KETIKA AIRI MEMBOLEHKANNYA berkunjung, Kei sempat menatap dengan tidak percaya. Dia ingin memastikan kalau perempuan ini bukan sekadar bercanda.
“Parkirannya ada di sana,” kata Airi saat itu, tak begitu memperhatikan sorot mata Kei.
Alih-alih menurunkan Airi di tepi jalan, Kei mengarahkan mobil menuju lahan parkir. Airi segera melepas sabuk pengaman dan bergagas turun begitu mobil dihentikan. Mereka berjalan beriringan, menariki lift hingga sampai di lantai yang dituju. Saat hendak memasukan kode sandi apartemen, Airi menoleh.
“Jangan lihat,” katanya, sangat blak-blakan.
Kei menaikkan sebelah alis.
“Apakah kau lupa? Aku bisa meretas sistem keamanan di gedung ini dengan mudah.”
Airi menahan diri untuk tak memutar bola matanya.
“Tolong, jangan lakukan itu.” Dia mengulang pernyataan tadi. “Jangan lihat. Tolehkan kepalamu.”
Kei hampir mendengkuskan tawa. Walau begitu, dia
TATAPAN YANG DITUJUKAN pada Airi sama sekali tak ditutup-tutupi. Kei baru menoleh ketika hendak menyantap makan malam. Pada momen sunyi itu, Airi memutuskan untuk membuka mulut. “Apakah Jia Huang akan baik-baik saja?” Pertanyaan tersebut sama sekali tidak disangka oleh Kei. Dia mengerutkan kening samar, menoleh pada Airi. “Kau mengkhawatirkannya?” Ada nada heran dalam pertanyaan Kei. “Dia sudah mengolokmu dengan kurang ajar.” Airi masih mematrikan pandangan pada makanan, mengaduknya tanpa minat. “Olokan itu tidak relevan, aku tak tersinggung.” “Sedikit pun?” “Sedikit pun,” tutur Airi. “Aku bukan orang yang dia kira, aku tak perlu marah pada ejekan tak berdasar seperti itu.” Kali ini, barulah Airi membalas tatapan Kei. “Dan ya, aku mengkhawatirkannya. Hanya dengan melihat dan mendengar ucapan perempuan itu, aku tahu, dia terobsesi padamu.” Tak ada emosi yang berarti pada air muka Airi. “Kau tahu dia menyukaimu. Kau meman
OBROLANNYA DENGAN FELIX berlangsung singkat. Ketika Kei mendatangi Estella, Felix bersikeras untuk langsung memberitahukan perkembangan kasus. Dia kelihatan enggan meninggalkan bir yang baru disajikan oleh Nora. “Takahiro sudah melakukan rapat darurat siang tadi. Tereksposnya data Seizu benar-benar memudahkannya mendesak anggota dewan lain agar setuju mengadakan rapat,” terang Felix, terdengar tak begitu antusias dalam menjelaskan. “Mh-hm, apa lagi, ya?” gumamnya selagi memutar gelas. “Dia sangat menjengkelkan, tidak mau bicara padaku dan terus-terusan ingin bicara padamu.” Kei menatap Felix dengan datar. “Berapa uang muka tambahan yang kau mau?” Felix segera menoleh, menatap lawan bicaranya. Dia menyeringai, kemudian menyebutkan nilai yang benar-benar diinginkan. “Bengkel besar itu masih ada di bawah namamu?” tanya Kei. Konfirmasi Felix membuatnya melanjutkan, “Akan kukirim ke sana. Transaksinya akan berdasarkan servis kendaraan.” Pri
RAMBUT MASIH SETENGAH basah oleh air dingin. Airi baru memutuskan mandi setelah menyelesaikan tumpukan pekerjaan kantor. Dia baru selesai berpakaian dan sedang mengeringkan rambut menggunakan hair dryer ketika ponselnya bergetar. Dengan sebelah tangan yang masih memegang gagang pengering rambut, Airi mengambil ponselnya, melihat nama kontak yang tak lain adalah Kei.Pria itu ternyata ingat untuk benar-benar meneleponnya. Airi hanya menatap layar ponsel selama sesaat, masih bimbang menerima panggilan. Tepat sebelum getaran ponsel berhenti, dia menekan ikon hijau.Pengering rambut masih menyala, nyaring suaranya menyaingi apa pun yang terdengar dari ponsel. Airi tidak peduli. Dia meletakkan ponsel di atas meja rias selagi menyelesaikan kegiatan awalnya. Ruang kamarnya baru senyap beberapa saat kemudian. Airi menyisir rambut dan mengikatnya ketika hendak menggunakan pembersih wajah.Ada suara Kei yang akhirnya terdengar.“Kau benar-benar tidak
SUDAH LEBIH DARI dua minggu sejak insiden penculikan. Cedera kaki Kazuki sudah mulai membaik. Walaupun begitu, Kazuki tak bisa menyangkal, linu itu terkadang masih sering mendera. Apalagi kalau dia bermain voli terlalu lama. Meloncat berkali-kali memaksa kakinya menahan beban yang tidak sedikit. Kazuki sudah sering mengantisipasi dengan melakukan pemanasan yang lebih lama. Akan tetapi, persiapan itu masih belum membuatnya puas.Bola menggelinding jatuh setelah dihantam dengan tenaga yang cukup kuat. Tepukan sang pelatih menandai selesainya latihan rutin sore ini. Kazuki, yang baru saja mencetak skor terakhir, mengernyit pelan saat sendi kakinya kembali berulah. Dia perlu sedikit melentukkan kaki untuk menghilangkan rasa tidak nyaman itu.“Sinkronisasi gerakan kalian sudah bagus. Pola serangan Ishihara sebagai spiker dan Chikara sebagai setter juga sudah meningkat. Kita hanya perlu melatih pertahanan yang masih kurang,” tutur sang pelatih p
