Di pelosok kepulauan dunia nan jauh, terdapat sebuah kerajaan yang disebut Maheswara. Disana berdiam sebuah bangsa besar yang tinggal dalam wilayah dan negara kepulauan.
Kerajaan ini masih memegang teguh, adat-istiadat dari nenek moyang.
Pada dasarnya, profesi mereka sebagai besarnya adalah petani yang hidup di kerajaan agraris di lingkungan alam berbukit-bukit.
Karena itulah mereka dikenal dengan area sawahnya yang bersekat-sekat dan organisasi Subak-nya yang mengatur pengairan sawah. Namun, entah sejak kapan nenek moyang mereka mengenal pembuatan perahu.
Dapat dilihat dari bentuk perahu yang mereka tinggalkan, pada masa nenek moyang mereka dapat dikatakan pembuatan perahu masih sangat sederhana, seperti halnya perahu pada masyarakat sederhana masa kini.
Sebatang pohon yang mempunyai garis tengah batang cukup besar ditebang, kemudian bagian tengahnya dikeruk dengan menggunakan alat sederhana, misalnya beliung dari batu.
Tampaknya mudah, tetapi dalam kenyataannya cukup sulit. Dinding perahu harus dapat diperkirakan tebalnya, tidak boleh terlampau tebal atau terlampau tipis. Badan perahu tidak boleh mudah pecah atau bocor apabila terantuk karang atau kandas di pantai yang keras. Apabila bentuk dasar sudah selesai, barulah diberi cadik di sisi kiri dan kanan badan perahu.
Kepulauan Kerajaan ini mempunyai posisi yang strategis. Tidak saja karena berada di antara Lautan dan hutan-hutan pegunungan, tetapi juga karena kepulauan ini terletak di antara dua daratan luas, yang membentang di sebelah timur, hingga barat pulau.
Posisi ini membuat Kerajaan Maheswara menjadi tempat persilangan budaya dalam pergaulan antar bangsa di kawasan sekitar. Bahkan, di jaman purba kawasan ini menjadi daerah perambahan yang menantang manusia untuk menjelajahinya. Di antara dua daratan luas itu, terdapat 'Zona Terlarang'
Sepanjang sejarah, Zona Terlarang tidak pernah bergabung ataupun ikut handil dalam pemerintahan di kerajaan, mereka hidup dalam peraturan mereka sendiri, hidup damai dengan berbaur bersama hewan-hewan di dalam hutan. Konon beberapa dari mereka yang 'terpilih', bisa sampai di tahap penyucian diri tertinggi, akan mendapat kemampuan magis berupa kekuatan spesial.
Mereka juga bisa berubah bentuk, menjadi wujud hewan, yang telah melakukan perjanjian sehidup semati dengan mereka. Dimana ketika sang tuan mati, maka peliharaan nya juga akan mati. Namun jika peliharaan yang mati duluan, sang tuan tidak mati, mereka malah menjadi lebih kuat dengan mewarisi kekuatan hewan mereka, dan bisa berubah bentuk dalam wujud mereka. Karena kesaktian yang dimiliki penduduk Zona Terlarang. Kawasan ini sering dianggap sebagai 'penghalang' bagi para masyarakat kerajaan.
Kerajaan Maheswara berbangsa multikultur yang di dalamnya ada tiga kelompok kehidupan, yaitu kelompok masyarakat biasa, mereka mendiami kerajaan, yang dijuluki orang Negeri, kelompok masyarakat yang mendiami wilayah pesisir sekitar laut, disebut sebagai orang laut, dan kelompok masyarakat yang mendiami wilayah pedalaman Zona Terlarang, dihuni oleh orang darat.
Orang laut berbeda dengan orang Negeri, dan orang darat yang menetap dan bermukim di daratan. Orang laut adalah orang-orang yang menghabiskan seluruh hidup mereka bersama keluarga mereka dengan melaut, mereka tinggal di atas atau di sekitar laut.
Sebagai konsekuensinya mereka sedikit sekali memiliki budaya kepemilikan barang atau kekayaan. Hingga saat ini bahkan kecenderungan untuk menumpuk kekayaan ditolak dalam budaya mereka. Sebagai akibatnya, sangat sedikit sekali jejak arkeologis dari orang-orang laut. Keberadaan mereka menjadi kabur bahkan membuat mereka jarang ditemukan.
