“Ibu. Aku lapar.” Suara tangis Mawar terus bergema di dalam rumah ini. Aku menggendong anakku yang baru berumur dua tahun agar bisa tenang.
Tidak hanya Mawar yang menangis karena kelaparan. Aku juga menangis meratapi nasibku. Di umur Mawar yang sudah menginjak usia dua tahun, bobotnya hanya tujuh kilogram saja. Banyak para tetangga yang mengatakan jika Mawar terlalu kurus untuk anak seusianya.
“Sabar ya sayang. Sebentar lagi Ayah pulang. Mudah-mudahan Ayah belikan makanan matang untuk kita.” Kataku dengan suara serak. Mencoba menghibur Mawar yang masih terus menangis.
Maklum saja. Sudah lebih dari dua belas jam berlalu sejak makan siang yang menunya hanya nasi campur garam. Bahan makanan yang di sediakan Mas Ragil, suamiku, sudah habis untuk sarapan tadi pagi.
Beras di ember juga sudah habis. Jadilan aku dan Mawar belum bisa makan malam. Jika keadaannya seperti ini, maka aku harus menunggu Mas Ragil pulang. Dia sudah janji akan membawa beras dan bahan makanan untuk makan kami tiga hari ke depan.Karena sudah kelelahan menangis, Mawar akhirnya tidur. Aku membaringkan putriku di atas tempat tidur yang cukup besar. Tanganku memang menepuk tubuh Mawar agar tidak terbangun, tapi pikiranku terus berkelana.
Kenapa aku harus terjebak pernikahan dengan Mas Ragil? Bagaimana caranya untuk pisah dari suamiku jika aku sama sekali tidak memegang uang sepeserpun? Lalu, jika aku memutuskan berpisah dengan cara apa aku dan Mawar akan makan?
Itulah pertanyaan yang bergelayut dalam benakku setiap hari. Meskipun hanya lara yang kudapat dalam pernikahan ini, tapi aku belum punya keberanian untuk berpisah dari Mas Ragil.
Tok… tok.. tok…
Suara ketukan di pintu depan membuatku segera bangun. Itu pasti Mas Ragil.
“Bunga. Cepat buka pintunya.”
“Iya. Tunggu sebentar mas.”
Cklek
Mas Ragil langsung masuk ke dalam rumah tanpa menyapaku. Aku kembali mengunci pintu depan lalu mengikuti langkahnya ke dapur. Suamiku itu meletakan dua kantung plastik berisi beras dan bahan makanan.
Dengan semangat aku membuka kantung plastik berisi bahan makanan. Rasa sedih dan kecewa segera bergelayut dalam hatiku. Apa yang aku harapkan? Mas Ragil akan membelikan ikan, ayam atau daging? Itu semua hanya mimpi.
“Kamu hemat bahan makanan itu untuk seminggu ke depan. Uang jatahmu harus aku potong untuk jajan Arum di kota.”
Arum adalah anak dari kakak iparku yang baru menempuh pendidikan sarjana di kota ini. Namun, gadis itu memilih untuk tinggal di rumah kos agar bisa bertemu dengan teman-temannya. Mas Ragil di wajibkan oleh Bapak dan Ibu mertua untuk memberikan tambahan uang jajan Arum. Padahal posisinya hanya sebagai keponakan saja.
“Aku sudah banyak mengalah untuk keluarga kamu selama ini mas. Tapi, tolong jangan abaikan anak kita untuk Arum. Kamu harus lebih mengutamakan kebutuhan Mawar daripada Arum.” Tanpa sadar suaraku mulai meninggi. Mengungkapkan rasa kesal yang sudah lama aku pendam.
Kalau untuk keluarganya saja. Mas Ragil langsung akan memberi tanpa batas. Tapi, untuk kebutuhanku dan Mawar, Mas Ragil selalu membatasi. Hanya karena alasan semua kebutuhan rumah seperti bayar listrik, air, iuran RT sudah di bayar semua olehnya.
