Aku memilih untuk duduk di teras depan. Tidak kupedulikan air mata yang terus mengalir. Apalagi perkataan Mawar yang terus bicara apapun yang sedang di lihatnya. Meskipun tubuhnya kurang gizi, namun Mawar sudah bisa bicara dengan lancar.
Pikiranku berkelana dengan telpon demi telpon yang di lakukan Mas Ragil dan Arum. Bagi orang asing, mereka akan terlihat seperti sepasang kekasih. Bukan Om dan keponakan. Pernah dulu aku menegur sikap Mas Ragil yang terlalu menempel pada Arum. Hasilnya aku yang di marahi habis-habisan.
Mereka berdua tidak malu untuk tampil mesra di depanku. Tapi, sikap mereka akan biasa saja saat ada mertua serta kakak Mas Ragil. Bisa di bilang di antara lima keponakan Mas Ragil, dia paling memanjakan Arum.
Bahkan jika keponakannya yang baru berumur lima tahun mencubit Arum, lalu di balas Arum dengan cubitan yang lebih keras hingga kulitnya berubah menjadi hitam. Maka, Mas Ragil justru akan memarahi keponakannya yang saat itu baru berumur lima tahun.
“Ibu.” Tangan kecil Mawar mengusap air mata di pipiku. Bukannya reda, tangisku justru semakin keras. Mata bening Mawar menatapku dengan tatapan polos. Anakku belum mengerti kenapa Ibunya bisa menangis sampai seperti ini.
“Maafkan Ibu nak. Harusnya kita bisa pergi dari rumah ini. Tapi, Ibu belum berani. Jangankan untuk makan nasi dan sayur, uang untuk beli beras saja Ibu tidak punya.” Aku kembali curhat pada putriku yang belum mengerti tentang masalah orang tuanya.
“Ayah.” Seru Mawar dengan jari kecilnya yang menunjuk ke dalam rumah. Meskipun selalu di acuhkan oleh Mas Ragil, Mawar memang kerap kali mencari keberadaan sang Ayah.
“Ayah lagi tidur sayang. Mawar mau masuk ke dalam kamar?” Mawar justru menggelengkan kepalanya.
“Mau disini aja.” Aku hanya bisa menganggukan kepala dengan tangan yang terus menepuk punggung Mawar agar mau tidur malam ini. Meskipun butuh waktu beberapa jam.
Tiga jam kemudian, kelopak mata Mawar perlahan tertutup. Aku kembali masuk ke dalam rumah. Tidak lupa mengunci pintu depan lalu masuk ke dalam kamar. Ku baringkan Mawar di tengah tempat tidur.
Jarum jam sudah menunjukkan pukul dua belas lewat lima belas menit malam. Ponselku tidak sengaja terjatuh di bawah tempat tidur. Tubuhku menunduk untuk meraih ponsel. Rupanya ponselku berada tepat di tengah.
Aku berjalan di bawah tempat tidur lalu mengambil ponsel. Agar kepalaku tidak terantuk ranjang, aku mendongakan kepala. Saat itulah, aku melihat sebuah kotak yang menemplek di bawah ranjang.
Sisi kanan kotak itu terbuka hingga aku bisa melihat sebuah ponsel. Gegas aku ambil ponsel itu. Ini adalah ponsel kedua Mas Ragil yang di gunakan khusus untuk mengirim uang pada keluarganya.
Dengan rasa penasaran yang menggebu, aku menekan layar ponsel. Terkunci. Hanya sidik jari Mas Ragil yang bisa membuka layar ponsel ini. Dadaku berdebar kencang saat aku mengambil tangan kanan Mas Ragil lalu menempelkan jari jempolnya ke ponsel.
Tidak bisa. Aku berganti dengan jari tengah untuk di tempelkan ke layar. Akhirnya layar ponsel itu terbuka. Tidak banyak fitur dalam ponsel ini. Hanya ada sebuah aplikasi yang tidak aku ketahui fungsinya.
Aku menekan aplikasi mobile banking. Karena pernah mengintip Mas Ragil saat memasukan pin ke dalam mobile banking, aku sudah hafal di luar kepala. Ikon tabungan sudah aku tekan. Mataku membulat saat melihat nominal sebesar lima juta rupiah.
Bukankah uang gaji Mas Ragil sudah di serahkan pada orang tuanya? Dia hanya menyimpan uang untuk membeli keperluan kami dan biaya bensinnya saja. Kenapa bisa ada sebanyak ini?
Sudahlah. Itu bisa di pikirkan nanti. Aku segera mengirimkan uang itu ke nomor rekening Ibuku yang masih aktif agar Mas Ragil tidak curiga. Jika dia memaksa untuk memeriksa buku rekeningku jumlahnya tidak akan bertambah
Namun, seandainya Mas Ragil bisa mengetahui sejumlah saldo yang masuk ke dalam nomor rekening Ibu, aku sudah punya alibi. Toh adik laki-lakiku yang kini bekerja di Semarang punya banyak uang untuk di kirimkan pada Ibu.
