Andri melajukan mobilnya dengan sedikit kencang. Ia takut akan terlambat saat tiba di kampus, mengingat jarak tempuh dari rumah ke kampus lumayan lama, sekitar tiga puluh menit, itu pun kalau tidak terjadi kemacetan yang terlalu panjang. Ah, kapan Jakarta akan bebas dari macet?
Sial!
Baru saja Andri berharap agar ia tak terjebak kemacetan, tapi sia-sia, karena di depannya puluhan mobil sudah terhenti. Gadis itu menghela napas, ia mengambil ponsel dan menyambungkan earphone, sejenak kebosanan sedikit terhalau karena alunan musik memenuhi ruang telinganya.
Dancing slowly in a empty room
Can the lonely take the place of you?
I sing myself a quiet lullaby
Lets you go and let the lonely in
To take my heart again
The Lonely milik Christina Perri terus mengalun mendayu di telinga Andri. Ia ikut menyanyikan lagu yang seolah sedang mengatakan tentang dirinya sendiri. Perasaan kosong seringkali menghiasi hatinya. Padahal di luar sana, banyak lelaki yang memuja dan menyatakan cinta padanya, seperti Alex misalnya. Namun, mereka semua tidak benar-benar mencintai menurut Andri. Gadis itu hanya ingin memberikan hatinya untuk lelaki yang dengan tulus bisa menerimanya. Bukan menyia-nyiakannya.
Sejak perasaan cintanya untuk Araska tak terbalas, Andri mengerti satu hal bahwa kebanyakan lelaki akan melihat fisiknya. Fisik yang sempurna tanpa cela agar bisa diterima menjadi seseorang yang istimewa. Sebab itu, Andri tak pernah bisa menjalin hubungan dengan lelaki yang hanya memandang fisiknya saja, karena ia terlalu benci prinsip itu. Ia benci orang-orang yang hanya mengagumi orang lain karena fisiknya, ia benci orang-orang yang memuja karena hartanya. Ia benci semua hal yang pernah orang lain lakukan untuknya dulu.
Lampu jalanan berubah menjadi hijau. Satu persatu mobil merangkak melanjutkan perjalanannya, entah kerja atau kuliah seperti dirinya. Yang pasti, Jakarta selalu ramai dan bising.
Suara klakson dari belakang mobil Andri terdengar memekakkan telinga. Bunyi yang dibuat oleh orang-orang tak sabar, padahal mereka pasti bisa melihat bagaimana padatnya jalanan. Memangnya siapa yang ingin berlama-lama karena macet?
Andri kembali melanjutkan perjalanannya, sesekali ia melirik jam mungil di tangannya. Masih tersisa dua puluh menit lagi dari waktu masuk mata kuliah pertamanya. Sedangkan untuk sampai ke sana, Andri masih harus menempuh sepuluh menit lagi.
Namun, tetap saja gadis itu merasa terburu-buru. Karena dulu, ia pernah terlambat ke sekolah, dan saat itu banyak yang menertawakannya karena harus mengikuti upacara di belakang barisan seorang diri.
Ah, bahkan masih ia ingat, saat hari pertama masuk SMP, gadis dekil yang amat dibenci temannya itu tak mendapat kesempatan untuk naik bus, karena penuh. Padahal Uta yang datang setelahnya, bisa duduk manis di kursi paling belakang. Saat itu gadis dekil yang berpenampilan tak menarik, ditinggal pergi hanya karena penampilan dan wajahnya yang tak enak dipandang. Andri baru memahami bahwa itu bentuk deskriminasi sosial yang pernah ia alami, dan itu menyakitkan.
Bahkan hingga sampai saat ini, kejadian itu masih meninggalkan trauma. Padahal sekarang ia punya mobil, ia punya wajah menarik, punya banyak uang, tapi tetap saja kenangan itu kembali melukai.