Akibat lain yang tidak bisa dihindari adalah reputasi 'orang laut' yang kental dengan kabar burung dan mitologi. Dalam banyak kultur, Orang Negeri mengenal orang laut karena kemampuan supranaturalnya.
Kemampuan seperti mampu menyelam lebih dari satu setengah jam sering dikaitkan dengan ilmu sihir. Begitu juga dengan kemampuan bertahan lama tanpa air tawar, hingga kemampuan bertahan dengan minum air yang keruh, kerap dihubungkan dengan kemampuan mereka bernafas dengan insang.
Secara sadar atau tidak, kelompok orang Negeri hidup dalam sebuah ketergantungan akan laut. Semuanya itu kembali pada konsep hidup nenek moyang, dan kesadaran ruang hidup yang berasal dari heterogenitas tadi.
Laut adalah ajang untuk mencari kehidupan bagi kelompok Orang Negeri. Dari laut dapat dieksploitasi sumber daya biota dan abiota, serta banyak kegiatan kemaritiman yang menjanjikan dan memesona.
Laut memang merupakan media pemersatu karena melalui laut orang dari berbagai bangsa melakukan interaksi dengan berbagai macam aktivitas. Menjalankan aktivitas perekonomian melalui “jasa” pelayaran antar benua atau antar pulau. Sejak awal berdirinya, kerajaan Maheswara telah diramaikan oleh kapal-kapal dari berbagai penjuru dunia. Dengan sarana transportasi air itu, komoditas perdagangan dibawa dari satu tempat ke tempat lain untuk diperdagangkan.
Pada mulanya kelompok Orang Negeri, bertujuan mencari hidup dan mempertahankan hidup, pada akhirnya bertujuan mengembangkan kesejahteraan, atau dengan kata lain membangun kejayaan dan kekayaan.
Kemudian dalam sejarahnya, juga tercatat antagonis hasrat untuk mengendalikan dari kelompok orang Negeri sendiri. Berusaha untuk menguasai pesisir dan daratan. Dengan segala upaya untuk mendapatkan hasil, mereka mulai membuat perubahan.
Karena orang laut susah ditemui, maka pihak kerajaan, segera mengubah taktik mereka. Kini berusaha mendekati orang darat, memanfaatkan keberadaan, serta kesaktian mereka untuk menyokong, dan memperkuat kerajaan.
◇❖❖◇
Di dalam hutan sekitaran Zona Terlarang, terlihat seorang pemuda tengah asyik menelusuri jalanan setapak, mencari rerumputan, serta tanaman herbal yang sekiranya bermanfaat. Tas anyaman rotan di punggungnya tampak hampir penuh. Menandakan sudah saatnya ia untuk kembali. "Ayo kita pulang, Nehan. Ibu pasti sudah menunggu kita di rumah dengan masakan lezatnya. " ucap Arga, sambil mengusap lembut punggung Harimau peliharaan nya. Nehan menyahut dengan sedikit menurunkan badanya. Membiarkan sang tuan menaikinya.
Arga merupakan salah satu penduduk lokal yang mendiami Zona Terlarang. Ia adalah anak kepala suku yang telah melakukan perjanjian dengan spesies terakhir dari Harimau putih, yang diberi nama Nehan. Ia mendapatkan Nehan saat berumur 15 tahun, ketika menemukan nya, Nehan sedang bertarung melawan ular piton besar.
Nehan mendapat banyak luka, dan cedera parah. Lalu Arga yang saat itu sudah mewarisi ilmu Magis dari Ayahnya. Menggantikan Nehan melawan ular piton. Nehan yang merasa berterima kasih, karena sudah diselamatkan dari maut, setelah nya membuat perjanjian sehidup semati dengan Arga. Sudah 3 tahun berlalu sejak itu, sekarang persahabatan mereka sangatlah rekat.
"Tolong.... Tolong!!!. "
Teriakan menjerit minta tolong terdengar menggema memenuhi hutan, membuat Arga bersiaga, ia segera mencari asal suara.
Terlihat seorang kakek tua tengah di kepung oleh para bandit. Arga pun berusaha menolong kakek itu, ia mengintruksi Nehan agar menyeranh mereka, lalu Nehan mengaktifkan kekuatannya, ia membuat beberapa refleksi diri, lantas Nehan, beserta kloning-kloning nya mengepung si bandit. Mereka berlari cepat menghampiri para bandit, sembari membuka mulut lebar-lebar memperlihatkan taring nan kokohnya, bersiap menerkam.
