Share

4.

Segala dugaanku benar, perang kembali dimulai antara aku dan Davira. Tidak, lebih tepatnya Davira sendiri yang menatap sengit tak suka padaku, mengeluarkan segala ujaran kebenciannya padaku sedangkan aku hanya diam saja dengan kepala tertunduk tanpa mampu melawannya.

Bukan karena aku lemah, tetapi karena aku masih menghargai kedua keluarga ini yang sangat baik padaku. Menghargai para orang tua yang sudah sangat berjasa dalam hidupku, untuk itu aku tidak mampu melawan hinaan cercaan dari Davira.

Sesungguhnya aku merasa tersakiti. Ya, siapapun pasti akan merasa terluka jika mendapat perlakuan tak menyenangkan dari seseorang.

"Hei, ngapain lo disini?" tanya Vira berteriak nyaring di dekatku.

Teriakan Davira langsung di jawab kemarahan mama Airaa dan papa Dava yang secara tak sengaja seperti membelaku. Dan itu membuat Davira semakin kesal padaku.

Ini bukanlah satu atau yang kedua kalinya, hal ini kerap terjadi apabila aku dan Davira saling di pertemukan. Karena hal inilah makanya tadi aku ngotot menolak tak ingin ikut pada Hasan. Tapi, si Hasan berengsek itu tetap pada pendiriannya sehingga tak menerima penolakanku.

Ruang makan yang tadinya sunyi senyap sebelum kehadiran Davira kini menjadi bising di isi oleh perdebatan dan keributan yang di buat gadis bar-bar itu.

Kenapa aku memanggil Davira dengan sebutan gadis bar-bar? Ya, karena tingkah dan penampilannya memang pantas mendapatkan predikat gadis bar-bar.

Kepalaku mendadak pusing dengan keributan ini, yang mampu ku lakukan hanya menundukkan wajah sembari memijit dahi dengan tangan yang menopang di meja makan.

Akhirnya, aku yang tak tahan pun berniat pergi dari sana agar keributan berhenti. Namun sayangnya, niatku di hentikan oleh seruan suara papa Dava yang melarangku, dan menyuruhku untuk tetap duduk di tempatku.

Awalnya aku ingin menolak keinginan papa Dava, tapi sekali lagi beliau memperingatiku. Aku pasrah, dan akhirnya mengalah dengan menuruti keinginannya.

Davira kembali mencecarku dengan segala hinaannya lagi, kali ini bunda Kia dan ayah Nando ikut angkat bicara. Hanya saja cara mereka berbeda, pasangan suami-istri itu lebih cenderung bersikap menenangkan Davira ketimbang dengan cara terang-terangan membelaku.

Sayangnya walaupun mereka membujuk Davira dengan cara yang sangat lembut, gadis itu tetap tak ingin berada satu meja makan jika aku ada di tengah-tengah keluarga ini.

Aku tidak tau dan tak mengerti, entah hal apa yang membuat Davira begitu membenciku. Berbeda sekali dengan Cavia, gadis itu meskipun tidak banyak bicara tetapi ia selalu bersikap baik dan manis bahkan sering bertegur sapa denganku.

Dia menghargaiku layaknya saudara kandung sendiri, bahkan panggilnya pun sopan memanggilku dengan sebutan kakak. Setidaknya, aku merasa seperti di anggap kakaknya sendiri oleh Cavia, gadis cantik yang murah tersenyum. Sama seperti bunda Kia.

"Davira cukup!" seruan lantang bersuara berat itu.

Sedikit terkejut aku mendongakkan kepala dan melihat Hasan yang hari ini tiba-tiba saja membelaku. Sesuatu hal yang sangat mengejutkan bagi semua orang, termasuk aku sendiri yang luar biasa kaget.

"Bagaimanapun juga, Ayesha masih dari bagian keluarga ini. Dia anak dari bibi Aisyah yang merupakan anak angkat dari adik nenek Nella, nenekku yang juga merupakan nenekmu. Aku harap kamu tidak melupakan fakta itu Vira." jelas Hasan seakan menegaskan jika ia tidak suka apabila salah satu dari keluarganya menghina diriku.

Davira tertawa sumbang, "aku cukup terkejut untuk hari ini bang. Ini untuk pertama kalinya bang Hasan membela wanita jalang itu setelah sekian lama aku melabraknya. Uwoww!" Davira bertepuk tangan ria seolah ia sedang menonton sebuah pertunjukan yang sangat menarik.

Aku melihat raut kemarahan yang tergambar jelas di wajah Hasan saat Davira mengataiku jalang. Seakan lelaki berengsek itu tak terima apabila seseorang mengataiku demikian, padahal sesungguhnya sangat jelas jika aku seperti jalang. Lebih tepatnya, jalang untuknya.

Tapi, meskipun begitu ada sebagian kebahagiaan yang terselip membuncah dadaku. Walaupun lebih banyak dari sebagian diriku yang membenci sosoknya.

Ya, aku sangat membencinya. Membenci segala bentuk perlakuannya.

"Aku sudah bilang bukan, jika aku tidak sudi jika harus duduk dan makan dalam satu meja bersama wanita itu." tunjuk Davira ke arahku, "kenapa kalian semua tidak ada yang bisa mengerti?!" jeritnya kali ini terlihat frustasi.

Sama frustasinya sepertiku, aku sungguh tak tahan dengan situasi ini. Ya Tuhan!

Terlihat papa Dava dan ayah Nando terlibat percakapan serius, yang aku dengar dari percakapan itu adalah jika ingin ini berakhir maka salah satu dari kami harus ada yang pergi.

Davira mengusulkan dirinya sendiri untuk pergi meninggalkan ruang makan ini, tapi terhalang oleh Hasan yang berseru dan memutuskan jika aku dan dirinya yang akan pergi dari sini.

Hasan melangkah mendekatiku, menyentuh tanganku sebagai isyarat untuk pergi dari sini. Aku bangkit berdiri dari dudukku yang langsung di tarik Hasan sedikit kasar menjauh dari sana.

Saat melewati Davira aku masih sempat melihatnya yang menatapku sinis seraya mendengkus kesal. Davira mengerakkan bibirnya tanpa suara membentuk kata, bitch!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status