Share

Sikap Suami Yang Berbeda Padaku
Sikap Suami Yang Berbeda Padaku
Penulis: Alita novel

Bab 1 Penderitaanku

“Ibu. Aku lapar.” Suara tangis Mawar terus bergema di dalam rumah ini. Aku menggendong anakku yang baru berumur dua tahun agar bisa tenang.

Tidak hanya Mawar yang menangis karena kelaparan. Aku juga menangis meratapi nasibku. Di umur Mawar yang sudah menginjak usia dua tahun, bobotnya hanya tujuh kilogram saja. Banyak para tetangga yang mengatakan jika Mawar terlalu kurus untuk anak seusianya.

“Sabar ya sayang. Sebentar lagi Ayah pulang. Mudah-mudahan Ayah belikan makanan matang untuk kita.” Kataku dengan suara serak. Mencoba menghibur Mawar yang masih terus menangis.

Maklum saja. Sudah lebih dari dua belas jam berlalu sejak makan siang yang menunya hanya nasi campur garam. Bahan makanan yang di sediakan Mas Ragil, suamiku, sudah habis untuk sarapan tadi pagi.

Beras di ember juga sudah habis. Jadilan aku dan Mawar belum bisa makan malam. Jika keadaannya seperti ini, maka aku harus menunggu Mas Ragil pulang. Dia sudah janji akan membawa beras dan bahan makanan untuk makan kami tiga hari ke depan.

Karena sudah kelelahan menangis, Mawar akhirnya tidur. Aku membaringkan putriku di atas tempat tidur yang cukup besar. Tanganku memang menepuk tubuh Mawar agar tidak terbangun, tapi pikiranku terus berkelana.

Kenapa aku harus terjebak pernikahan dengan Mas Ragil? Bagaimana caranya untuk pisah dari suamiku jika aku sama sekali tidak memegang uang sepeserpun? Lalu, jika aku memutuskan berpisah dengan cara apa aku dan Mawar akan makan?

Itulah pertanyaan yang bergelayut dalam benakku setiap hari. Meskipun hanya lara yang kudapat dalam pernikahan ini, tapi aku belum punya keberanian untuk berpisah dari Mas Ragil.

Tok… tok.. tok…

Suara ketukan di pintu depan membuatku segera bangun. Itu pasti Mas Ragil.

“Bunga. Cepat buka pintunya.”

“Iya. Tunggu sebentar mas.”

Cklek

Mas Ragil langsung masuk ke dalam rumah tanpa menyapaku. Aku kembali mengunci pintu depan lalu mengikuti langkahnya ke dapur. Suamiku itu meletakan dua kantung plastik berisi beras dan bahan makanan.

Dengan semangat aku membuka kantung plastik berisi bahan makanan. Rasa sedih dan kecewa segera bergelayut dalam hatiku. Apa yang aku harapkan? Mas Ragil akan membelikan ikan, ayam atau daging? Itu semua hanya mimpi.

“Kamu hemat bahan makanan itu untuk seminggu ke depan. Uang jatahmu harus aku potong untuk jajan Arum di kota.” 

Arum adalah anak dari kakak iparku yang baru menempuh pendidikan sarjana di kota ini. Namun, gadis itu memilih untuk tinggal di rumah kos agar bisa bertemu dengan teman-temannya. Mas Ragil di wajibkan oleh Bapak dan Ibu mertua untuk memberikan tambahan uang jajan Arum. Padahal posisinya hanya sebagai keponakan saja.

“Aku sudah banyak mengalah untuk keluarga kamu selama ini mas. Tapi, tolong jangan abaikan anak kita untuk Arum. Kamu harus lebih mengutamakan kebutuhan Mawar daripada Arum.” Tanpa sadar suaraku mulai meninggi. Mengungkapkan rasa kesal yang sudah lama aku pendam.

Kalau untuk keluarganya saja. Mas Ragil langsung akan memberi tanpa batas. Tapi, untuk kebutuhanku dan Mawar, Mas Ragil selalu membatasi. Hanya karena alasan semua kebutuhan rumah seperti bayar listrik, air, iuran RT sudah di bayar semua olehnya.

Setiap minggu, Mas Ragil akan membelikan bahan masakan dua kali saja. Itu pun hanya berisi sayur kangkung, sayur bayam, tomat dan wortel yang harganya terbilang murah. Sedangkan persediaan beras, gula, garam,teh, kopi dan rempah-rempah yang lain juga sudah di beli oleh Mas Ragil.

“Kamu berani mengaturku hah?” Hardik Mas Ragil tidak terima karena aku sudah meninggikan suara padanya.

“Kenapa kamu harus marah jika aku mengatakan yang sebenarnya. Kamu itu guru agama di SMA. Tapi, untuk masalah nafkah pada anak dan istri saja tidak tahu.”