Andri tiba di kampus. Ia membuka kaca mobil, menghirup udara segar saat memasuki jalanan kampus. Udara penyambutan menurutnya. Karena dulu, gadis itu bahkan tak pernah terbayang untuk bisa menginjakkan kaki di sana. Bahkan ia tak yakin untuk melanjutkan SMA. Bagaimana bisa melanjutkan sekolah, jika saat itu ia pernah putus asa dan kehilangan dirinya sendiri.
Universitas Indonesia, mereka menjulukinya dengan Jakun atau jaket kuning, karena jas almamater mereka berwarna kuning.
“Ma, Andri janji bakalan jadi kebanggaan, Mama.” Sebelum pergi kuliah, Andri mengecup pipi Naya, dan berkata seperti itu. Tidak hanya hari ini, tapi selalu ... Andri selalu mengatakan seperti itu. Karena, gadis itu seolah sedang mengucapkan kata terima kasih pada perempuan yang telah memberi segalanya.
Andri memarkirkan mobil di tempat parkiran khusus mobil di kampus.
Gadis cantik itu sekarang kuliah di Universitas Indonesia, salah satu kampus terbaik di Indonesia. Andri mengambil jurusan Manajemen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Naya yang menyuruhnya mengambil jurusan itu, karena hanya Andri yang ia punya, dan berharap nanti bisa menggantikannya di perusahaan yang selama ini dibangunnya dengan susah payah.
Andri setuju saja. Apa pun akan ia lakukan untuk Naya. Gadis itu sedari SMA mulai mengikuti les Bahasa Inggris, karena di Universitas Indonesia kebanyakan perkuliahan menggunakan Bahasa Inggris, juga buku, jurnal, bahan belajar, kebanyakan menggunakan bahasa internasional. Apalagi jika nantinya sudah mulai berbisnis, kemungkinan akan bergabung dan berhubungan dengan para investor dari luar. Andri mulai menyukai bisnis, karena melihat Naya yang begitu lihai dalam bidang itu.
Perempuan yang dipanggil mama oleh Andri, punya usaha di bidang skincare. Perusahaannya semakin sukses, sebab itu Naya mewanti-wanti pada anak gadisnya untuk bisa membantunya di perusahaan. Sebenarnya Andri sering juga ikut membantu Naya dengan menjadi model untuk produk-produk skincare. Hal itu membuat Andri bahagia, karena bisa membantu Naya.
Andri turun dari mobil setelah memastikan mobilnya terparkir dengan rapi. Ia memindai pemandangan sekeliling. Suasana yang begitu sejuk di pandang mata. Saat memasuki gerbang UI, ia disuguhi pemandangan pepohonan yang tumbuh dengan rapi karena terawat. Gadis itu sejenak memandangi Kolam Makara yang ada di depannya, ia memuji kolam ikonik itu dalam hatinya. Bentuknya bulat menyerupai kolam biasa dengan tanaman di pinggirannya, tapi airnya tidak terlalu dalam, di tengahnya ada logo kampus UI yang membuat Kolam Makara begitu ikonik.
Andri berjalan dan memasuki selasar utama. Di sana tak terlalu ramai, mungkin karena mahasiswa sudah memasuki kelas awal mereka. Gadis itu sedikit tergesa-gesa karena ia harus segera masuk ke ruangan, meskipun berkali-kali ia melirik jam di tangan, dan masih tersisa lima menit lagi. Tetap saja, ia tak ingin kesan buruk di hari pertama. Ia mencabut earphone dari telinganya, dan memasukkan ponsel ke tas selempang yang ia pakai.
Bruk!
Entah bagaimana Andri tak memperhatikan jalannya saking tergesa-gesa. Ia menabrak tubuh seorang lelaki yang berjalan di depannya, hingga membuat ponselnya terjatuh. Gadis itu tak melihat bahwa ada yang berjalan di depannya. Tubuh yang begitu kekar, hingga membuat tubuh ramping Andri sedikit oleng, dan terjatuh.
Ck!
Gadis itu mencebik kesal. Entah kesal pada siapa, kesal pada diri sendiri yang ceroboh atau pada lelaki yang kini berdiri menghadapnya tapi tak menolong. Bahkan Andri berharap akan terjadi adegan-adegan seperti di drama. Rupanya tidak! Gadis itu terlalu tinggi bermimpi.
