Cinta. Bagaimanapun tetaplah cinta. Mau bingung, tidak menduga, tidak terasa, tidak menyadari atau tidak tahu sedikit pun, dia tetaplah cinta. Mau apa kau bila cinta sudah menyentuhmu bahkan berbicara secara langsung tepat ditelinga hatimu yang paling dalam? Tidak ada yang bisa kau dan aku perbuat bukan? Selain menerima rasa itu. Kau ingin menolaknya atau menangkisnya? Hmm....aku rasa itu bukan jalan keluar yang baik. Jadi apa yang harus kita lakukan? Entahlah.
"Aku jatuh cinta kepada dirinyaSungguh-sungguh cinta
Oh apa adanya
Tak pernah kuragu
Namun tetap selalu menunggu
Sung
“Ciee ada yang antusias banget nih mau ketemu ibu Gempal. Aw!” Kujitak kepala Shaniar yang berani-beraninya memfitnah. Aku tidak mau menjadi bahan olok-olokannya ibu Gempal lagi, makanya aku memasukkan buku kedalam tas dengan buru-buru agar waktu tidak terlalu lama berlalu dan tidak akan terlambat. “Sakit Drew...” “Mau ditambah lagi?” aku mengangkat tangan berusaha menjitak kepala Shaniar lagi. Dengan cepat kilat dia menghindar. “Eitt, gak kena hahahha..” “Udah ah, aku buru-buru nih, nanti dimarahi sama ibu Gempal lagi kalau telat. Bye bye Shan Shan” aku melambaikan tanganku padanya sambil berlari keluar kelas menuju ruang ekskul teater. Kemarin ibu Gempal memutuskan latihan drama kali ini dilakukan di ruangan teater saja, agar tidak perlu repot-repot membereskan meja dan kursi kelas. “Semoga hari ini tidak ada olok-olokan lagi. Amin” ucapku pada diri sendiri ketika berada dilorong kelas. “Drewi” sebuah suara dari belakang mema
“Drewi” suara yang tidak asing menyebutkan namaku, ketika sedang menunggu kak Adam digerbang sekolah. Dia meninggalkan ponselnya yang sedang di charger di ruang OSIS. Kak Adam mengajakku pulang bersama setelah dia bertanya aku pulang dengan siapa. Tentu saja pulang sendiri karna Shaniar sudah pulang duluan. Suara yang tidak asing itu kak Dani Megantara. Si tukang olok. Wajahku menoleh kearah lain dengan kesal. “Drew, masih marah ya?” tanyanya. Tak ada jawaban dariku. Dia menggaruk kepalanya sendiri menunggu jawaban. “aku minta maaf ya Drew, untuk yang kemarin dikantin” dia menyodorkan sebuah kotak merah peach berpita biru. Aku menatapnya tidak mengerti. “Ini sebagai permintaan maaf....” aku tidak memperdulikan perkataannya selanjutnya, karena perhatianku langsung terfokus pada si Lesung Pipi yang sedang berdiri jauh diseberang jalan sana, melihat kepada kami tanpa ekspresi lalu membalikkan badannya dan berjalan menjauh. “D
Ini sangat klise. Tentang senja saat kami jalan berdua.Terkadang aku berpikir, apakah sebenarnya senja itu mendukung tawa bahagia kita? Atau hanya sekedar menambah keindahan angan-angan?. Aku selalu berhenti pada satu titik dimana kau selalu hadir setiap kali aku melihat senja dan tertawa. Aku menyukai moment itu. Aku juga menyukaimu, tawa, lesung pipi dan wajah merah meronamu. Satu lagi, ternyata kau sangat pemalu.Pembicaraan kita hanya hal-hal yang tidak perlu membuat kita berpikir. Tapi itu sangat mampu membuat hatiku semakin nyata mengarah padamu. Cinta Pertama ini sudah pasti telah terjadi. Cinta pertama ini tidak bisa aku sangkal lagi. Ini memang cinta.