Aku segera mengembalikan ponsel ini ke tempatnya dengan posisi yang sama persis. Maafkan aku jika mencuri uangmu Mas. Tapi, aku sedang meminta hakku dan Mawar yang sudah kau abaikan selama ini.
***
Sarapan pagi memang makanan paling mewah untukku dan Mawar. Karena hanya di pagi hari aku bisa merasakan makan telur di tambah sambal. Telur setengah kilogram yang di beli Mas Ragil hanya boleh di masak untuk sarapan. Kadang di selingi dengan ayam yang di antarkan oleh Ibu mertua.
Karena untuk makan siang dan makan malam, suamiku akan pergi ke rumah orang tuanya agar bisa makan enak. Sedangkan aku dan Mawar hanya di biarkan makan seadanya dengan sayur. Jika bahan makanan habis seperti kemarin, aku dan putriku harus menahan lapar sambil menunggu kepulangan Mas Ragil dari rumah orang tuanya.
Mas Ragil sudah duduk di kursi dengan seragamnya sebagai guru. Dia mengeluarkan sebuah kotak makan yang berisi ayam rica-rica.
“Panaskan makanan ini untuk kita. Jangan lagi kamu bilang jika aku lebih peduli pada Arum.” Mataku membulat tidak percaya. Tanpa menanggapi perkataannya aku mengambil kotak makan itu lalu menghangatkannya di wajan.
Meskipun dalam hati aku di liputi banyak pertanyaan. Aneh sekali Mas Ragil tiba-tiba mau memberikan daging ayam hanya karena aku membahas tentang gizi Mawar. Sudah berulang kali aku mengeluhkan hal itu. Tapi, yang ada Mas Ragil justru marah padaku.
Mawar menghabiskan ayam rica-riba dengan lahap. Sesekali aku melirik ke arah layar ponsel Mas Ragil. Ternyata dia sedang berkirim pesan dengan Arum. Apa perubahan sikap Mas Ragil tadi ada hubunganya dengan Arum? Karena tadi malam aku membahas perbedaan sikapnya pada Arum dan Mawar.
Setelah selesai sarapan, Mas Ragil bangkit dari kursi. Dia tidak mengatakan apapun padaku sampai masuk ke dalam kamar. Penampilan Mas Ragil sudah rapi dengan memakai baju dinas dan kopiah yang menandakan jika dia adalah guru agama.
“Aku pergi dulu.”
“Iya mas.” Aku menyalami tangannya. Di susul dengan Mawar.
Sambil menggendong Mawar yang sudah selesai makan, aku mengikuti langkah Mas Ragil untuk mengantar kepergiannya. Dia menyapa para tetangga dengan senyum yang sangat ramah. Sangat berbanding terbalik dengan perangainya ketika berada di dalam rumah.
Para bapak-bapak masih menanggapi dengan ramah. Berbeda dengan para Ibu-ibu. Mereka yang kasihan pada perkembangan tumbuh Mawar tentu saja merasa kesal pada Mas Ragil. Aku hanya bisa terus bersabar dan berharap agar Mas Ragil bisa berubah.
Jika Mas Ragil tidak bisa berubah, aku hanya bisa berharap suatu saat akan menemukan pekerjaan yang cocok untuk menghidupi diriku dan Mawar. Seandainya aku tidak sanggup lagi bertahan dengan Mas Ragil dalam pernikahan yang sangat menyiksa ini.
Malam harinya, aku dan Mawar hanya makan berdua dengan sayur bening saja. Sedangkan Mas Ragil pasti makan makanan enak di rumah orang tuanya. Dia kan menikahiku karena aku gampang di atur dan dari keluarga miskin.
Setelah sholat isya’ Mas Ragil baru pulang ke rumah. Suamiku itu langsung mandi lalu merebahkan dirinya di atas tempat tidur. Aku yang baru saja masuk ke dalam kamar melihat wajah Mas Ragil memerah.
“Apa kamu menyentuh hpku hari ini Nga?” Tanya Mas Ragil dengan suara yang sangat menakutkan.