Setiap minggu, Mas Ragil akan membelikan bahan masakan dua kali saja. Itu pun hanya berisi sayur kangkung, sayur bayam, tomat dan wortel yang harganya terbilang murah. Sedangkan persediaan beras, gula, garam,teh, kopi dan rempah-rempah yang lain juga sudah di beli oleh Mas Ragil.
“Kamu berani mengaturku hah?” Hardik Mas Ragil tidak terima karena aku sudah meninggikan suara padanya.
“Kenapa kamu harus marah jika aku mengatakan yang sebenarnya. Kamu itu guru agama di SMA. Tapi, untuk masalah nafkah pada anak dan istri saja tidak tahu.”
PLAK
Tubuhku terhuyung ke belakang hingga punggungku membentur kursi. Kugigit bibir untuk menahan rintihan yang akan keluar. Mata Mas Ragil sudah menatapku dengan nyalang.
“Jangan coba-coba untuk bicara masalah nafkah. Karena aku adalah kepala rumah tangga yang harus kau taati.” Entah kenapa kali ini aku berani membalas tatapan mata Mas Ragil.
Jika sudah menyangkut masalah Arum. Emosiku langsung naik ke ubun-ubun. Mas Ragil yang sangat royal pada keponakannya membuat sakit hati mengingat bahan masakan yang selalu ia belikan untuk kebutuhan makan Mawar.
Air mata sudah tidak bisa aku tahan lagi. Hingga mengalir di pipi. Dengan cepat kuusap air mata di pipi. “Kalau kamu membelikan makanan yang layak untuk Mawar, aku tidak akan pernah protes seperti ini. Tapi, kenyataannya bu bidan mengatakan jika Mawar kurang gizi. Usia anak kita sudah dua tahun lebih mas. Kamu tahu berapa bobot tubuh Mawar hah?”
Tangan Mas Ragil yang tadinya mengepal karena marah akhirnya mengendur. Matanya yang semula menatap nyalang ke arahku kini ia alihkan ke lantai.
“Bobot tubuh Mawar itu cuma tujuh kilogram mas. Untuk anak usia dua tahun itu sangat kurang. Hiks.” Isakan tangis sudah meluncur dari bibirku.
“Sudahlah jangan cengeng seperti itu. Nanti Mawar juga bisa tinggi kok. Nggak masalah bobot tubuhnya rendah. Besok aku tanya pada Ibu apa bisa membelikan lebih banyak makanan untuk kalian. Aku lelah. Mau mandi dulu.”
Selalu seperti itu. Masalah apapun akan di tanyakan Mas Ragil pada Ibunya. Padahal ia selalu bilang suami adalah kepala rumah tangga dan imam yang harus selalu di taati. Namun, ia sendiri tidak pernah menganggapku sebagai makmum.
Tubuhku masih bergetar saat aku membuka bungkusan berisi beras. Segera kucuci seperempatnya saja untuk makan malam ini dan besok pagi. Setidaknya perutku dan Mawar harus terisi malam ini.
***
“Bunga.”
Aku baru saja memasukan sayur ke dalam panci saat suara teriakan Mas Ragil bersamaan dengan suara tangis Mawar terdengar dari dalam kamar. Aku mematikan kompor lalu berjalan menuju kamar. Tampak Mas Ragil menutup telinga dengan bantal di atas tempat tidur.
“Cepat ambil anak kamu. Berisik banget sih.”
“Mawar anak kamu juga mas.” Jawabku lalu membawa Mawar dalam gendongan. Sedangkan Mas Ragil hanya mendengus tidak peduli.
Kalau yang merengek keponakan-keponakannya saja, Mas Ragil akan dengan sigap menggendong. Apalagi kalau yang menangis itu Arum. Sudah seperti pria yang menenangkan kekasihnya. Mengingat jarak umur Arum dan Mas Ragil hanya enam tahun saja.