Namun sayangnya, para bandit itu berhasil kabur, mereka mengeluarkan bom asap beracun, lalu segera menghilang bagai aliran angin. Arga, kakek, dan Nehan segera menutup hidung mereka. Mereka berpindah ke tempat lain untuk menghindari asap.
"Terima kasih banyak nak, telah menyelamatkan kakek. Kalau kakek boleh tahu, namamu siapa anak muda?." Imbuh si kakek yang tadi diselamatkan Arga.
"Anda tidak perlu segan kek, nama saya Arga Giandra Bratajaya. Panggil saja Arga kek" tutur Arga sopan.
Kakek itu tersenyum, lalu menghampiri Arga menepuk pelan bahunya,"kamu anak yang baik nak Arga. Apa ada yang bisa kakek lakukan untuk bisa membalas kebaikanmu nak?. " Tawar sang kakek.
Arga pun lekas menggelengkan kepala, "tidak perlu kakek, Arga cuma kebetulan lewat." Jawabnya sopan, ia tidak mengharapkan imbalan apa pun. "Tapi, apa kakek baik-baik saja?. " Timpal Arga, mengkhawatirkan kondisi kakek itu, ia memeriksa tubuh sang kakek dari kaki hingga kepala, lalu menghela nafas lega saat tidak menemukan apa pun yang salah.
Dari pepohonan rindang, tiba-tiba sekelebat bayangan bergerak turun menghampiri mereka. "Maafkan hamba Paduka. Hamba lalai, telah terlambat menyelamatkan paduka, silahkan hukum hamba." Bayangan tadi berubah menjadi seseorang berpakaian serba hitam, yang sekarang tengah bersujud menghadap sang kakek. "Tak apa Manggala, berdirilah." perintah sang kakek.
Arga terlihat mencerna kejadian barusan, setelah sadar ia tampak terkejut. "Paduka?!, anda seorang raja kek? ." Tukas Arga bertanya-tanya.
Manggala--prajurit pribadi raja--. Lekas menyanggah pertanyaan Arga. "Jaga tutur katamu anak muda, beliau adalah Raja Ganendra Syaron yang terhormat, Kaisar ke-IX Maheswara."
Raja Ganendra yang diketahui sebagai kakek tadi, mengakat tangan kanannya dengan telapak tangan terbuka, memberikan isyarat kepada pengawal untuk berhenti.
"Dilihat dari kemampuanmu barusan, aku ingin menawarkanmu, jabatan seorang Banding Agung di istana kami." Tawar Kaisar.
Banding Agung, adalah posisi tertinggi kedua setelah penasehat Kerajaan, tugasnya untuk menjaga dan melindungi kerajaan.
"Tapi Raja Ganendra, saya bukan keturunan bangsawan, lagipula saya masih muda, baru berusia 18 tahun." Tolak Argan segan.
"Bukan masalah nak, karena kau memiliki talenta yang luar biasa. Begini saja, bagaimana jika aku memberikanmu waktu sebulan untuk memikirkan. Jika kau bersedia, maka datanglah ke istana kami." Setelah menyelesaikan kalimatnya, Kaisar itu berpamitan dengan Arga, lalu pergi diikuti pengawal tadi.
Arga masih terpaku ditempat, ia termenung menatap punggung sang Baginda yang perlahan-lahan menjauh, hingga menghilang dari pandangan.