"Hp yang mana mas?" Tanyaku pura-pura tidak tahu. Aku membawa Mawar masuk ke dalam kamar. Anehnya Mas Ragil berjalan mengikutiku di belakang. Tanpa mempedulikan keberadaan suamiku itu aku menidurkan Mawar di atas tempat tidur. "Jangan pura-pura tidak tahu seperti itu. Kamu kan yang sudah membuka hpku." Aku seketika menoleh pada Mas Ragil. Apa tidak bisa dia mengajakku bicara di luar agar Mawar tidak mendengar. Kalau ada maunya saja semua harus di turuti. Termasuk dalam hal berdebat. Membuat capek saja. "Aku tanya hp yang mana? Kalau hp biasa selalu kamu bawa. Kalau hp yang buat ngirim uang ke Bapak dan Ibu, aku saja tidak tahu dimana letaknya. Lantas kenapa kamu justru menuduhku." Tangan Mas Ragil sudah meraup daguku dengan kasar, Ia bahkan mendorong tubuhku hingga menabrak dinding. Meskipun hatiku sudah bergetar ketakutan, tapi mataku balik memandang Mas Ragil dengan tajam, "Jangan main-main sama aku Bunga. Tidak mungkin uang di rekeningku habis kalau bukan kamu yang mengirim."
Setelah Mas Ragil berangkat kerja, aku melihat kembali pesan mesra dan foto-foto tidak senonoh yang di kirim Arum di hp Mas Ragil. Rasanya aku ingin mengunggah foto-foto ini sekarang juga di sosial media dengan menggunakan akun palsu. Toh, tidak akan ada yang tahu karena semua keluarga Mas Ragil tidak ada yang paham tentang IT. Namun, otakku masih bekerja dengan waras. Perkataan Ibu setelah aku mantap menerima pinangan Mas Ragil kembali ternginag. Seberat apapun masalah kita, jangan sampai umbar aib suami. Kecuali jika tidak ada lagi orang yang bisa di mintai pertolongan. Dalam hal ini, aku masih punya Ibu dan adik laki-lakiku yang bernama Satrio. Hanya saja aku tidak mau membebani Ibu dengan masalah rumah tanggaku di usia senja. "Ibu. Telpon." Perkataan Mawar yang tengah bermain balok bekas milk keponakan Mas Ragil berhasil menarik perhatianku. Nama Satrio tertera di layar ponsel. Kuseka tangis yang mengalir tanpa kusadari agar Satrio tidak curiga. Jariku lalu menekan tombol hijau
"Ya sebagai sesamai pria kamu juga pasti paham Yo kalau anak laki-laki itu selamanya akan jadi milik Ibunya. Sudah jadi kewajiban Ragil untuk memberikan nafkah padaku dan memberikan sedikit uang jajan untuk semua keponakannya. Memang dasar Mawar saja yang cacingan. Di kasih makan sebanyak apapun tetap saja kurus. Jadi, jangan salahkan Ragil lagi. Dia sudah melakukan kewajibannya sebagai Bapak untuk Mawar." Jawab Ibu mertua tidak mau kalah. 'Astaghfirullah.' Aku hanya bisa berucap dalam hati. Sejak dulu memang Ibu Mas Ragil selalu mengutamakan cucu laki-laki daripada cucu perempuannya. Begitu juga dengan urusan anak. Karena itulah Mbak Yuni dan Mbak Sindi selalu mencari perhatian pada Ibu dengan ikut-ikutan membenciku. "Mawar jadi cacingan juga karena gizinya kurang. Kalau soal pernyataan anak laki-laki itu selamanya akan jadi milik Ibunya itu sudah salah kaprah. Menurut kyai saya, pria yang sudah menikah tetap harus berbakti pada orang tua terutama Ibunya. Tapi, kalau sudah tentang
“Bukan begitu Bu. Tapi, tolong hargai Bunga sebagai istriku. Apalagi disini juga ada Satrio.” Aku tercenung sejenak mendapat pembelaan dari Mas Ragil. Ada apa gerangan hingga suamiku yang biasa cuek ini membelaku di depan Ibunya? Tanpa mempedulikan pertengkaran di antara Ibu dan anak itu, aku segera masuk ke dalam kamar. Begitu juga dengan Satrio. Ku raih hp yang tergeletak di atas tempat tidur. Sejak tadi siang, aku sudah mengunduh aplkasi Tik Tik. Tapi, bukan itu tujuanku sekarang. Melainkan mengirim pesan pada Satrio. [Kenapa Mas Ragil bisa takut sama kamu Yo?] Sepuluh menit menunggu tidak ada pesan balasan dari Satrio. Anak itu pasti belum tidur. Kenapa pesanku tidak kunjung di balas? Aku jadi teringat pada makanan yang aku bawa masuk ke dalam kamar. Tidak ada lagi suara Ibu dan Mas Ragil di depan kamar. Aku membuka pintu lalu mengetuk pintu kamar Satrio dengan cepat. Tok.. tok.. tokkk Ketukku berulang kali. Tidak lama kemudian Satrio sudah membuka pintu kamar. Satrio membuka