“Kamu yang nabrak duluan. Emangnya gak liat ya ada orang jalan?” Lelaki itu berjongkok, sementara Andri masih memungut ponsel dan earphone miliknya.
Andri memasukkan barang-barangnya ke dalam tas. Lalu menatap lelaki di depannya dengan mata yang terbuka lebar.
Sejenak, dua mata itu tak berkedip. Andri seolah dilempar pada orang yang setengah mati ia cintai dulu, dan sampai sekarang ia masih ingin membunuh rasa itu. Namun, bayangannya kadang datang meski Andri ingin tak peduli.
Araska Pratama. Andri sangat menghapal garis wajah itu. Lelaki di depannya tumbuh dengan baik, tubuhnya tegap dan wajahnya terlihat lebih tampan dari terakhir kali Andri bertemu.
Araska masih menatap. Ia juga seolah dipaksa mengingat seorang gadis yang telah mati. Gadis yang membuatnya menyesal karena pernah menyatakan sesuatu yang salah.
‘Silvi Andriani, kau kah ini?’ Araska membatin.
Araska mencoba menatap lekat wajah gadis di depannya. Garis wajahnya persis seperti gadis dekil di masa lalunya. Namun, logikanya menolak karena ia melihat sendiri korban bunuh diri yang dievakuasi oleh polisi.
Andri bangkit, dan meninggalkan Araska yang masih berjongkok di selasar.
Gadis itu memasuki gedung A untuk masuk ke ruang belajar, tapi saat ia duduk di salah satu bangku, ia melihat Araska juga masuk ke kelasnya. Araska menatapnya lagi, seperti tengah memastikan sesuatu dalam dirinya.
'Kanapa tak menyapa?' Batin Andri bertanya.
“Lu hampir telat, Ndri!” celutuk Rania, seorang teman Andri sejak SMA membuyarkan lamunan Andri.
“Iya, jalanan macet euy!” balas Andri.
“Makanya besok lebih awal.”
Andri hanya mengangguk pada teman cerewetnya, setidaknya ia bisa mengalihkan pandangan dari Araska. Karena, gadis itu sedikit salah tingkah menyadari Araska sedari tadi memperhatikannya. Sudah lama, jantung Andri tak berdegup begitu kencang.
‘Ndri?’ Araska kembali membatin.
*
Sepulang dari kampus, Araska tergesa-gesa membuka pintu kamar. Ia menghempaskan tas ranselnya di kasur. Lelaki itu ingin segera menuntaskan rasa penasarannya sedari tadi. Penasaran pada gadis yang dulu ia kenal begitu dekat, sering ia tolong, sampai-sampai gadis itu pernah tersesat pada kebaikannya.Ndri?Andri?Bagaimana bisa gadis itu berubah menjadi Andri. Pertanyaan itu kian menjadi-jadi di kepala Araska.Araska membuka laci nakas di samping tempat tidurnya. Ia mencari foto seorang gadis dekil korban bullying yang dilakukan teman sekelasnya. Foto yang pernah ia ambil di datfar nama siswa kelasnya, dulu saat ia masih SMP. Untung saja waktu itu wali kelas menyuruhnya untuk membuat sebuah map, yang berisi daftar nama siswa kelas mereka beserta fotonya. Saat gadis itu tak lagi datang ke sekolah, Araska mengambil foto itu. Awalnya hanya untuk kenangan, tapi saat ini ia merasa foto itu benar-benar berguna untuk menganalisa wajah Andri dengan gadis di masa lalunya.Ketemu. Araska menemu
