"Hantunya datang ya, Mas? Di depan matamu loh!" ucapku dengan disertai senyuman. Mas Haris terdiam menunduk. Sesekali ia melirik ke arah wanita yang tengah berdiri di hadapan kami. "Kakinya napak ke tanah, Mas. Berati Tiara bukan hantu," tuturku lagi. Mata Mas Haris berputar, lalu tiba-tiba saja ia menarik tangan Tiara dan agak menjauh dariku. Pesan dari Gea pun masuk. Aku membiarkan Mas Haris bicara berdua di depan rumah. [Kakakku ke sana karena aku bilang padanya bahwa Mas Haris akan mempertemukan kamu dengannya. Mbak Tiara sangat antusias dijadikan madumu, Elena.]Sekarang aku paham, Tiara melakukan hal ini untuk mendapatkan Mas Haris, ia cinta mati padanya, hingga rela disebut sudah meninggal dunia. Aku menghampiri kedua orang yang tengah berdebat di garasi rumahku. Dengan tangan dilipat di atas dada, aku pun menyunggingkan senyuman padanya. "Kalian ini cocoknya menjadi pesinetron," ucapku sambil bertepuk tangan. "Kamu salah paham, Elena," sanggah Mas Haris. "Manager yang
"Maaf, Pak, kami sudah berikan peringatan beberapa kali melalui telepon, tapi tidak ada itikad baik, sekarang kami datang untuk memberikan stiker rumah ini tengah jadi pengawasan," ucap salah satu laki-laki berdasi. "Oh jangan, Pak. Saya akan bayar, berapa tiga bulan, Pak?" tanya Mas Haris sambil mengeluarkan ponselnya. "Kalau dikasih stiker, mau ditaro mana muka saya, Pak? Saya ini manager, gaji saya besar," ungkap Mas Haris lagi. Gaji besar tapi berikan nafkah istri seadanya. Jadi ini adalah teguran untuknya. "Totalnya empat juta setengah, Pak, silakan melakukan pembayaran langsung ke rekening rumah Anda, Pak," jawab laki-laki satunya. "Tunggu sebentar, saya akan masuk ke mobile banking dulu," timpal Mas Haris, kemudian ia fokus ke arah layar ponsel dan matanya terbuka lebar ketika tidak bisa transfer. "Sebentar, Pak. Saya cek saldo dulu, sepertinya ada yang salah," tambah Mas Haris gugup. Aku menyunggingkan senyuman, saldo rekening pun sudah aku pindah ke rekening pendidikan m
[Len, Mama sakit.] Pesan dari Mbak Fitri membuatku lemas seketika. Mama angkat sakit dan aku tengah sibuk mengurus rumah tangga yang seharusnya kutinggalkan. Aku langsung menghubungi Mbak Fitri, dan ia pun mengangkat dengan segera. "Halo, Len," ucap Mbak Fitri. "Mama sakit apa, Mbak?" tanyaku padanya. "Kecapean kayaknya, makanya kamu aja yang urus hotel ya. Mama dan Papa nggak sanggup bolak-balik," pinta Mbak Fitri. "Iya, Mbak. Pekan depan kamu ke sini ya, biar urus bareng-bareng," timpalku. "Nggak bisa, aku udah capek urus hotel di sini, udah kamu aja ya, aku nggak apa-apa kok," jawab Mbak Fitri. "Salam untuk Mama ya, Mbak, kalau terjadi sesuatu, tolong informasi ke sini, aku memang bukan siapa-siapa kalian, tapi aku sayang kalian," ungkapku pada kakak angkat. "Kami juga sayang kamu, Len. Baik-baik di sana ya," tutur Mbak Fitri. Kemudian telepon disudahi setelah aku pamit karena hendak pergi bertemu dengan kru. Mbak Fitri memang baik, sama seperti kedua orang tua angkatku. N
Pernikahan yang dilaksanakan tiga tahun lalu. Di video itu terlihat jelas kedua mertuaku ikut hadir di tengah-tengah kedua mempelai. Pernikahan yang terlihat sakral itu disaksikan hanya dari kedua belah pihak saja. Gea tidak ada dalam video, kemungkinan dia yang mengambil gambarnya. Sebuah bukti pengkhianatan suamiku yang tersimpan rapi selama bertahun-tahun. Aku dibohongi, didzolimi dengan diberikan nafkah seadanya, sedangkan Tiara mendapatkan hak sepenuhnya. Bagai pisau yang ditancapkan langsung ke hati ini, rasanya sakit. Tak terasa air mata pun jatuh setelah menyaksikan sendiri video tersebut. Entah karena kecewa, atau karena sakit, semua bercampur menjadi satu. Kututup laptop, lalu membawa flashdisk dalam genggaman. Kali ini aku harus bisa balas dendam, tak perlu melihat Sisil yang masih membutuhkan kasih sayang seorang ayah. Mas Haris tidak bisa seenaknya memperlakukan aku seperti boneka. Sebelum berangkat ke perusahaan tempat Mas Haris mencari nafkah, aku menemui Sisil yang
