Suara dentuman musik memekak telinga. Draco duduk di depan bartender sambil meminum minuman racikan dari bartender. Minuman alkohol yang diracik oleh bartender sejak tadi ditenggak oleh Draco. Pria itu memutuskan untuk pergi ke klub malam seorang diri. Kepalanya penat tidak dalam kondisi mood yang baik. Draco tidak langsung pulang, karena perasaannya masih jengkel dan kesal. Ingatannya teringat pada Elina yang mencari-cari masalah dengan membawa-bawa nama Mireya. Mood Draco berubah menjadi kesal dan emosi.“Tuan? Anda di sini?” Nigel yang kebetulan ada di klub malam, segera menghampiri Draco. Dia sama sekali tidak mengira tuannya berada di tempat yang sama dengannya.Draco menatap Nigel sekilas. “Kenapa kau ada di sini, Nigel?”“Tuan, saya memiliki janji bertemu dengan teman saya tadi,” jawab Nigel sopan memberi tahu.“Kau ingin pulang?” Draco bertanya pada asistennya. Dia meminta sang bartender meracik lagi minuman untuknya—tapi dia meminta agar alkoholnya jauh lebih kuat. Kepala pu
“Nona Luna, apa yang Anda lakukan?” Pelayan terkejut melihat Luna sibuk di dapur. Dengan sigap, pelayan itu menghampiri Luna, serta menatap sopan gadis itu yang tampak sibuk di dapur.Luna mengalihkan pandangannya, menatap sang pelayan. “Aku membuat soup kepiting untuk Draco.”Sang pelayan menjadi tidak enak. Dia khawatir mendapatkan amukan Draco, kalau sampai Luna membuatkan makanan. “Nona, biar saya saja yang memasak. Saya akan mengantarkan makanan ke kamar Anda.”Luna tersenyum lembut. “Aku sengaja memasak untuk Draco. Kau tidak usah mencemaskanku. Aku baik-baik saja.”Luna sengaja ingin membuatkan makanan untuk Draco. Kebetulan hari ini, pria itu sedang tidak berangkat ke kantor. Jadi Luna memanfaatkan keadaan yaitu membuatkan makanan untuk pria itu. Ini adalah keinginan Luna sejak lama.Sang pelayan tetap masih khawatir. “Nona, tapi—”Luna menyentuh lengan pelayan itu dan berkata sangat lembut, “Jangan khawatir. Draco tidak akan mungkin marah. Aku akan menjelaskan padanya sendiri
Luna tak lagi memikirkan perkataan menyakitkan Elina. Meski banyak hal yang muncul di dalam pikirannya, tapi dia mengurungkan niatnya bertanya pada Draco. Dia takut kalau pertanyaannya akan membuat Draco menjadi marah. Hal itu yang membuatnya memilih untuk diam.Luna mulai merasakan nyaman tinggal di penthouse milik Draco. Gadis itu sudah tidak terlalu takut seperti di awal. Malah sekarang yang Luna takutkan adalah berada di luar penthouse Draco.Bibinya mengincarnya. Hal tersebut yang membuat Luna sangat ketakutan. Bibinya tega menjualnya membuat tubuhnya menjadi bahan pertontonan banyak orang. Sungguh, itu meninggalkan trauma berat untuknya.Luna memang tak mengira dirinya akan berakhir tinggal di penthouse milik Draco. Namun mungkin memang ini yang terbaik. Jika dirinya masih tetap tinggal dengan bibinya, maka pasti yang dia akan digilir oleh para pria hidung belang.Membayangkan itu membuat Luna bergidik takut dan ngeri. Andai saja kedua orang tuanya masih ada di sini, maka pasti
Luna mengerjapkan mata beberapa kali di kala dirinya terbangun di tengah malam. Dia melihat ke samping—di mana Draco masih tertidur pulas. Entah kenapa gadis itu terbangun di tengah malam dengan kondisi suasana hati yang tak nyaman. Tenggorokan gadis itu terasa kering. Dia melihat ke atas meja, tapi minuman sudah kosong. Yang ada hanya sebotol wine. Tentu dia tidak bisa meminum minuman yang beralkohol. Luna menatap jam dinding—waktu menunjukkan pukul tiga pagi. Dia tidak mau membangunkan pelayan. Dia tak ingin mengganggu pelayan yang pastinya sudah tertidur pulas.Luna memutuskan untuk turun dari ranjang, dan melangkah keluar dari kamar. Gadis itu melangkah menuju ke ruang dapur untuk mengambil minuman dingin, demi menyegarkan tenggorkannya yang kering.Luna sengaja tidak membangunkan Draco, karena dia tak ingin mengganggu Draco dari tidurnya. Lagi pula, dia hanya pergi ke ruang dapur untuk waktu yang sebentar. Hanya untuk mengambil minuman. Tentu itu tidaklah lama. Di dapur, Lun