Daerah Zona Terlarang, adalah desa yang berada di pedalaman daratan bagian Barat Kerajaan. Semula desa ini dipimpin oleh seorang kepala suku, awalnya ayahnya Arga yang memimpin suku. Namun karena Ayah Arga sudah tiada, maka tugas mengelola desa diberikan kepada tetua desa,yang bernama Eyang Abimayu."Ibu, Arga pulang!, Arga tadi menemukan beberapa tanaman herbal yang bisa mengurangi sakit ibu." Arga pun lekas membongkar keranjang bawaannya mengeluarkan beberapa tanaman, dan segera meraciknya."Uhuk... Uhuk... Nanti saja membuat obatnya nak, uhukk... Uhuk makan dulu sini... Uhukk." Ajak sang ibu, walaupun dalam kondisi lemas Ibu Arga masih memaksakan dirinya.Ibu Arga menjadi sakit-sakitan, Semenjak Ayah Arga meninggal dunia 14 tahun yang lalu, karena memenuhi tanggung jawabnya untuk melindungi desa dari pembangkangan yang dilakukan oleh paman Arga sendiri.Paman Arga melakukan penyergapan, karena ia menginginkan posisi Ayah Arga sebagai
|Arga|Sepanjang perjalanan ke Kerajaan, aku sibuk memikirkan rencana mendapatkan obat untuk Ibu. Ketika aku dan Nehan sampai, hari sudah menjelang siang, sedangkan Raja, langsung menjamuku dengan makan siang setelah menemuinya.Dini hari kulewatkan dengan memandangi pinggiran tirai di kamar istana, menyaksikan cahaya biru semakin pekat seiring datangnya fajar. Sekarang aku bahkan tidak bisa duduk diam selagi menunggu di teras Aula, sibuk merapikan pinggiran jasku sendiri.Aku mengenakan pakaian sutra sehitam bulu gagak dan jas biru terang. Kerah berbentuk V menampakkan pinggiran cap Kerajaan, sedangkan rambutku kusisir ke belakang agar tidak menutupi wajah. Tanpa hiasan batu berharga, tanpa ornamen kompleks. Hanya di lengkapi Pedang besi sederhana yang tersemat di pinggang ku.Di dalam Aula, suara terompet berkumandang. Khalayak merespon dengan membalikkan badan ke arah altar secara serempak, menjadi lautan mata. Aku merasakan tiap tata
|Arga| Suka cita masyarakat menyambut kami di kerajaan, selepas pulang. Raja Ganendra menggelar pesta sebagai hadiah kemenangan, merayakannya dengan meriah. Semua merasa senang, dan terlihat menikmati perjamuan yang diberikan, Terkecuali aku yang masih berkubang karena kepergiannya. Kupegang lembut kalung yang tersemat di leherku, berbandul putih berkilauan di bawah cahaya. Ya, itu adalah inti kehidupan Nehan. Sebagai majikan aku akan mendapatkan inti itu ketika hewan peliharaan sudah tiada. Inti kehidupan itu berguna agar aku bisa berubah menjadi sosok Nehan, ke wujud harimau putih. Nehan ku makamkan di sekitaran riak sungai, agar ia bisa bermain dengan bebas di seluas hamparan. dengan keindahan alam yang masih terjaga. ◇❖❖◇ Tengah malam datang dan pergi, seiring menit demi menit yang berlalu, aku semakin bergerak-gerak gelisah. Tidurku tidak nyeyak, padahal aku Kecapean. Di luar masih gelap ketika aku terjaga, diba
Arga diawasi siang malam tak kurang dari dua belas penjaga, masing-masingselalu awas dan siap siaga di balik jeruji sel. Hanya Arga seorang yang ditahan di sini. Tak seorang pun bicara atau sekedar menyapanya, termasuk para penjaga. Deru pintu besi bergeser di luar bungker. Para prajurit sedang bertukar sif. Kegaduhan merembes ke dalam dari jendela-jendela yang berposisi tinggi di dinding beton. Ruangan ini sejuk, sebagian dibangun di bawah tanah, dan dibelah oleh koridor panjang yang memisahkan dua deret sel berjeruji. Derap langkah kaki mendekat, terdengar bergema dari luar jeruji, Arga lekas memasang posisi siaga, berekspresi garang menampilkan taring-taring nan runcing. Beberapa prajurit berpelindung baju tempur memasuki penjara, "Raja ingin menemuimu." kata salah satu dari mereka terburu-buru. Mereka mengeluarkan Arga dari sel tanpa melepaskan ikatan rantai. Memaksanya berjalan di istana dalam keadaan terantai. Sebagai tawanan. Pu