SELAMA SEMINGGU INI, Airi benar-benar merasa kalau Kei memang memanfaatkan waktu dengan baik untuk mengunjunginya. Dia memang tidak mampir setiap hari. Kesibukan kerja membatasi waktunya untuk melakukan aktivitas lain. Walaupun begitu, dia tetap sempat mampir. Entah itu untuk mengantar Kazuki dari sekolah, atau memang sekadar mampir dan menggunakan apartemen Airi sebagai tempat singgah di sela agenda hariannya.Airi masih ingat, seminggu lalu Kazuki mengaku diantarkan oleh sang ayah, meski sosok yang mengantar tak bisa mampir.“Dia hanya titip salam untuk ibu. Katanya, jam delapan nanti dia ada urusan, sekalian hendak mengantarkan Ryosuke ke rumahnya,” ungkap Kazuki saat itu.Melalui pernyataan tersebut, Airi pun tahu tentang Ryosuke yang ditampung oleh Kei. Dia mendengar masalah keluarga Hasegawa itu dari sudut pandang Kazuki. Anak ini memang tak begitu mengerti pada rincian masalah keluarga Hasegawa. Akan tetapi, dia cukup memahami s
PREDIKSI AIRI MENGENAI Shizune yang datang lebih awal memang benar. Dia berinisiatif untuk membantu Airi menyiapkan makan malam. Mereka melakukannya selagi membicarakan keluarga mereka. Shizune mengaku tidak terkejut pada pengetahuan Airi. Katanya, sang bunda sudah menghubungi, memberitahukan kedatangan Airi ke Fukui. “Aku juga sudah berniat memberi tahumu kalau kau bertanya,” ujar Shizune. “Kukira, kau bakal mencurigai sesuatu. Tapi, kelihatannya kau sudah tak sepenasaran itu. Jadi, aku diam saja.” Shizune menahan tawa geli. Airi sedikit kesal pada pengakuan Shizune. Dia hanya mengomel sebentar sebelum lanjut menyiapkan makan malam mereka. Ethan datang lebih awal dari yang diperkirakan. Dia sempat menyapa Shizune sebelum menghilang ke dalam kamar mandi, kentara sekali baru selesai berolahraga dan tak sempat membersihkan diri. Selang beberapa saat, Kazuki datang. Dia sudah tahu pada rencana makan malam. Untuk suatu alasan, wajahnya kelihatan antusias. “Apakah
KETIKA KEMBALI KE dalam apartemen, Shizune sudah pergi. Kazuki juga sudah kembali ke dalam kamar. Kei sendiri terus berjalan untuk mencari keberadaan seseorang. Dia mendengar Airi memanggil Ethan begitu sampai di ruang makan. Perempuan itu sepertinya menginginkan penjelasan. Ethan tampak tidak menjawabnya. Prediksi Kei terbukti benar setelah dia melihat raut masam Airi. Perempuan itu kelihatan kesal. Dia bersungut-sungut selagi menggumamkan Ethan yang bertindak bodoh. Ekspresinya langsung berubah setelah mendapati kehadiran Kei. Mata mengerjap. Airi langsung melangkah mendekat. Dia menatap lurus bekas luka yang hadir di tepi bibir sang pria. “Kau membiarkannya memukulmu?” tanya Airi, terdengar tidak percaya. Kei menarik senyum separuh. “Dia mewakili keinginanmu, ‘kan?” Airi memandangnya dengan mata menyipit. “Ikut aku,” tuturnya, singkat. Tanpa memperhatikan Kei, Airi sudah beranjak menuju kamar. Kei menaikkan sebelah alis sebe
AIRI MUNGKIN TERLALU percaya pada Kei yang seolah dapat menahan hasratnya. Dia melupakan kesabaran sang pria yang kian menipis. Malam telah cukup larut ketika Airi selesai membereskan sisa makan malam. Perabotan kotor telah dicuci, dia juga telah berganti pakaian dan menghapus sisa riasan wajah. Beberapa saat lalu, Kei sempat menemui Kazuki lagi. Dia menghabiskan cukup banyak waktu dengan anak itu, mengobrolkan berbagai hal yang mungkin takkan dimengerti Airi. Airi menanyainya begitu dia kembali ke dalam kamar. “Kau tidak bicara macam-macam, ‘kan?” tutur Airi, mencoba memastikan. Dia sedang berdiri di depan cermin tinggi, menyisir rambut dengan perlahan. Kei mengamatinya, memperhatikan piyama satin yang dikenakan Airi. Jenjang kaki sang wanita tampak jelas dalam pandangan. Pahanya terekspos bebas, begitu pula pundak telanjangnya. Dia melangkah mendekat, menghampiri Airi dengan langkah lambat. “Apakah kau takut aku akan mencoba menghasutnya?” A