Hari ini mood ku hampir saja berubah menjadi buruk. Bayangkan saja, secara tiba-tiba 3 guru dari 3 mata pelajaran berbeda mengadakan kuis dalam satu hari. Aku dan Shaniar belum sempat curhat tentang kak Dani dan Silesung pipi, karena harus belajar dengan kilat untuk kuis tadi. Apalagi kami kembali berpisah karena tempat latihan yang berbeda. “Udah baikan sama Dani belum?” bagiku, pertanyaan kak Adam itu lebih seperti pertanyaan menggoda dari pada pertanyaan yang menunjukkan kepedulian. Ditengah-tengah ruangan yang luas ini ingin sekali aku menjitakkan kepalan tanganku ini kekepalanya. Kami sedang istirahat dan menunggu sesi evaluasi dari kak Ameila. Hari ini ibu Gempal tidak masuk lagi karena mengi
“Ada apa Shan?” tanyaku segera setelah bertemu dengannya dibangku taman kelas.“Nih, mau ngasih ini” kotak berwarna merah peach dan berpita biru tersodor didepan wajahku.“Oh, ini” kataku sambil mengambil kotak itu.“Udah tahu?”“Udah”“Cie, gak nyangka ternyata sahabatku yang cuek beibeh ini bisa ditembak dua cowo sekaligus” tepukannya terasa sakit dibahuku, membuatku sedikit limbung.“Maksudnya?" Kedua alisku saling bertaut.“Astaga, kau ini. Bukannya kamu ditembak sama kak Dani kemarin? Trus kado ini kan spesial dari kak David. Bukannya tadi udah tahu? Berarti kak David juga nembak kamu dong. Iya kan?” kedua alisnya naik turun. Aku mendengus pasrah. Inilah akibatnya jika kau terlambat curhat pada sahabatmu yang sok tahu yang sudah sangat terbiasa menggosip.“Shan biar aku jelasin ya, tapi cuma sekali aja, karena aku ada j
Aku memaksa membawa semua cerita hari ini kedalam tirai gelap di dalam tidurku. Berharap tirai hitam itu bisa mengikis sedikit demi sedikit rasa sakit ini. Tapi setiap kali aku berusaha menutup mata, aku tetap tidak bisa menentramkan rasa janggal ini. Seperti marah, gelisah tidak menentu. Setiap awan yang berjejer diatas sana memiliki artinya tersendiri tergantung siapa yang melihatnya. Ada makna disetiap bentuk dan posisinya. Aku pernah melihat awan yang sangat bagus dan ditemani dengan awan yang sama bagusnya juga. Terlihat serasi dan sepertinya memang waktu itu adalah waktu yang sangat tepat untuk awan-awan itu. Walau dihatiku ada perasaan yang tidak nyaman ketika melihat mereka berdua aku berharap kesempurnaan moment itu hanya sementara saja. Seperti awan-awan yang terlihat indah namun seiring berjalannya waktu awan-awan itu memencar dan tidak menyisakan apapun. Cemburu itu sebegitu anehnya.
“Shan, kayanya aku memang benar-benar jatuh cinta deh..." Senyumanku terhenti saat aku merasakan seonggok daging menempel di keningku."Waaah pantesan, keningmu panas. Kayanya kamu perlu ke rumah sakit jiwa deh""Shaniar aku serius" aku menepis tangannya dari keningku. Dan lagi, apa hubungannya kening panas dengan rumah sakit Jiwa?"Ia aku juga serius kok. Nanti aku mau mencari rumah sakit jiwa yang pas untukmu, yang sesuai dengan gangguan jiwamu saat ini"Aku menghentikan langkahku dan melotot pada Shaniar yang dengan santainya menyeruput pop icenya. Melihat ekspresiku yang memuakkan itu, dia pun berhenti menyeruput."Drew ini sudah kelima kalinya kamu bilang seperti itu” Dia menatapku balik sambil alisnya terangkat satu, mulutnya mengunyah es batu -dia sangat suka mengunyah es batu- .Aku menatapnya lagi, terdiam dan berpikir.Ia juga sih, untuk kesekian kalinya aku mencurahkan perasaanku pada Shaniar. Mungkin benar ini
Aku masuk dengan langkah pelan menunduk lesu ke dalam ruangan latihan. Ibu gempal sudah di dalam sedang memberi pengarahan kepada kelompok pemeran warga pribumi. Aku terlambat beberapa menit karena harus membantu ibu Tarigan memasukkan nilai kuis kelas ke dalam buku nilai. Untung ibu Tarigan sudah meminta izin dari ibu gempal. Kalau tidak, pasti aku sudah menjadi bulan-bulanannya lagi. Si lesung pipi sedang asik tertawa bersama teman-teman pemeran tentara lainnya. Entah apa yang mereka bicarakan. Ada sedikit denyut nyeri saat melihatnya. Aku mempercepat langkahku, aku takut denyut ini semakin terasa bila berlama-lama menatapnya. Ini kali pertamanya lagi kami bertemu setelah minggu tidak ada latihan. Guru-guru sedang mempersiapkan pernak-pernik kepengurusan untuk pensi nanti. Sudah selama itu juga cerita Shaniar menggantung di otakku. Shaniar sangat tahu moodku dan memilih untuk tidak membicarakan atau bertanya tentang si Lesung Pipi padaku. Aku juga berusaha me