Share

Bab 2 Nekat

Aku memilih untuk duduk di teras depan. Tidak kupedulikan air mata yang terus mengalir. Apalagi perkataan Mawar yang terus bicara apapun yang sedang di lihatnya. Meskipun tubuhnya kurang gizi, namun Mawar sudah bisa bicara dengan lancar.

Pikiranku berkelana dengan telpon demi telpon yang di lakukan Mas Ragil dan Arum. Bagi orang asing, mereka akan terlihat seperti sepasang kekasih. Bukan Om dan keponakan. Pernah dulu aku menegur sikap Mas Ragil yang terlalu menempel pada Arum. Hasilnya aku yang di marahi habis-habisan.

Mereka berdua tidak malu untuk tampil mesra di depanku. Tapi, sikap mereka akan biasa saja saat ada mertua serta kakak Mas Ragil. Bisa di bilang di antara lima keponakan Mas Ragil, dia paling memanjakan Arum.

Bahkan jika keponakannya yang baru berumur lima tahun mencubit Arum, lalu di balas Arum dengan cubitan yang lebih keras hingga kulitnya berubah menjadi hitam. Maka, Mas Ragil justru akan memarahi keponakannya yang saat itu baru berumur lima tahun.

“Ibu.” Tangan kecil Mawar mengusap air mata di pipiku. Bukannya reda, tangisku justru semakin keras. Mata bening Mawar menatapku dengan tatapan polos. Anakku belum mengerti kenapa Ibunya bisa menangis sampai seperti ini.

“Maafkan Ibu nak. Harusnya kita bisa pergi dari rumah ini. Tapi, Ibu belum berani. Jangankan untuk makan nasi dan sayur, uang untuk beli beras saja Ibu tidak punya.” Aku kembali curhat pada putriku yang belum mengerti tentang masalah orang tuanya.

“Ayah.” Seru Mawar dengan jari kecilnya yang menunjuk ke dalam rumah. Meskipun selalu di acuhkan oleh Mas Ragil, Mawar memang kerap kali mencari keberadaan sang Ayah.

“Ayah lagi tidur sayang. Mawar mau masuk ke dalam kamar?” Mawar justru menggelengkan kepalanya.

“Mau disini aja.” Aku hanya bisa menganggukan kepala dengan tangan yang terus menepuk punggung Mawar agar mau tidur malam ini. Meskipun butuh waktu beberapa jam.

Tiga jam kemudian, kelopak mata Mawar perlahan tertutup. Aku kembali masuk ke dalam rumah. Tidak lupa mengunci pintu depan lalu masuk ke dalam kamar. Ku baringkan Mawar di tengah tempat tidur.

Jarum jam sudah menunjukkan pukul dua belas lewat lima belas menit malam. Ponselku tidak sengaja terjatuh di bawah tempat tidur. Tubuhku menunduk untuk meraih ponsel. Rupanya ponselku berada tepat di tengah.

Aku berjalan di bawah tempat tidur lalu mengambil ponsel. Agar kepalaku tidak terantuk ranjang, aku mendongakan kepala. Saat itulah, aku melihat sebuah kotak yang menemplek di bawah ranjang.

Sisi kanan kotak itu terbuka hingga aku bisa melihat sebuah ponsel. Gegas aku ambil ponsel itu. Ini adalah ponsel kedua Mas Ragil yang di gunakan khusus untuk mengirim uang pada keluarganya.

Dengan rasa penasaran yang menggebu, aku menekan layar ponsel. Terkunci. Hanya sidik jari Mas Ragil yang bisa membuka layar ponsel ini. Dadaku berdebar kencang saat aku mengambil tangan kanan Mas Ragil lalu menempelkan jari jempolnya ke ponsel.

Tidak bisa. Aku berganti dengan jari tengah untuk di tempelkan ke layar. Akhirnya layar ponsel itu terbuka. Tidak banyak fitur dalam ponsel ini. Hanya ada sebuah aplikasi yang tidak aku ketahui fungsinya.

Aku menekan aplikasi mobile banking. Karena pernah mengintip Mas Ragil saat memasukan pin ke dalam mobile banking, aku sudah hafal di luar kepala. Ikon tabungan sudah aku tekan. Mataku membulat saat melihat nominal sebesar lima juta rupiah.

Bukankah uang gaji Mas Ragil sudah di serahkan pada orang tuanya? Dia hanya menyimpan uang untuk membeli keperluan kami dan biaya bensinnya saja. Kenapa bisa ada sebanyak ini?