◇❖❖◇ |Arga|Cahaya matahari yang nampak dari balik jendela sel kian memudar, mulai menyongsong kegelapan menandakan malam kembali.Sudah genap dua hari aku di kurung di balik kandang dingin nan membekukan ini, besok aku akan membantai sukuku sendiri, tempat lahirku, keluargaku. Jika dipiki-pikir, bukankah kelakuanku tidak lebih bejat dari pamanku sendiri, bukankah usaha ayahku akan sia-sia jika anaknya berakhir kelam seperti saudaranya sendiri?. Rasa bersalah terus menghantui ku.Dalam kegelapan nan hampa, aku terus memikirkan Jika bukan karena mereka menculik ibuku, mengancamku dengan ibuku. Aku terus merutuki kebodohan ku yang awalnya ingin mencari Anggrek Berlian untuk menyembuhkan ibuku, malah jatuh terjebak dalam kemunafikan mereka."Makam malam." Seonggok daging memenuhi nampan diselipkan melalui celah sel. Setelahnya prajurit itu berlalu meninggalkan ku kembali bersama kegelapan. Aku kembali meringkuk membenamkan kepalaku,
|Arga| Seiring jam demi jam berlalu, udara seolah membakar paru-paru dan mengeringkan tenggorokanku. Sensasi tersebut hanya disamai oleh ototku yang serasa dijalari api. Ototku yang pegal menjerit-jerit seiring tiap langkah, seiring tiap ayunan kaki ke depan dan ke atas untuk mendaki batu-batu terjal, yang mengarah ke puncak tebing. Udara semakin dingin semakin tinggi aku naik, sedangkan kakiku sesekali terpeleset di tanah licin berselimut kubangan lumpur dan permukaan cadas berkerikil. Meskipun ngilu, aku terus maju. Lautan berombak membentang di hadapanku. Uap air di udara berkondensasi dan jatuh, membasahiku. Kabut disusul oleh hujan, yang menderas dalam sekejap. Bagaikan hujan badai yang tiba-tiba. Aku sudah basah kuyup dalam hitungan detik, di tengah terpaan hujan. Aku menghirup udara dalam-dalam, membiarkan bau tajam hujan berbaur tanah menusuk indraku. Di atas, langit mendung berair menyembunyikan matahari. Seaka
|Arga|"Nak bangun." kurasakan suara yang kelewat lembut, mengusik pendengaranku memaksaku untuk terbangun, mataku menyipit tak kala terkena silauan cahaya mentari pagi. Aku terpaku, nafasku tersengal. Ku pandangi sekitarku, untuk mencari tahu keberadaan nya.Semua tata letak perabotan, lukisan, pahatan terlihat akrab dan nampak sama dengan rumahku. 'Apakah aku kembali ke rumah, Bukankah aku sudah tenggelam di lautan?, tapi siapa yang membawaku pulang?.' Batinku bertanya-tanya. Aku tersadarkan oleh riuhnya suara burung, yang berkicau di bawah langit kebiruan bertabur sinar keemasan.Mataku tertumbuk ke asal suara ramah yang membangunkan ku tadi. Aku mendapati sebuah wajah yang malah lebih ramah lagi. "Ibu?!." Kagetku. "Apa benar ini ibuku?, Nyonya Arjanti Baratajaya?." merasa tak percaya, aku menampar kedua pipiku keras. Aku melenguh tak kala merasakan nyeri di kedua pipiku. Orang yang kuyakini sebagai ibuku terheran-heran, "Ada apa denganmu, nak?. Apakah
Sinar matahari terbit menerangi awan tipis jarang-jarang di langit. Hari ini sepertinya akan cerah. Angin masih bertiup dari Danau, mengacak-acak rambut Arga dengan lembut. Wangi air danau yang basah menggelitik indra pembau, membawa kesegaran hijau musim panas.Arga tengah menyusuri jalanan desa bersama Nehan. Kakinya mengarahkannya menuju jalanan setapak yang sudah sangat di ingatnya. Rumah-rumah keluarga yang sudah hafal di luar kepala menyembul dari balik dinding, jendela-jendelanya dibuka untuk mengalirkan udara pagi ke dalam.Di tiap rumah, panji-panji dinasti aneka warna berkibar-kibar ditiup angin. Merah darah marga Kumara, hijau zamrud marga kuno Pratmatya yang tiada tanding, hitam-silver marga terkemuka Wibisana.Gapura tinggi dan mulus, membentang lebar dari dinding-dinding pirus-emas di sektor desa. Setelah sampai di suatu pekarangan Arga secara menyelinap memasuki sebuah rumah tersudut di ujung gang.Rumah itu sendiri,