Aku mengambil kain jarik untuk menggendong Mawar. Langkahku sudah menuju dapur untuk kembali memasak. Sayur bening sudah matang beberapa menit kemudian. Aku dan Mawar akhirnya bisa makan dengan nasi dan sayur bening.
Karena sudah tertidur tadi, tidak mudah untuk menidurkan Mawar lagi. Malam ini aku harus begadang lagi agar Mawar mau tidur. Aku hendak masuk ke dalam kamar untuk mengambil ponsel sebagai teman begadang di luar.
“Iya Rum. Besok Om kirimkan yang banyak untuk kamu. Tenang saja. Jika saham yang Om beli naik malam ini, besok akan Om cairkan untuk kamu.”
Saham? Mas Ragil membeli saham? Tapi, dia tidak pernah mengatakan hal itu padaku.
“Tenang saja. Tidak ada yang tahu. Termasuk Kakung dan Uti.” Mas Ragil terdengar tertawa di dalam kamar.
“Apalagi si Bunga. Tidak akan pernah aku beri tahu. Lagian sudah tugas istri untuk menerima berapun nafkah yang di berikan suami. Kau serta Kakung dan Uti lebih berharga untuk Om. Lagian Bunga tidak akan pernah berani minta berpisah karena tidak punya uang.”
Tes.
Setitik air mata kembali menetes ke pipiku. Semua hal yang di katakan Mas Ragil itu memang benar. Ya Allah. Sampai kapan aku harus bertahan dalam rumah tangga ini?
Aku memilih untuk duduk di teras depan. Tidak kupedulikan air mata yang terus mengalir. Apalagi perkataan Mawar yang terus bicara apapun yang sedang di lihatnya. Meskipun tubuhnya kurang gizi, namun Mawar sudah bisa bicara dengan lancar. Pikiranku berkelana dengan telpon demi telpon yang di lakukan Mas Ragil dan Arum. Bagi orang asing, mereka akan terlihat seperti sepasang kekasih. Bukan Om dan keponakan. Pernah dulu aku menegur sikap Mas Ragil yang terlalu menempel pada Arum. Hasilnya aku yang di marahi habis-habisan. Mereka berdua tidak malu untuk tampil mesra di depanku. Tapi, sikap mereka akan biasa saja saat ada mertua serta kakak Mas Ragil. Bisa di bilang di antara lima keponakan Mas Ragil, dia paling memanjakan Arum. Bahkan jika keponakannya yang baru berumur lima tahun mencubit Arum, lalu di balas Arum dengan cubitan yang lebih keras hingga kulitnya berubah menjadi hitam. Maka, Mas Ragil justru akan memarahi keponakannya yang saat itu baru berumur lima tahun. “Ibu.” Tangan
"Hp yang mana mas?" Tanyaku pura-pura tidak tahu. Aku membawa Mawar masuk ke dalam kamar. Anehnya Mas Ragil berjalan mengikutiku di belakang. Tanpa mempedulikan keberadaan suamiku itu aku menidurkan Mawar di atas tempat tidur. "Jangan pura-pura tidak tahu seperti itu. Kamu kan yang sudah membuka hpku." Aku seketika menoleh pada Mas Ragil. Apa tidak bisa dia mengajakku bicara di luar agar Mawar tidak mendengar. Kalau ada maunya saja semua harus di turuti. Termasuk dalam hal berdebat. Membuat capek saja. "Aku tanya hp yang mana? Kalau hp biasa selalu kamu bawa. Kalau hp yang buat ngirim uang ke Bapak dan Ibu, aku saja tidak tahu dimana letaknya. Lantas kenapa kamu justru menuduhku." Tangan Mas Ragil sudah meraup daguku dengan kasar, Ia bahkan mendorong tubuhku hingga menabrak dinding. Meskipun hatiku sudah bergetar ketakutan, tapi mataku balik memandang Mas Ragil dengan tajam, "Jangan main-main sama aku Bunga. Tidak mungkin uang di rekeningku habis kalau bukan kamu yang mengirim."