Sudahlah. Itu bisa di pikirkan nanti. Aku segera mengirimkan uang itu ke nomor rekening Ibuku yang masih aktif agar Mas Ragil tidak curiga. Jika dia memaksa untuk memeriksa buku rekeningku jumlahnya tidak akan bertambah

Namun, seandainya Mas Ragil bisa mengetahui sejumlah saldo yang masuk ke dalam nomor rekening Ibu, aku sudah punya alibi. Toh adik laki-lakiku yang kini bekerja di Semarang punya banyak uang untuk di kirimkan pada Ibu.

Aku segera mengembalikan ponsel ini ke tempatnya dengan posisi yang sama persis. Maafkan aku jika mencuri uangmu Mas. Tapi, aku sedang meminta hakku dan Mawar yang sudah kau abaikan selama ini.

***

Sarapan pagi memang makanan paling mewah untukku dan Mawar. Karena hanya di pagi hari aku bisa merasakan makan telur di tambah sambal. Telur setengah kilogram yang di beli Mas Ragil hanya boleh di masak untuk sarapan. Kadang di selingi dengan ayam yang di antarkan oleh Ibu mertua.

Karena untuk makan siang dan makan malam, suamiku akan pergi ke rumah orang tuanya agar bisa makan enak. Sedangkan aku dan Mawar hanya di biarkan makan seadanya dengan sayur. Jika bahan makanan habis seperti kemarin, aku dan putriku harus menahan lapar sambil menunggu kepulangan Mas Ragil dari rumah orang tuanya.

Mas Ragil sudah duduk di kursi dengan seragamnya sebagai guru. Dia mengeluarkan sebuah kotak makan yang berisi ayam rica-rica.

“Panaskan makanan ini untuk kita. Jangan lagi kamu bilang jika aku lebih peduli pada Arum.” Mataku membulat tidak percaya. Tanpa menanggapi perkataannya aku mengambil kotak makan itu lalu menghangatkannya di wajan.

Meskipun dalam hati aku di liputi banyak pertanyaan. Aneh sekali Mas Ragil tiba-tiba mau memberikan daging ayam hanya karena aku membahas tentang gizi Mawar. Sudah berulang kali aku mengeluhkan hal itu. Tapi, yang ada Mas Ragil justru marah padaku.

Mawar menghabiskan ayam rica-riba dengan lahap. Sesekali aku melirik ke arah layar ponsel Mas Ragil. Ternyata dia sedang berkirim pesan dengan Arum. Apa perubahan sikap Mas Ragil tadi ada hubunganya dengan Arum? Karena tadi malam aku membahas perbedaan sikapnya pada Arum dan Mawar.

Setelah selesai sarapan, Mas Ragil bangkit dari kursi. Dia tidak mengatakan apapun padaku sampai masuk ke dalam kamar. Penampilan Mas Ragil sudah rapi dengan memakai baju dinas dan kopiah yang menandakan jika dia adalah guru agama.

“Aku pergi dulu.”

“Iya mas.” Aku menyalami tangannya. Di susul dengan Mawar. 

Sambil menggendong Mawar yang sudah selesai makan, aku mengikuti langkah Mas Ragil untuk mengantar kepergiannya. Dia menyapa para tetangga dengan senyum yang sangat ramah. Sangat berbanding terbalik dengan perangainya ketika berada di dalam rumah.

Para bapak-bapak masih menanggapi dengan ramah. Berbeda dengan para Ibu-ibu. Mereka yang kasihan pada perkembangan tumbuh Mawar tentu saja merasa kesal pada Mas Ragil. Aku hanya bisa terus bersabar dan berharap agar Mas Ragil bisa berubah.

Jika Mas Ragil tidak bisa berubah, aku hanya bisa berharap suatu saat akan menemukan pekerjaan yang cocok untuk menghidupi diriku dan Mawar. Seandainya aku tidak sanggup lagi bertahan dengan Mas Ragil dalam pernikahan yang sangat menyiksa ini.

Malam harinya, aku dan Mawar hanya makan berdua dengan sayur bening saja. Sedangkan Mas Ragil pasti makan makanan enak di rumah orang tuanya. Dia kan menikahiku karena aku gampang di atur dan dari keluarga miskin.

Setelah sholat isya’ Mas Ragil baru pulang ke rumah. Suamiku itu langsung mandi lalu merebahkan dirinya di atas tempat tidur. Aku yang baru saja masuk ke dalam kamar melihat wajah Mas Ragil memerah.

“Apa kamu menyentuh hpku hari ini Nga?” Tanya Mas Ragil dengan suara yang sangat menakutkan.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Wahyu Sudaryanti
kn masih pny hp jual hp dan kabur sama anaknya gak miskin2 amat lah,adiknya masih bisa ngirim duit pke rekening
goodnovel comment avatar
Umi Elly
klo menurut aku sih tinggalin aja suami kaya gitu ...untuk kedepan ny selama kita masih di beri akal sehat dn badan yg kuat gmn nanti
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status