Hari menjelang petang saat Andri keluar dari perpustakaan Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Gadis itu keluar karena perpustakaan karena akan segera ditutup, pun kampus mulai sepi karena para mahasiswa mulai pulang ke tempat masing-masing, entah kos atau rumah mereka.Mahasiswa di UI, banyak yang memilih kos-kosan terdekat, agar lebih bisa menghemat waktu perjalanan. Andri sendiri pernah ditawarkan tinggal di kosan oleh Naya, tapi gadis itu menolak, karena kasihan mamanya tinggal seorang diri di rumah.Andri berjalan ke arah parkiran, ingin mengambil mobil dan meluncur pulang. Baru saja ia membuka pintu mobil saat dering ponselnya berbunyi. Ia kembali menutup pintu mobil, memilih mengangkat telepon dari nama yang tertera di layar ponselnya, Alex.Andri mengeryitkan dahi, melihat nama itu. Gadis itu berpikir, apa Alex ingin mengajaknya kembali bertemu. Karena seingatnya, kemarin Alex masih tak berbicara dengannya.“Ndri, lu di mana? Tolongin gue dong!” Suara Alex terdengar panik di seberang
Andri masih terduduk di sudut sana, saat polisi datang dan mengamankan Alex. Seluruh tubuh gadis itu bergetar, bahkan wajahnya pucat karena ketakutan. Ia bahkan tak bisa sekadar menopang lututnya untuk berdiri. Mata gadis itu menatap kosong, dengan pipi yang basah karena air mata yang sedari tadi mengalir deras. Hampir saja ia kehilangan mahkota berharga yang paling ia jaga selama ini. Andri memang tak pernah dekat dengan lelaki. Masa lalu membuatnya takut jika mereka yang mengejarnya tak mampu menerimanya jika keadaannya tak seperti sekarang. Itu terbukti setiap kali ia membuktikannya sendiri dengan membuat mereka ilfil. Namun, kebanyakan mereka mundur perlahan karena sadar bahwa gadis itu mengerjainya. Tidak dengan Alex yang menyimpan rencana dan dendam besar."Kau aman sekarang." Araska berucap.Araska mendekat, berjongkok di depan gadis itu. Ia mencoba mendekatkan tubuhnya agar bisa memeluk gadis yang tubuhnya begitu dingin. Araska menenggelamkan kepala gadis itu di dada bidangny
Bab 6.Motor Araska menepi di depan sebuah restoran. Andri merapikan rambut panjangnya setelah beberapa saat diacak-acak oleh angin saat ia berboncengan di motor Araska.Mereka baru saja menyelesaikan mata kuliah terakhir untuk hari itu. Araska mengajak Andri untuk pulang bersama, karena tadi pagi lelaki itu juga menjemputnya. Entahlah, Araska merasa takut jika terjadi sesuatu yang buruk lagi pada gadis itu.Sejak kejadian hari itu, mereka sering berkomunikasi lewat telepon. Setidaknya baru hari ini, karena Araska meminta menjemput.Awalnya mereka tak banyak berbicara saat bertemu, pun di dalam kelas. Namun, mereka bersikap seperti teman lama yang sudah cukup mengenal satu sama lain, tapi gengsi menyapa satu sama lain. Satu sisi, karena Araska masih mempertanyakan apa yang terjadi pada hidup gadis itu hingga ia bisa berubah sedemikian rupa. Bagi Araska, gadis itu tetap sama. Satu sisi, ia kuat, tapi sisi lain, Andri terlalu lemah, hingga membuat Araska ingin melindunginya.Araska mem
Beberapa tahun yang lalu.Senin.Bagi sebagian orang, pembuka hari itu menjadi semangat baru untuk mereka yang bekerja atau anak-anak bersekolah, setelah kemarin menghabiskan waktu liburan bersama keluarga atau teman. Namun, tidak bagi Silvi, seorang gadis yang baru saja duduk di bangku kelas enam sekolah dasar.Gadis itu sama sekali tak menyukai hari Senin. Bahkan, ia terlalu membencinya. Karena baginya, hari itu lebih menyedihkan dari hari lainnya. Rasanya setiap hari memang sama saja, tak memberinya sedikit pun bahagia layaknya yang dirasa oleh anak-anak lain. Baginya, Senin lebih memberinya tekanan ketimbang kenyamanan atau kebahagian yang layak dinikmati.“Silvi mana?”“Ini tempat Silvi!”Sahut-sahutan beberapa teman sekelas Silvi menanyainya. Mereka sibuk melongok ke sana kemari, tapi tak menemukan sosok yang dipanggil.Lapangan masih belum penuh terisi oleh semua siswa. Sebagian siswa telah berbaris dengan rapi, pun kelas enam sudah menempati posisi di mana biasanya mereka berd