Setelah Mas Ragil berangkat kerja, aku melihat kembali pesan mesra dan foto-foto tidak senonoh yang di kirim Arum di hp Mas Ragil. Rasanya aku ingin mengunggah foto-foto ini sekarang juga di sosial media dengan menggunakan akun palsu. Toh, tidak akan ada yang tahu karena semua keluarga Mas Ragil tidak ada yang paham tentang IT. Namun, otakku masih bekerja dengan waras. Perkataan Ibu setelah aku mantap menerima pinangan Mas Ragil kembali ternginag. Seberat apapun masalah kita, jangan sampai umbar aib suami. Kecuali jika tidak ada lagi orang yang bisa di mintai pertolongan. Dalam hal ini, aku masih punya Ibu dan adik laki-lakiku yang bernama Satrio. Hanya saja aku tidak mau membebani Ibu dengan masalah rumah tanggaku di usia senja. "Ibu. Telpon." Perkataan Mawar yang tengah bermain balok bekas milk keponakan Mas Ragil berhasil menarik perhatianku. Nama Satrio tertera di layar ponsel. Kuseka tangis yang mengalir tanpa kusadari agar Satrio tidak curiga. Jariku lalu menekan tombol hijau
"Ya sebagai sesamai pria kamu juga pasti paham Yo kalau anak laki-laki itu selamanya akan jadi milik Ibunya. Sudah jadi kewajiban Ragil untuk memberikan nafkah padaku dan memberikan sedikit uang jajan untuk semua keponakannya. Memang dasar Mawar saja yang cacingan. Di kasih makan sebanyak apapun tetap saja kurus. Jadi, jangan salahkan Ragil lagi. Dia sudah melakukan kewajibannya sebagai Bapak untuk Mawar." Jawab Ibu mertua tidak mau kalah. 'Astaghfirullah.' Aku hanya bisa berucap dalam hati. Sejak dulu memang Ibu Mas Ragil selalu mengutamakan cucu laki-laki daripada cucu perempuannya. Begitu juga dengan urusan anak. Karena itulah Mbak Yuni dan Mbak Sindi selalu mencari perhatian pada Ibu dengan ikut-ikutan membenciku. "Mawar jadi cacingan juga karena gizinya kurang. Kalau soal pernyataan anak laki-laki itu selamanya akan jadi milik Ibunya itu sudah salah kaprah. Menurut kyai saya, pria yang sudah menikah tetap harus berbakti pada orang tua terutama Ibunya. Tapi, kalau sudah tentang
“Bukan begitu Bu. Tapi, tolong hargai Bunga sebagai istriku. Apalagi disini juga ada Satrio.” Aku tercenung sejenak mendapat pembelaan dari Mas Ragil. Ada apa gerangan hingga suamiku yang biasa cuek ini membelaku di depan Ibunya? Tanpa mempedulikan pertengkaran di antara Ibu dan anak itu, aku segera masuk ke dalam kamar. Begitu juga dengan Satrio. Ku raih hp yang tergeletak di atas tempat tidur. Sejak tadi siang, aku sudah mengunduh aplkasi Tik Tik. Tapi, bukan itu tujuanku sekarang. Melainkan mengirim pesan pada Satrio. [Kenapa Mas Ragil bisa takut sama kamu Yo?] Sepuluh menit menunggu tidak ada pesan balasan dari Satrio. Anak itu pasti belum tidur. Kenapa pesanku tidak kunjung di balas? Aku jadi teringat pada makanan yang aku bawa masuk ke dalam kamar. Tidak ada lagi suara Ibu dan Mas Ragil di depan kamar. Aku membuka pintu lalu mengetuk pintu kamar Satrio dengan cepat. Tok.. tok.. tokkk Ketukku berulang kali. Tidak lama kemudian Satrio sudah membuka pintu kamar. Satrio membuka
