Share

2. Dipertemukan Takdir

Andri melajukan mobilnya dengan sedikit kencang. Ia takut akan terlambat saat tiba di kampus, mengingat jarak tempuh dari rumah ke kampus lumayan lama, sekitar tiga puluh menit, itu pun kalau tidak terjadi kemacetan yang terlalu panjang. Ah, kapan Jakarta akan bebas dari macet?

Sial!

Baru saja Andri berharap agar ia tak terjebak kemacetan, tapi sia-sia, karena di depannya puluhan mobil sudah terhenti. Gadis itu menghela napas, ia mengambil ponsel dan menyambungkan earphone, sejenak kebosanan sedikit terhalau karena alunan musik memenuhi ruang telinganya.

Dancing slowly in a empty room

Can the lonely take the place of you?

I sing myself a quiet lullaby

Lets you go and let the lonely in

To take my heart again

The Lonely milik Christina Perri terus mengalun mendayu di telinga Andri. Ia ikut menyanyikan lagu yang seolah sedang mengatakan tentang dirinya sendiri. Perasaan kosong seringkali menghiasi hatinya. Padahal di luar sana, banyak lelaki yang memuja dan menyatakan cinta padanya, seperti Alex misalnya. Namun, mereka semua tidak benar-benar mencintai menurut Andri. Gadis itu hanya ingin memberikan hatinya untuk lelaki yang dengan tulus bisa menerimanya. Bukan menyia-nyiakannya.

Sejak perasaan cintanya untuk Araska tak terbalas, Andri mengerti satu hal bahwa kebanyakan lelaki akan melihat fisiknya. Fisik yang sempurna tanpa cela agar bisa diterima menjadi seseorang yang istimewa. Sebab itu, Andri tak pernah bisa menjalin hubungan dengan lelaki yang hanya memandang fisiknya saja, karena ia terlalu benci prinsip itu. Ia benci orang-orang yang hanya mengagumi orang lain karena fisiknya, ia benci orang-orang yang memuja karena hartanya. Ia benci semua hal yang pernah orang lain lakukan untuknya dulu.

Lampu jalanan berubah menjadi hijau. Satu persatu mobil merangkak melanjutkan perjalanannya, entah kerja atau kuliah seperti dirinya. Yang pasti, Jakarta selalu ramai dan bising.

Suara klakson dari belakang mobil Andri terdengar memekakkan telinga. Bunyi yang dibuat oleh orang-orang tak sabar, padahal mereka pasti bisa melihat bagaimana padatnya jalanan. Memangnya siapa yang ingin berlama-lama karena macet?

Andri kembali melanjutkan perjalanannya, sesekali ia melirik jam mungil di tangannya. Masih tersisa dua puluh menit lagi dari waktu masuk mata kuliah pertamanya. Sedangkan untuk sampai ke sana, Andri masih harus menempuh sepuluh menit lagi.

Namun, tetap saja gadis itu merasa terburu-buru. Karena dulu, ia pernah terlambat ke sekolah, dan saat itu banyak yang menertawakannya karena harus mengikuti upacara di belakang barisan seorang diri.

Ah, bahkan masih ia ingat, saat hari pertama masuk SMP, gadis dekil yang amat dibenci temannya itu tak mendapat kesempatan untuk naik bus, karena penuh. Padahal Uta yang datang setelahnya, bisa duduk manis di kursi paling belakang. Saat itu gadis dekil yang berpenampilan tak menarik, ditinggal pergi hanya karena penampilan dan wajahnya yang tak enak dipandang. Andri baru memahami bahwa itu bentuk deskriminasi sosial yang pernah ia alami, dan itu menyakitkan.

Bahkan hingga sampai saat ini, kejadian itu masih meninggalkan trauma. Padahal sekarang ia punya mobil, ia punya wajah menarik, punya banyak uang, tapi tetap saja kenangan itu kembali melukai.

Andri tiba di kampus. Ia membuka kaca mobil, menghirup udara segar saat memasuki jalanan kampus. Udara penyambutan menurutnya. Karena dulu, gadis itu bahkan tak pernah terbayang untuk bisa menginjakkan kaki di sana. Bahkan ia tak yakin untuk melanjutkan SMA. Bagaimana bisa melanjutkan sekolah, jika saat itu ia pernah putus asa dan kehilangan dirinya sendiri. 

Universitas Indonesia, mereka menjulukinya dengan Jakun atau jaket kuning, karena jas almamater mereka berwarna kuning.

“Ma, Andri janji bakalan jadi kebanggaan, Mama.” Sebelum pergi kuliah, Andri mengecup pipi Naya, dan berkata seperti itu. Tidak hanya hari ini, tapi selalu ... Andri selalu mengatakan seperti itu. Karena, gadis itu seolah sedang mengucapkan kata terima kasih pada perempuan yang telah memberi segalanya.

Andri memarkirkan mobil di tempat parkiran khusus mobil di kampus.

Gadis cantik itu sekarang kuliah di Universitas Indonesia, salah satu kampus terbaik di Indonesia. Andri mengambil jurusan Manajemen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Naya yang menyuruhnya mengambil jurusan itu, karena hanya Andri yang ia punya, dan berharap nanti bisa menggantikannya di perusahaan yang selama ini dibangunnya dengan susah payah.