PLAK

Tubuhku terhuyung ke belakang hingga punggungku membentur kursi. Kugigit bibir untuk menahan rintihan yang akan keluar. Mata Mas Ragil sudah menatapku dengan nyalang.

“Jangan coba-coba untuk bicara masalah nafkah. Karena aku adalah kepala rumah tangga yang harus kau taati.” Entah kenapa kali ini aku berani membalas tatapan mata Mas Ragil.

Jika sudah menyangkut masalah Arum. Emosiku langsung naik ke ubun-ubun. Mas Ragil yang sangat royal pada keponakannya membuat sakit hati mengingat bahan masakan yang selalu ia belikan untuk kebutuhan makan Mawar.

Air mata sudah tidak bisa aku tahan lagi. Hingga mengalir di pipi. Dengan cepat kuusap air mata di pipi. “Kalau kamu membelikan makanan yang layak untuk Mawar, aku tidak akan pernah protes seperti ini. Tapi, kenyataannya bu bidan mengatakan jika Mawar kurang gizi. Usia anak kita sudah dua tahun lebih mas. Kamu tahu berapa bobot tubuh Mawar hah?”

Tangan Mas Ragil yang tadinya mengepal karena marah akhirnya mengendur. Matanya yang semula menatap nyalang ke arahku kini ia alihkan ke lantai.

“Bobot tubuh Mawar itu cuma tujuh kilogram mas. Untuk anak usia dua tahun itu sangat kurang. Hiks.” Isakan tangis sudah meluncur dari bibirku.

“Sudahlah jangan cengeng seperti itu. Nanti Mawar juga bisa tinggi kok. Nggak masalah bobot tubuhnya rendah. Besok aku tanya pada Ibu apa bisa membelikan lebih banyak makanan untuk kalian. Aku lelah. Mau mandi dulu.”

Selalu seperti itu. Masalah apapun akan di tanyakan Mas Ragil pada Ibunya. Padahal ia selalu bilang suami adalah kepala rumah tangga dan imam yang harus selalu di taati. Namun, ia sendiri tidak pernah menganggapku sebagai makmum.

Tubuhku masih bergetar saat aku membuka bungkusan berisi beras. Segera kucuci seperempatnya saja untuk makan malam ini dan besok pagi. Setidaknya perutku dan Mawar harus terisi malam ini.

***

“Bunga.” 

Aku baru saja memasukan sayur ke dalam panci saat suara teriakan Mas Ragil bersamaan dengan suara tangis Mawar terdengar dari dalam kamar. Aku mematikan kompor lalu berjalan menuju kamar. Tampak Mas Ragil menutup telinga dengan bantal di atas tempat tidur.

“Cepat ambil anak kamu. Berisik banget sih.”

“Mawar anak kamu juga mas.” Jawabku lalu membawa Mawar dalam gendongan. Sedangkan Mas Ragil hanya mendengus tidak peduli.

Kalau yang merengek keponakan-keponakannya saja, Mas Ragil akan dengan sigap menggendong. Apalagi kalau yang menangis itu Arum. Sudah seperti pria yang menenangkan kekasihnya. Mengingat jarak umur Arum dan Mas Ragil hanya enam tahun saja.

Aku mengambil kain jarik untuk menggendong Mawar. Langkahku sudah menuju dapur untuk kembali memasak. Sayur bening sudah matang beberapa menit kemudian. Aku dan Mawar akhirnya bisa makan dengan nasi dan sayur bening.

Karena sudah tertidur tadi, tidak mudah untuk menidurkan Mawar lagi. Malam ini aku harus begadang lagi agar Mawar mau tidur. Aku hendak masuk ke dalam kamar untuk mengambil ponsel sebagai teman begadang di luar.

“Iya Rum. Besok Om kirimkan yang banyak untuk kamu. Tenang saja. Jika saham yang Om beli naik malam ini, besok akan Om cairkan untuk kamu.”

Saham? Mas Ragil membeli saham? Tapi, dia tidak pernah mengatakan hal itu padaku.

“Tenang saja. Tidak ada yang tahu. Termasuk Kakung dan Uti.” Mas Ragil terdengar tertawa di dalam kamar.

“Apalagi si Bunga. Tidak akan pernah aku beri tahu. Lagian sudah tugas istri untuk menerima berapun nafkah yang di berikan suami. Kau serta Kakung dan Uti lebih berharga untuk Om. Lagian Bunga tidak akan pernah berani minta berpisah karena tidak punya uang.”

Tes.

Setitik air mata kembali menetes ke pipiku. Semua hal yang di katakan Mas Ragil itu memang benar. Ya Allah. Sampai kapan aku harus bertahan dalam rumah tangga ini?

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Ika Damayanti
17 kilo dua tahun udah termasuk obesitas thor. wkwkwkw. anakku yg 12 kg aja tergolong normal
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status