“Aku mau bawa ke rumah sakit juga pakai uangnya Satrio. Bukan pakai uang Mas Ragil yang selalu pelit sama keluarganya sendiri. Sampai Mawar mungkin mengalami stunting.” Balasku tidak mau kalah. “Pakai uang orang lain kok bangga. Lagian kamu sendiri yang gagal merawat Mawar. Jangan menyalahkan Ragil terus.” Raut wajah Ibu mertua sudah berubah menjadi marah. “Jelas aku menyalahkan Mas Ragil. Buat makan empat sehat lima sempurna saja Mawar tidak bisa. Karena apa, karena semua uang Mas Ragil di berikan pada orang tuanya.” “Aku ini Ibunya Ragil. Selamanya Ragil wajib menafkahiku dan Bapaknya. Sedangkan kamu itu hanya orang lain yang kebetulan menjadi istrinya. Mentang-mentang sudah di bantu sama adik kamu, jadi berani melawan sekarang.” Rasanya sangat sakit mendengar balasan Ibu mertua. Namun, aku tetap berusaha tetap tegar. Tidak akan aku biarkan Ibu mertua merasa menang karena melihatku menangis lagi. “Lalu, kenapa Ibu mengijinkan Mas Ragil menikah denganku? Seharusnya sejak awal Ibu
Dengan langkah perlahan aku mundur dari balik pintu. Sudah tidak kuat lagi mendengar kata-kata mesra yang di lontarkan oleh Mas Ragil pada keponakannya sendiri. Air mataku kembali turun tanpa tertahankan. Ku usap air mata dengan cepat lalu nenggendong Mawar masuk ke dalam kamar. Untunglah Mawar bisa cepat tertidur setelah aku baringkan di atas tempat tidur. Air mata terus meleleh di pipi. Padahal aku sudah berjanji pada Satrio untuk tidak menangisi Mas Ragil lagi. Rasanya aku ingin berpisah sekarang juga. Tapi, di sisi lain aku tidak ingin menambah beban Ibu dengan kehadiranku dan Mawar. “Ya Allah. Kuatkanlah hamba. Mudah-mudahan Mas Ragil bisa berubah agar rumah tangga kami bisa bertahan selamanya. Tapi, jika tidak bisa mudah-mudahan suatu saat nanti hamba bisa sukses saat berpisah dari Mas Ragil.” Doaku sebelum memejamkan mata. Masih dapat aku dengar suara Mas Ragil yang masuk ke dalam kamar lalu membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur. Keesokan harinya aktivitas di mulai sepe
Mas Ragil langsung menggelengkan kepalanya. Ya ampun ternyata hanya masalah hutang pada Satrio bisa membuat Mas Ragil sangat ketakutan. Harga diri suamiku sebagai PNS memang sangat tinggi. Tidak heran jika dia tidak ingin nama baiknya tercoreng. “Ayo kita kesana mas. Sekalian beli baju buat Mawar. Kasihan sama anak sendiri. Masa bajunya lusuh seperti itu.” perkataan Satrio seketika membuat semua orang yang ada di sekitar kami menolehkan kepala mereka. Dari sudut mata dapat kulihat Arum yang berjalan pergi meninggalkan Omnya bersama kami. Walaupun awalnya tidak setuju, namun aku sangat puas dengan pertunjukkan yang di suguhkan oleh Satrio. “Oke. Ayo kita ke beli baju buat Mawar sayang.” Mas Ragil merangkul bahuku erat. Seolah menyalurkan kemarahannya padaku. “Ayo mas. Tapi, jangan peluk terlalu keras dong. Kasihan Mawar jadi ketakutan.” Tangan Mas Ragil seketika terlepas dari bahuku. Aku tidak bisa melihat ekspresi wajah Mas Ragil saat harus membayar semua barang belanjaan itu untu
“Apa? Kamu nuduh Ragil selingkuh? Jangan sembarangan ya Yo.” Seru Ibu mertua penuh amarah. “Iya. Saya nggak cuma nuduh. Saya punya buktinya kalau Mas Ragil sudah selingkuh sama orang lain. Karena saya tidak sengaja melihat mereka berdua berjalan di mall sambil bergandengan tangan mesra. Sayang sekali, saya tidak bisa memotret wajah selingkuhan Mas Ragil.” Kenapa Satrio justru membeberkan hal itu sekarang? Padahal kami sudah sepakat untuk tidak membiarkan Mas Ragil dan keluarganya tahu tentang perselingkuhan di antara Mas Ragil dan Arum. “Baik. Aku tidak akan pernah menagih gaji Ragil yang di berikan untuk membeli barang-barang Bunga dan Mawar hari ini. Kamu harus hapus foto itu sekarang juga.” Satrio mengambil hpnya. Kedua mataku membulat saat Satrio memperlihatkan foto Mas Ragil dengan seorang wanita. Tapi, aku tidak yakin jika itu bukan foto suamiku karena bentuk badannya yang berbeda. “Saya hapus sekarang. Puas kan Bude?” Foto itu sudah terhapus dari hp Satrio. “Sekarang silah