizune.”Sara berdecak pelan. Dia mengibaskan tangan.“Tak perlu lagi bicara formal padaku, Nak. Aku ini bibimu,” komentarnya. “Jaringan yang dimiliki keluarga kita juga cukup luas. Kau bebas meminta bantuanku kalau memang memerlukannya.”Mendapatkan tawaran mendadak semacam itu masih terasa aneh untuk Airi. Dia bahkan belum selesai mencerna semua informasi baru yang barusan didapatnya. Pernyataan Sara hanya dijawab dengan tawa segan
TRIP DUA HARI di Fukui memang cukup memberinya jeda dari urusan pekerjaan. Airi sempat merenggangkan badan melalui voli dadakan itu. Ia juga masih punya sisa satu hari setelah pulang dari sana. Hari Minggunya ia habiskan di apartemen saja, melakukan pekerjaan rumah dan meluangkan waktu untuk dirinya sendiri, memberi ruang untuk sedikit bernapas. Airi tahu, momen bersantainya telah habis begitu hari Senin datang.Rutinitas pagi berlangsung seperti biasa. Saat itu, Airi sempat mendapatkan kabar dari Kazuki yang akan pulang sore nanti. Airi mengatakan kalau ia akan pulang sedikit terlambat dari biasa. Kazuki diminta untuk memesan makan malam sendiri, tak perlu menunggunya. Alasan keterlambatan Airi memang dapat dimaklumi. Hari ini, ia takkan menghabiskan waktunya di kantor seperti biasa. Proyek kerja sama Hiraishin Picture dan Izanami Studio sudah mulai berjalan. Ia mempunyai rapat penting di sana.“Jangan lupa ingatkan Okumura-san untuk ikut dengan kita,” uja
KETIKA AIRI MEMBOLEHKANNYA berkunjung, Kei sempat menatap dengan tidak percaya. Dia ingin memastikan kalau perempuan ini bukan sekadar bercanda.“Parkirannya ada di sana,” kata Airi saat itu, tak begitu memperhatikan sorot mata Kei.Alih-alih menurunkan Airi di tepi jalan, Kei mengarahkan mobil menuju lahan parkir. Airi segera melepas sabuk pengaman dan bergagas turun begitu mobil dihentikan. Mereka berjalan beriringan, menariki lift hingga sampai di lantai yang dituju. Saat hendak memasukan kode sandi apartemen, Airi menoleh.“Jangan lihat,” katanya, sangat blak-blakan.Kei menaikkan sebelah alis.“Apakah kau lupa? Aku bisa meretas sistem keamanan di gedung ini dengan mudah.”Airi menahan diri untuk tak memutar bola matanya.“Tolong, jangan lakukan itu.” Dia mengulang pernyataan tadi. “Jangan lihat. Tolehkan kepalamu.”Kei hampir mendengkuskan tawa. Walau begitu, dia