Segala dugaanku benar, perang kembali dimulai antara aku dan Davira. Tidak, lebih tepatnya Davira sendiri yang menatap sengit tak suka padaku, mengeluarkan segala ujaran kebenciannya padaku sedangkan aku hanya diam saja dengan kepala tertunduk tanpa mampu melawannya.
Bukan karena aku lemah, tetapi karena aku masih menghargai kedua keluarga ini yang sangat baik padaku. Menghargai para orang tua yang sudah sangat berjasa dalam hidupku, untuk itu aku tidak mampu melawan hinaan cercaan dari Davira.
Sesungguhnya aku merasa tersakiti. Ya, siapapun pasti akan merasa terluka jika mendapat perlakuan tak menyenangkan dari seseorang.
"Hei, ngapain lo disini?" tanya Vira berteriak nyaring di dekatku.
Teriakan Davira langsung di jawab kemarahan mama Airaa dan papa Dava yang secara tak sengaja seperti membelaku. Dan itu membuat Davira semakin kesal padaku.
Ini bukanlah satu atau yang kedua kalinya, hal ini kerap terjadi apabila aku dan Davira saling di pertemukan. Karena hal inilah makanya tadi aku ngotot menolak tak ingin ikut pada Hasan. Tapi, si Hasan berengsek itu tetap pada pendiriannya sehingga tak menerima penolakanku.
Ruang makan yang tadinya sunyi senyap sebelum kehadiran Davira kini menjadi bising di isi oleh perdebatan dan keributan yang di buat gadis bar-bar itu.
Kenapa aku memanggil Davira dengan sebutan gadis bar-bar? Ya, karena tingkah dan penampilannya memang pantas mendapatkan predikat gadis bar-bar.
Kepalaku mendadak pusing dengan keributan ini, yang mampu ku lakukan hanya menundukkan wajah sembari memijit dahi dengan tangan yang menopang di meja makan.
Akhirnya, aku yang tak tahan pun berniat pergi dari sana agar keributan berhenti. Namun sayangnya, niatku di hentikan oleh seruan suara papa Dava yang melarangku, dan menyuruhku untuk tetap duduk di tempatku.
Awalnya aku ingin menolak keinginan papa Dava, tapi sekali lagi beliau memperingatiku. Aku pasrah, dan akhirnya mengalah dengan menuruti keinginannya.
Davira kembali mencecarku dengan segala hinaannya lagi, kali ini bunda Kia dan ayah Nando ikut angkat bicara. Hanya saja cara mereka berbeda, pasangan suami-istri itu lebih cenderung bersikap menenangkan Davira ketimbang dengan cara terang-terangan membelaku.
Sayangnya walaupun mereka membujuk Davira dengan cara yang sangat lembut, gadis itu tetap tak ingin berada satu meja makan jika aku ada di tengah-tengah keluarga ini.
Aku tidak tau dan tak mengerti, entah hal apa yang membuat Davira begitu membenciku. Berbeda sekali dengan Cavia, gadis itu meskipun tidak banyak bicara tetapi ia selalu bersikap baik dan manis bahkan sering bertegur sapa denganku.
Dia menghargaiku layaknya saudara kandung sendiri, bahkan panggilnya pun sopan memanggilku dengan sebutan kakak. Setidaknya, aku merasa seperti di anggap kakaknya sendiri oleh Cavia, gadis cantik yang murah tersenyum. Sama seperti bunda Kia.
"Davira cukup!" seruan lantang bersuara berat itu.
Sedikit terkejut aku mendongakkan kepala dan melihat Hasan yang hari ini tiba-tiba saja membelaku. Sesuatu hal yang sangat mengejutkan bagi semua orang, termasuk aku sendiri yang luar biasa kaget.
"Bagaimanapun juga, Ayesha masih dari bagian keluarga ini. Dia anak dari bibi Aisyah yang merupakan anak angkat dari adik nenek Nella, nenekku yang juga merupakan nenekmu. Aku harap kamu tidak melupakan fakta itu Vira." jelas Hasan seakan menegaskan jika ia tidak suka apabila salah satu dari keluarganya menghina diriku.
Davira tertawa sumbang, "aku cukup terkejut untuk hari ini bang. Ini untuk pertama kalinya bang Hasan membela wanita jalang itu setelah sekian lama aku melabraknya. Uwoww!" Davira bertepuk tangan ria seolah ia sedang menonton sebuah pertunjukan yang sangat menarik.
Aku melihat raut kemarahan yang tergambar jelas di wajah Hasan saat Davira mengataiku jalang. Seakan lelaki berengsek itu tak terima apabila seseorang mengataiku demikian, padahal sesungguhnya sangat jelas jika aku seperti jalang. Lebih tepatnya, jalang untuknya.
Tapi, meskipun begitu ada sebagian kebahagiaan yang terselip membuncah dadaku. Walaupun lebih banyak dari sebagian diriku yang membenci sosoknya.
Ya, aku sangat membencinya. Membenci segala bentuk perlakuannya.