Selang beberapa menit kemudian, setelah Bu Melly menutup teleponnya, ia kembali bicara padaku. "Kita harus tetap sidang, Bu. Tapi sekarang juga management akan kumpul di ruang meeting, saya akan panggil Pak Harus, selaku manager produksi," terang Bu Melly. "Emm, tapi saya izin ke mobil Pak Danu dulu, Bu. Mau bilang bahwa saya harus ikut rapat," timpalku padanya. "Nggak perlu, biar saya aja yang hubungi Danu," ucapnya. "Eh, ngomong-ngomong jangan naksir sepupu saya ya, lagi say jodohin dengan teman saya," tambahnya membuatku tertawa. "Ibu bisa aja, saya kan masih istri orang, dan sudah punya anak juga. Mana mau Pak Danu dengan saya," sanggahku sambil terkekeh. "Jangan salah, dia emang suka yang seperti kamu, tersakiti oleh lelaki, bagi dia tuh senasib," sambung Bu Melly sambil terkekeh. Kemudian ia menghubungi Pak Danu dan menyuruhnya untuk pergi dari pabrik, tapi kedengarannya Pak Danu menolak untuk disuruh pergi. "Tuh kan, dia milih nungguin sampai sidang selesai, jangan kasih
Aku menatap wajahnya, laki-laki yang berprofesi sama dengan Mas Haris, sebagai manager produksi, aku harap beliau menjadi saksi. "Istrinya yang benar, Pak, selama ini Haris memiliki istri dua tanpa sepengetahuan istri," ungkap laki-laki berparas Jawa. Aku menurunkan bahu seraya lega dengan apa yang dia ucapkan. Sedangkan Mas Haris, tampak memerah dan mengeluarkan keringat seketika. HRD dan direktur utama saling beradu pandang, mereka berdua menatap seraya tengah bermusyawarah. Pak Wijaya mengangguk sedangkan Bu Melly menggelengkan kepalanya. Namun, tiba-tiba saja Mas Haris berdiri lagi. Bahkan tangannya menyanggah di meja sambil mengepal. "Ini pasti si Daus sengaja, Pak. Dia ingin naik jabatan lagi. Kan kesempatan orang ini untuk mencari muka di depan direktur!" tukas Mas Haris, lagi-lagi ia melakukan hal yang membuatku geram. Mas Haris pandai membolak-balikan fakta. "Ris, saya ini dulu atasan kamu, dua orang atasan kamu tahu kelakuanmu, dan kami harap kamu ini akan sadar setelah
"Sudahlah, Mas. Memang kedokmu sudah seharusnya terbongkar. Aku hanya mempermudah saja," kata Gea sambil menghindar pergi. Ia pun sengaja mengejarnya, dan tidak peduli denganku. Akhirnya aku ke arah parkiran tempat Pak Danu menunggu, mobilnya masih tampak di depan. Namun, tiba-tiba Mas Haris memanggilku dengan nada tinggi. "Heh! Perempuan nggak diuntung! Anak yatim piatu yang sudah kuurus 12 tahun, kenapa kamu malah tega menghancurkan karirku?" Pertanyaan Mas Haris terdengar melengking dari belakangku dan membuat badanku terpaksa menoleh ke arahnya. Ternyata ia tidak mengejar Gea, justru kembali mengejarku. "Masih ada lagi yang ingin kamu katakan, Mas? Silakan umpat sepuasnya, setelah itu kamu pergi dari sini!" sentakku. "Ini tempat aku kerja, seharusnya dari tadi kamu tidak injak kakimu itu ke sini!" Mas Haris balik mencaci. "Aku nggak ada niat buruk, Mas, hanya ingin mempermudah perusahaan mengeluarkan benalu seperti kamu. Sekarang perusahaan tahu bahwa anak buahnya tidaklah p
"Len, Mbak telepon polisi ya!" teriak Mbak Fitri kemudian telepon sengaja aku putus.Plak!Tamparan keras melayang di pipiku. Ini kesempatan emasku untuk menjebak Mas Haris, agar ia tak lagi main-main denganku.Aku ambil tangannya sekali lagi dan memukul wajahku. Namun, tiba-tiba ada yang datang berkunjung.'Sial, siapa yang datang? Aku belum bonyok dan cukup bukti untuk menjebloskan Mas Haris, mukaku harus bonyok dan memar supaya ia bisa dituntut," batinku."Buka sana pintunya!" suruh Mas Haris."Kamu aja, paling istri siri kamu," ucapku agak ketus.Mas Haris terdiam, lalu melangkahkan kakinya ke depan. Ia membuka pintu kemudian aku menunggu di depan televisi. "Kok lama ya, kenapa Mas Haris tidak muncul lagi?" tanyaku bicara sendirian. Akhirnya aku menyusul untuk melihat siapa yang datang. Sebab, sudah hampir dua menit Mas Haris tidak bersuara dan balik ke ruangan keluarga.Aku lihat ke depan, mobilnya masih terparkir, tapi Mas Haris tidak ada di rumah."Ke mana dia?" Aku bertanya-t