Pagi.Silvi bangun dengan perasaan bahagia, karena tak ada jemuran yang menjadi pekerjaan tambahannya hari ini. Semalam ia dan ibu tidur dengan nyaman di bawah cahaya bulan purnama yang menyesak melalui celah genteng yang sudah berlubang.Gadis itu bangkit dari kasur kapuk yang bau khasnya sedikit menguar, langkah kaki Silvi menuju kamar mandi yang terletak di belakang rumah. Kamar mandi khas pemukiman kumuh yang hanya tertutupi dengan plastik-plastik bekas. Namun, beruntungnya ada sumur yang airnya putih dan bersih.Usai mandi, Silvi kembali ke kamar. Kamar yang ditempati oleh dia dan ibu. Ada banyak barang-barang di sana, meja tempat Silvi menyusun buku-buku pelajaran dan buku tulis yang ia dapat dari tong sampah depan gang atau jalan, tempat penampungan sampah orang-orang kaya. Lumayan, halamannya masih sangat banyak atau bahkan hanya ditulis beberapa lembar saja. Silvi mengambilnya, mencoret nama mengganti dengan namanya. Gadis kurus itu bahagia karena satu beban ibu terbantu deng
Setiap sore, di lingkungan tempat tinggal Silvi selalu ada permainan yang dimainkan anak-anak. Mereka mengisi waktu luang, dan memenuhi keceriaan masa kanak-kanak.Anak-anak akan bermain sesuai musiman, kadang main catur, kadang lompat karet, atau main gambar kartu. Gadis-gadis kecil itu biasanya bermain di rumah Uta, rumah paling besar di sekitar itu. Selain besar, rumah Uta juga mempunyai taman dan rumput yang hijau, membuat anak-anak senang bermain di rumahnya. Namun, hanya anak-anak yang terpilih yang bisa bermain di rumahnya, seolah ada barcode pengaman dari pagar untuk masuk ke rumah. Barcode yang hanya menyeleksi anak-anak orang kaya.Untuk anak seperti Silvi, tentu saja tak menjadi pilihan. Sebab itu, gadis dekil itu hanya mengintip di balik tembok tinggi rumah Uta. Tak berani masuk dan tak ada yang menyuruhnya masuk, pun tahu diri bahwa dia akan diabaikan di sana.Kadang Silvi merasa bosan di rumah, tak ada yang bisa ia lakukan untuk sekadar mengisi waktu luang menunggu ibuny
Matahari mulai menampakkan sinarnya, pertanda semua orang akan kembali melakukan aktivitas masing-masing. Begitupun Silvi, ia seperti dipaksa mengulang aktivitas yang sama setiap harinya. Tak ada yang istimewa, yang ada hanya kebosanan yang mendera. Tanpa teman, hanya kesunyian.Sekolah Silvi terletak tak jauh dari gang rumahnya, setiap hari ia akan berjalan kaki menuju ke tempatnya mencari ilmu. Banyak juga anak-anak yang seperti dirinya, berjalan kaki. Hanya beberapa saja yang diantar orang tua, seperti Uta karena sekalian dengan sang ayah yang pergi bekerja.Silvi berjalan hati-hati, bukan tak kuat berjalan karena tak sarapan tadi pagi. Tapi karena menjaga sepatunya agar tak bertambah rusak di bagian depan. Ia menghindari batu dan kerikil agar sepatunya awet sampai ia lulus SD. Sampai di sekolah, Silvi berpapasan dengan Uta dan teman-temannya. Sepertinya mereka baru saja dari kantin, terlihat dari minuman dan makanan ringan yang mereka bawa.“Hai, Tiang Listrik!” Uta menyapa. Tapi