"Aku sudah bilang bukan, jika aku tidak sudi jika harus duduk dan makan dalam satu meja bersama wanita itu." tunjuk Davira ke arahku, "kenapa kalian semua tidak ada yang bisa mengerti?!" jeritnya kali ini terlihat frustasi.
Sama frustasinya sepertiku, aku sungguh tak tahan dengan situasi ini. Ya Tuhan!
Terlihat papa Dava dan ayah Nando terlibat percakapan serius, yang aku dengar dari percakapan itu adalah jika ingin ini berakhir maka salah satu dari kami harus ada yang pergi.
Davira mengusulkan dirinya sendiri untuk pergi meninggalkan ruang makan ini, tapi terhalang oleh Hasan yang berseru dan memutuskan jika aku dan dirinya yang akan pergi dari sini.
Hasan melangkah mendekatiku, menyentuh tanganku sebagai isyarat untuk pergi dari sini. Aku bangkit berdiri dari dudukku yang langsung di tarik Hasan sedikit kasar menjauh dari sana.
Saat melewati Davira aku masih sempat melihatnya yang menatapku sinis seraya mendengkus kesal. Davira mengerakkan bibirnya tanpa suara membentuk kata, bitch!
Hasan terus menarik tanganku kasar sampai ke halaman rumah, menyuruhku masuk ke dalam mobilnya setelah ia membukakan pintu mobil untukku."Masuk!" titahnya sekali lagi nyaris membentak.Aku mengangguk pasrah karena tak ingin semakin membuatnya tambah marah. Setelah aku masuk, tak lama kemudian Hasan pun menyusul masuk ke dalam, lebih tepatnya duduk di kursi kemudi.Ia menoleh ke arahku dan hendak memasangkan sabuk pengaman padaku, tapi dengan cepat ku tepis tangannya yang sudah terulur. "Aku bisa sendiri!" kataku tegas.Hasan tak mengatakan apapun atas penolakanku, tapi dari tatapan matanya aku tau jelas jika dia tidak suka di bantah ataupun di tolak.Sisi pemaksa dalam dirinya begitu kuat, seakan dia yang paling berkuasa atas segala hidupku. Begitulah aku mendefinisikannya."Kau semakin membangkang sekarang ya." cibir Hasan mengomentari diriku.Aku balas menatap tajam dirinya, "jika sudah seperti itu seharusnya
Hasan sama sekali tak menjawab pertanyaanku, aku yang panik pun semakin bertambah berkali-kali lipat paniknya. Jelas saja! Bagaimana mungkin tidak panik jika dengan tiba-tibanya ayah Nando menghubungi Hasan dan menyuruh kami berdua menuju ke rumahnya.Di tambah lagi tadi percakapan keduanya mengkaitkan bapakku. Anak mana yang tidak khawatir jika orang tuanya ikut di seret dalam hal yang tidak di ketahui apa maksudnya."Hasan, katakan padaku, sebenarnya ada apa?" aku mencoba peruntungan dengan bertanya sekali lagi pada Hasan. Siapa tau pria ini mau menjawabnya demi rasa penasaranku.Ku lihat Hasan berdecak kesal, entah pada siapa, namun ku yakini jika ia kesal karena aku yang terus bertanya mengenai hal itu."Bapakmu kenapa centil sekali sih, pakai acara menelpon ayahku segala." kata Hasan yang ku tafsirkan sebagai gerutuan."A-apa?" kagetku dengan suara terbata."Mana bertanya mengenai keberadaanmu lagi, bahkan paman Ridwan menga
Hasan pov.Aku membencinya, membenci anak dari wanita gila yang dulu hampir pernah menghancurkan rumah tangga kedua orang tuaku. Mengapa aku bisa tau? Hal ini tak sengaja aku dengar dari para orang tua yang saat itu saling bercerita.Awalnya aku tidak membenci Ayesha, tapi semenjak mengetahui itu amarahku naik begitu pesat setiap kali melihatnya hingga sebuah ide jahat muncul di pikiranku.Entah karena tengah di liputi oleh amarah dan kebencian aku membelenggu dirinya ke dalam sebuah ikatan hubungan gila yang sudah ku rencanakan. Lewat menjebak dirinya dalam satu malam yang sengaja ku lakukan membuatnya terpaksa menjadi budak ku, dan aku menjadi tuannya.Budak yang harus selalu mau menuruti segala keinginan dan perintahku, apapun itu ia harus selalu mematuhinya. Kalau tidak maka dia akan mendapatkan akibatnya dari penolakannya tersebut.Hingga tanpa terasa dan sadari, hubungan
