Share

Skandal Sang Pilot
Skandal Sang Pilot
Author: Aisyah J. Yanty

Curiga

Part 1

*****

[Nina, lo apa kabar?] bunyi chat Hesti, sahabatku. 

[Baik, Alhamdulillah. Lo gimana? Enak dong perjalanan ke Jepang.] balasku. Tak lupa emoticon sedih aku selipkan. 

[Iya, dong. Lo sih, pake resign segala. Kalau gak, kan kita masih bisa keliling dunia bareng lagi kayak dulu]

[Iya, sih. Tapi, Mas Thoriq gak ngasih gue ikut terbang lagi. Gimana dong?]

[Hahaha … Lo disuruh jadi istri sholeha doang kali, Nin. Kalau gue mah ogah.] Emoticon tertawa ia selipkan di akhir kalimat. 

[Eh, udah dulu ya. Pesawat mau take off nih. Btw, suami lo gue pinjam dulu ya.]

Deg. Tiba-tiba ada rasa tak nyaman menyergap, begitu membaca kalimat Hesti barusan. 

[Maksud lo, Hes?]

[Hahaha … becandaaa, Nina. Jangan baper deh. Udah ya. Pesawat mau take off. Hp gue matiin nih. Bye!]

Ponsel kututup dan meredup di pangkuan. Perasaan tak nyaman tiba-tiba muncul setelah percakapan tadi. Apa maksud ucapan Hesti tadi? 

'Ah, mungkin perasaanku saja', cepat kutepis prasangka buruk. Sepertinya aku sedang sensitif saja. Biasanya wanita tengah mendekati kelahiran, emosi sering tidak stabil.

Mas Thoriq seorang pilot sebuah maskapai swasta. Awal pertemuan kami juga karena aku bekerja sebagai pramugari pada maskapai yang sama, dan sering bertemu di jadwal penerbangan yang sama pula. 

Hanya saja, kehamilan ini menjadi alasan Mas Thoriq melarangku untuk terbang lagi. Katanya ia ingin aku menjadi istri yang baik di rumah. 

Bagiku tak masalah, jika itu demi kebaikan. Toh, kodrat wanita kan memang sebaiknya di rumah. Mengurus suami dan anak-anak kami kelak. 

Tanpa sengaja, aku melihat w******p story milik Hesti. Melihat jam unggahannya sepertinya sekitar setengah jam yang lalu.

Hanya ada hal yang tak biasa. Memang foto itu dilakukan beramai-ramai di flight deck. Tapi, kenapa tangan Mas Thoriq dan Hesti seperti bergandengan ya? 

Ada yang berdesir di dada. Dan itu membuat perutku sontak menegang keras. 

Cepat-cepat kuelus perutku sembari beristigfar. Aku tidak boleh stress. Kasihan bayi di kandunganku. 

____

Kulirik jam dinding di atas televisi flat di ruang tamu, sudah pukul 21.15 dan Mas Thoriq belum juga sampai. Sementara perjalanan Tokyo-Jakarta memakan waktu sekitar 7 jam 30 menit. Ditambah persiapan untuk pulang, katakanlah memakan waktu sekitar satu jam. 

Aku ingat, Hesti mengirimkan chat sekitar pukul delapan pagi tadi.

Sebaiknya aku coba bertanya pada sahabatku, Dinda. Dia juga pramugari senior di maskapai yang sama dengan aku dan Mas Thoriq. 

"Halo, Dinda."

"Ya, halo, Nina. Apa kabar lo? Kangen banget gue." Suara cempreng sahabatku itu, menyambut hangat telingaku. 

"Alhamdulillah, sehat, Din. Gue juga kangen banget sama elo."

"Oh ya, ada apa lo nelpon, Nina. Tumben."

"Jadwal flight lo sama gak sama Mas Thoriq?"

"Sama, Nin. Sama-sama ke Tokyo. Emangnya kenapa?"

"Eng, gak papa sih. Cuma lo tadi sampe jam berapa?"