“Aku mau bawa ke rumah sakit juga pakai uangnya Satrio. Bukan pakai uang Mas Ragil yang selalu pelit sama keluarganya sendiri. Sampai Mawar mungkin mengalami stunting.” Balasku tidak mau kalah. “Pakai uang orang lain kok bangga. Lagian kamu sendiri yang gagal merawat Mawar. Jangan menyalahkan Ragil terus.” Raut wajah Ibu mertua sudah berubah menjadi marah. “Jelas aku menyalahkan Mas Ragil. Buat makan empat sehat lima sempurna saja Mawar tidak bisa. Karena apa, karena semua uang Mas Ragil di berikan pada orang tuanya.” “Aku ini Ibunya Ragil. Selamanya Ragil wajib menafkahiku dan Bapaknya. Sedangkan kamu itu hanya orang lain yang kebetulan menjadi istrinya. Mentang-mentang sudah di bantu sama adik kamu, jadi berani melawan sekarang.” Rasanya sangat sakit mendengar balasan Ibu mertua. Namun, aku tetap berusaha tetap tegar. Tidak akan aku biarkan Ibu mertua merasa menang karena melihatku menangis lagi. “Lalu, kenapa Ibu mengijinkan Mas Ragil menikah denganku? Seharusnya sejak awal Ibu
Dengan langkah perlahan aku mundur dari balik pintu. Sudah tidak kuat lagi mendengar kata-kata mesra yang di lontarkan oleh Mas Ragil pada keponakannya sendiri. Air mataku kembali turun tanpa tertahankan. Ku usap air mata dengan cepat lalu nenggendong Mawar masuk ke dalam kamar. Untunglah Mawar bisa cepat tertidur setelah aku baringkan di atas tempat tidur. Air mata terus meleleh di pipi. Padahal aku sudah berjanji pada Satrio untuk tidak menangisi Mas Ragil lagi. Rasanya aku ingin berpisah sekarang juga. Tapi, di sisi lain aku tidak ingin menambah beban Ibu dengan kehadiranku dan Mawar. “Ya Allah. Kuatkanlah hamba. Mudah-mudahan Mas Ragil bisa berubah agar rumah tangga kami bisa bertahan selamanya. Tapi, jika tidak bisa mudah-mudahan suatu saat nanti hamba bisa sukses saat berpisah dari Mas Ragil.” Doaku sebelum memejamkan mata. Masih dapat aku dengar suara Mas Ragil yang masuk ke dalam kamar lalu membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur. Keesokan harinya aktivitas di mulai sepe
Mas Ragil langsung menggelengkan kepalanya. Ya ampun ternyata hanya masalah hutang pada Satrio bisa membuat Mas Ragil sangat ketakutan. Harga diri suamiku sebagai PNS memang sangat tinggi. Tidak heran jika dia tidak ingin nama baiknya tercoreng. “Ayo kita kesana mas. Sekalian beli baju buat Mawar. Kasihan sama anak sendiri. Masa bajunya lusuh seperti itu.” perkataan Satrio seketika membuat semua orang yang ada di sekitar kami menolehkan kepala mereka. Dari sudut mata dapat kulihat Arum yang berjalan pergi meninggalkan Omnya bersama kami. Walaupun awalnya tidak setuju, namun aku sangat puas dengan pertunjukkan yang di suguhkan oleh Satrio. “Oke. Ayo kita ke beli baju buat Mawar sayang.” Mas Ragil merangkul bahuku erat. Seolah menyalurkan kemarahannya padaku. “Ayo mas. Tapi, jangan peluk terlalu keras dong. Kasihan Mawar jadi ketakutan.” Tangan Mas Ragil seketika terlepas dari bahuku. Aku tidak bisa melihat ekspresi wajah Mas Ragil saat harus membayar semua barang belanjaan itu untu