Andri setuju saja. Apa pun akan ia lakukan untuk Naya. Gadis itu sedari SMA mulai mengikuti les Bahasa Inggris, karena di Universitas Indonesia kebanyakan perkuliahan menggunakan Bahasa Inggris, juga buku, jurnal, bahan belajar, kebanyakan menggunakan bahasa internasional. Apalagi jika nantinya sudah mulai berbisnis, kemungkinan akan bergabung dan berhubungan dengan para investor dari luar. Andri mulai menyukai bisnis, karena melihat Naya yang begitu lihai dalam bidang itu.

Perempuan yang dipanggil mama oleh Andri, punya usaha di bidang skincare. Perusahaannya semakin sukses, sebab itu Naya mewanti-wanti pada anak gadisnya untuk bisa membantunya di perusahaan. Sebenarnya Andri sering juga ikut membantu Naya dengan menjadi model untuk produk-produk skincare. Hal itu membuat Andri bahagia, karena bisa membantu Naya.

Andri turun dari mobil setelah memastikan mobilnya terparkir dengan rapi. Ia memindai pemandangan sekeliling. Suasana yang begitu sejuk di pandang mata. Saat memasuki gerbang UI, ia disuguhi pemandangan pepohonan yang tumbuh dengan rapi karena terawat. Gadis itu sejenak memandangi Kolam Makara yang ada di depannya, ia memuji kolam ikonik itu dalam hatinya. Bentuknya bulat menyerupai kolam biasa dengan tanaman di pinggirannya, tapi airnya tidak terlalu dalam, di tengahnya ada logo kampus UI yang membuat Kolam Makara begitu ikonik.

Andri berjalan dan memasuki selasar utama. Di sana tak terlalu ramai, mungkin karena mahasiswa sudah memasuki kelas awal mereka. Gadis itu sedikit tergesa-gesa karena ia harus segera masuk ke ruangan, meskipun berkali-kali ia melirik jam di tangan, dan masih tersisa lima menit lagi. Tetap saja, ia tak ingin kesan buruk di hari pertama. Ia mencabut earphone dari telinganya, dan memasukkan ponsel ke tas selempang yang ia pakai.

   

Bruk!

Entah bagaimana Andri tak memperhatikan jalannya saking tergesa-gesa. Ia menabrak tubuh seorang lelaki yang berjalan di depannya, hingga membuat ponselnya terjatuh. Gadis itu tak melihat bahwa ada yang berjalan di depannya. Tubuh yang begitu kekar, hingga membuat tubuh ramping Andri sedikit oleng, dan terjatuh. 

Ck! 

Gadis itu mencebik kesal. Entah kesal pada siapa, kesal pada diri sendiri yang ceroboh atau pada lelaki yang kini berdiri menghadapnya tapi tak menolong. Bahkan Andri berharap akan terjadi adegan-adegan seperti di drama. Rupanya tidak! Gadis itu terlalu tinggi bermimpi.

“Kamu yang nabrak duluan. Emangnya gak liat ya ada orang jalan?” Lelaki itu berjongkok, sementara Andri masih memungut ponsel dan earphone miliknya.

Andri memasukkan barang-barangnya ke dalam tas. Lalu menatap lelaki di depannya dengan mata yang terbuka lebar.

Sejenak, dua mata itu tak berkedip. Andri seolah dilempar pada orang yang setengah mati ia cintai dulu, dan sampai sekarang ia masih ingin membunuh rasa itu. Namun, bayangannya kadang datang meski Andri ingin tak peduli.

Araska Pratama. Andri sangat menghapal garis wajah itu. Lelaki di depannya tumbuh dengan baik, tubuhnya tegap dan wajahnya terlihat lebih tampan dari terakhir kali Andri bertemu.

Araska masih menatap. Ia juga seolah dipaksa mengingat seorang gadis yang telah mati. Gadis yang membuatnya menyesal karena pernah menyatakan sesuatu yang salah. 

‘Silvi Andriani, kau kah ini?’ Araska membatin.

   

Araska mencoba menatap lekat wajah gadis di depannya. Garis wajahnya persis seperti gadis dekil di masa lalunya. Namun, logikanya menolak karena ia melihat sendiri korban bunuh diri yang dievakuasi oleh polisi.

Andri bangkit, dan meninggalkan Araska yang masih berjongkok di selasar.

Gadis itu memasuki gedung A untuk masuk ke ruang belajar, tapi saat ia duduk di salah satu bangku, ia melihat Araska juga masuk ke kelasnya. Araska menatapnya lagi, seperti tengah memastikan sesuatu dalam dirinya.

'Kanapa tak menyapa?' Batin Andri bertanya.

  

“Lu hampir telat, Ndri!” celutuk Rania, seorang teman Andri sejak SMA membuyarkan lamunan Andri.

“Iya, jalanan macet euy!” balas Andri.

“Makanya besok lebih awal.”

Andri hanya mengangguk pada teman cerewetnya, setidaknya ia bisa mengalihkan pandangan dari Araska. Karena, gadis itu sedikit salah tingkah menyadari Araska sedari tadi memperhatikannya. Sudah lama, jantung Andri tak berdegup begitu kencang.

‘Ndri?’ Araska kembali membatin.

*

Komen (1)
goodnovel comment avatar
KEYCHA KEY
jadi, Andri sama Araska satu kampus, satu jurusan, satu kelas juga ya?
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status