“Draco, hari ini kau jadi meeting di malam hari?” Luna bertanya sambil menatap lembut Draco yang sudah bersiap-siap pergi ke kantor. Gadis itu duduk di sofa. Saat pagi menyapa, dia dan Draco sarapan di kamar. Draco sedang ingin sarapan di kamar. Itu kenapa Luna menuruti keinginan pria itu.“Ya, hari ini aku memiliki meeting di malam hari. Mungkin, aku akan pulang terlambat. Kau tidurlah duluan. Tidak usah menungguku,” jawab Draco memberi tahu sambil menatap Luna. Dia tidak ingin membuat Luna menunggu. Hal tersebut yang membuatnya menyarankan Luna untuk tidur duluan.Entah kenapa hati Luna merasa tidak enak seolah ada yang mengganjal. Gadis itu bangkit berdiri dan memeluk tubuh Draco. Tampak Draco terdiam mendapatkan pelukan tiba-tiba dari Luna.Luna menyadari tindakannya yang sedikit aneh. Dia segera mengurai pelukan itu sambil berkata, “M-maaf.”Luna merutuki kebodohannya yang malah memeluk Draco secara tiba-tiba. Hatinya seolah memberikan komando untuk dirinya, memberikan pelukan pa
Luna tampak senang berkeliling supermarket. Bahan-bahan makanan sudah dia masukan ke dalam trolly. Ya, terlihat jelas kebahagiaan di wajah Luna. Selama ini, gadis itu terlalu banyak terkurung di dalam rumah. Jadi wajar kalau sekarang dirinya merasakan kebahagiaan di kala berada di luar.Luna bukan tidak suka berada di penthouse Draco. Malah gadis itu sekarang bersyukur bisa tinggal nyaman di rumah yang memberikannya kenyamanan. Meski awalnya diselimuti rasa takut, tapi perlahan dia sudah mulai terbiasa berada di penthouse pria itu.Luna lebih memilih tinggal dengan Draco, sekalipun terkadang sifat Draco kejam. Setidaknya Draco tidak pernah berniat untuk menjualnya. Berbeda dengan bibinya yang tega ingin menjualnya ke para pria hidung belang. “Nona, apa ada lagi yang ingin Anda beli?” tanya sang pelayan pada Luna. Dia bersama Luna masih berada di supermarket. Tampak jelas sang pelayan memancarkan wajah yang cemas dan khawatir.Luna mengetuk-ngetuk jemari di dagunya. Dia melihat bahan-
Draco melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. Sebentar lagi, pria itu akan memiliki jadwal meeting bertemu dengan salah satu client-nya, tapi entah kenapa hati dan pikirannya tertuju pada Luna. Draco seperti merasakan terjadi sesuatu hal yang terjadi. Namun, dia tak tahu apa yang terjadi itu. Sebelumnya dia meninggalkan rumah dalam keadaan baik-baik saja. Pun Luna tak akan mungkin berani pergi darinya.Embusan napas panjang terdengar. Draco kesal karena sekarang perasaannya sedang tidak baik-baik saja. Sialnya, hari ini dirinya memiliki meeting di malam hari, dan pastinya pulang akan terlambat.“Tuan?” Nigel menghampiri Draco.Draco menatap Nigel yang mendekat. “Hari ini apa jadwal meeting berubah?” tanyanya memastikan. Dia berharap bahwa adanya pembatalan meeting. Dalam kondisi hatinya tak nyaman, membuat Draco ingin segera pulang.“Tidak, Tuan. Meeting berjalan seperti rencana awal.” Nigel memberi tahu Draco.Draco menahan rasa kesal. Dia tetap terpaksa harus bersik
BrakkkDraco membanting kasar pintu mobilnya dan berlari menuju lift gedung apartemennya. Pria itu tinggal di penthouse—membuat dirinya harus berada di lantai tertinggi dari gedung mewah ini. Selama berada di dalam lift, perasaannya begitu campur aduk tidak menentu. Jantungnya sejak tadi berdebar. Sialnya, dia merasa bahwa pergerakan lift menuju lantai teratas dari gedung apartemen berjalan dengan sangat lambat.Draco tak henti meloloskan umpatan. Dia paling benci dalam kondisi yang tidak tenang seperti ini. Dia ingin segera tiba di penthouse-nya memeriksa sendiri. Dia bersumpah, tidak akan pernah memaafkan orang yang berani mengkhianatinya.Ting! Pintu lift terbuka. Draco keluar dari lift disusul dengan Nigel. Tampak jelas aura wajah kemarahan pria itu sangat menonjol dan seakan ingin meledak. Pria tampan itu telah terselimuti bara api kemarahan yang membakarnya. “Luna?” Draco masuk ke dalam penthouse. Pria itu menelusuri keberadaan Luna. Akan tetapi, sayangnya dia tak berhasil men