"Kita landing jam empat sore. Beres-beres segala macam, ya langsung bubar pas jam setengah 6 sore gitu deh."

Aku terdiam. Perasaan mulai berkecamuk lagi. Kemana suamiku? Jarak bandara ke rumah kan tidak terlalu jauh. 

"Kenapa, Nin? Mas Thoriq belum pulang ya," tanya Dinda, hati-hati. 

Aku menghela napas. "Ya gitu deh. Sampe jam segini belum sampe juga."

"Assalamu'alaikum." Sepertinya itu suara Mas Thoriq. 

"Eh, udah dulu ya, Din. Kayaknya Mas Thoriq udah pulang tuh. Thank you, ya."

"Ya, sama-sama. Oh ya, Nina. Eng, kamu jaga Mas Thoriq baik-baik yah."

" Maksud kamu?" 

"Aku bukan mau menghasut kamu. Tapi, aku seperti menangkap gelagat aneh aja antara Mas Thoriq dan Hesti. Belum dapat bukti jelas sih. Cuma … bahasa tubuh mereka beda banget. Dan terlihat begitu mesra."

Deg. 

Aku tercenung. Perasaan khawatir seperti terwakili akan penjelasan Dinda. Hanya saja aku tidak boleh gegabah. Pelan-pelan aku akan mencari tahu terlebih dahulu. 

"Eh, udah dulu ya. Mas Thoriq udah manggil-manggil tuh di depan. Bye, Dinda."

"Bye, Nina."

Aku bergegas membukakan pintu untuk Mas Thoriq. Dan tetap berusaha tersenyum. Meski hati ini dilanda ribuan tanya dan kecurigaan. 

Seperti biasa, Mas Thoriq mengecup keningku lembut lalu beralih ke perut yang sudah memasuki usia kandungan delapan bulan. 

"Anak papa apa kabar? Bentar lagi kamu bakalan nongol nih. Papa udah gak sabar."

"Anaknya doang nih yang ditanya. Mamanya enggak?"

"Dih, Mamanya jealous ya." Mas Thoriq terkekeh. "Ya udah, Mamanya apa kabar?"

Tercium aroma parfum di hidungku. Parfum perempuan? 

"Kita ke kamar yuk. Mas capek banget."

Aku mengiringi langkah Mas Thoriq dari belakang. 

"Mas duluan aja. Aku mau letak pakaian kotor di belakang. 

"Ya udah, Mas duluan ya."

Sebelum meletakkan pakaian kotor ke dalam mesin cuci, kebiasaanku selalu memeriksa setiap kantong pakaian maupun celana milik Mas Thoriq. Sesekali aku menyesap kopi hangat yang tadi dibuatkan oleh Bik Irah. 

Jemari tanganku menangkap sesuatu. Seperti kotak kecil dan kertas-kertas. 

Alangkah terkejutnya ketika benda itu kutarik keluar. Sebuah kotak bungkus kontrasepsi dan selembar bon hotel. 

Tring. 

Dering aplikasi hijauku berbunyi. Dinda mengirimkan sebuah pesan. Sepertinya sebuah foto. Kubuka pesan dari Dinda. Dan ….

Praaang ....

Pandanganku sekejap terasa berkunang-kunang. Cangkir sisa kopi tadi yang hendak kudekatkan ke bibir, meluncur berderai di lantai. Begitu melihat foto Mas Thoriq tengah berpelukan dengan Hesti di sisi mobil BMW milik suamiku itu. Belum selesai persoalan kotak kontrasepsi dan bon hotel ini, sudah ditambah lagi dengan foto mesra Mas Thoriq dan sahabatku. 

Kuremas kotak kecil tersebut. Seketika itu pula otot perutku mengeras dan rasa mulas pun menjalari. 

Tidak! Jangan sampai aku melahirkan sebelum waktunya ....

_____

Hayoo pada nungguin kapan pilotnya tewas yakk😁😅

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Indra Fatiria
suami bgt seharusnya cepet matek.. koq persis dgn mantan suamiku yg piaraannya dimana2 kayak hewan
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status