Malam hari, jam pulang kerja dari kantor Ayesha langsung memutuskan untuk pulang ke rumah dengan gerakan terburu-buru mengindari Hasan.Namun sepertinya Tuhan sedang tak berpihak padanya, jadi meskipun Ayesha sudah berusaha untuk bergerak cepat menghindari Hasan. Nyatanya pria itu lebih dulu menemukannya."Menghindariku?" tanya Hasan dengan senyumsmirknya.Menelan ludah kasar Ayesha menggelengkan kepalanya, menjawab dengan terbata. "T-tidak."Lagi-lagi Hasan menyeringai, merasa lucu melihat Ayesha yang tengah mencoba menipunya. "Kau tidak pandai berbohong Ayesha." cibirnya tersenyum sinis mengejek Ayesha.Ayesha mengerjapkan matanya sebanyak beberapa kali, merasa tak bisa mengelak akan tuduhan Hasan yang mendasar itu. Memang benar adanya jika Ayesha tengah berdusta."Kau ingin pulang?" tanya Hasan lagi saat melihat Ayesha hanya diam. "Ayo pulang bersamaku." ajak H
"Turunlah, sepertinya malam ini aku harus merelakanmu tidur di rumah. Karena tak mungkin bagiku membawamu ke apartemenku, maka itu akan semakin menimbulkan kecurigaan." kata Hasan masih dengan tangannya yang membelai rambutku.Aku mengangguk sebagai tanda setuju pada apa yang di ucapkannya, Hasan melepaskan tangannya dari kepalaku. "Turunlah," titahnya sekali lagi.Tak membuang waktu lebih lama lagi karena takut Hasan berubah pikiran, aku turun dari dalam mobilnya."Terima kasih sudah mengantarku," ucapku sebelum menutup pintu mobilnya.Hasan hanya menganggukkan kepalanya sebagai jawaban dari rasa terima kasihku padanya. Setelahnya ia menghidupkan mesin mobilnya dan melaju dengan kecepatan sedang.Aku menatap kepergian mobil Hasan yang perlahan menjauh dari perkarangan rumahku, mobilnya hilang di telan tikungan. Setelahnya aku lalu melangka
"Jangan salah paham mengenai ucapan bapak yang tadi, nak." ucap bapak memulai pembicaraan setelah kami berdua sudah selesai menyantap makan malam.Saat ini kami berdua tengah berada di ruang tamu sembari duduk menonton televisi yang memang tersedia langsung di ruangan ini. Berhubung karena rumah sederhana kami yang minimalis ini tentu tak memiliki cukup banyak ruang, sehingga kami berdua memutuskan untuk menaruh televisi di ruang tamu. Jadi, ketika ada tamu yang datang maka mata mereka akan langsung di suguhkan dengan siaran televisi.Aku yang tertawa karena begitu menghayati tayangan yang menampilkan acara lawak pun teralihkan oleh ucapan bapak barusan. Ku tolehkan kepalaku ke arahnya, "ucapan yang mana ya pak?""Tentang kedekatan kalian berdua yang sering kami perhatikan selama ini. Ayesha, tentu itu semua murni karena persaudaraan kan nak?"Ayesha mengangg
Hari ini Ayesha melakukan pekerjaannya seperti biasa, yaitu menjadioffice girldi perusahaan milik keluarga Wicaksana. Ya, meskipun sudah cukup lama bekerja disana tetapi Ayesha tetap bertahan pada posisi og. Dengan telaten Ayesha mengepel seluruh lantai di tiap lantai perusahaan ini di bantu dengan teman yang seprofesi dengan dirinya."Owalah mbak'e cantik-cantik kok betah banget jadi og sih." kata Asep selaku ob di perusahaan ini menyapa Ayesha.Ayesha tersenyum, "owalah Kang Asep, ganteng-ganteng kok mau jadi ob." balas Ayesha yang mengundang gelak tawa dari Asep."Satu sama berarti kita iki Mbak yu.""Ayesha Kang Asep, bukan Mbak yu," goda Ayesha sengaja."Lah, kepiye sih Mbak. Pinter ngelawak juga ternyata." kata Asep tersenyum geli pada Ayesha."Lama-lama berteman satu profesi dengan kamu membuat saya jadi pinter segala hal Kang Asep.""
Aku menegang mendengar ucapan Hasan barusan. Apa katanya? Aku bisa mengunci pintu ruangannya terlebih dahulu agar tak ada orang lain yang bisa masuk dengan mudah.Gila! Memang dia pikir aku mau menuruti segala keinganannya, begitu?Aku yang tadinya sudah memegang gelas berisi kopi hitam itu di tanganku pun perlahan kembali meletakkannya ke meja kerja Hasan."Maaf Pak, saya masih banyak kerjaan." kataku beralasan agar bisa keluar dari situasi seperti ini, dan dengan profesionalnya aku bersikap sopan berbicara formal sehingga panggilan untuknya pun pak. Aku masih waras yang tentu saja masih mengingat ini kantor, bukan kamar untuk bercinta.Setelah mengatakan itu dengan cepat dan terburu-buru aku melangkah menuju pintu, tapi sialnya dengan sigap Hasan menggapai tubuhku duluan. Pria itu mendekapku dari belakang dengan kedua tangannya yang melingkari pinggang dan perutk