"Maaf Bu Elena, kami permisi dulu, kami harus menginterogasi tersangka," ucap polisi sambil menarik lengan Tiara dan Mas Haris.Keduanya tidak berontak, hanya saja tepat di hadapanku, Mas Haris berhenti."Aku titip Sisil, Elena, sudah puas kan kamu memporak-porandakan hidupku?" Mas Haris berkata dengan nada pelan. Kemudian disusul oleh Tiara di belakangnya. Ia pun sengaja berhenti di hadapanku."Aku belum kalah, Elena, lihat saja nanti," ancam Tiara dengan mata menyipit. Aku tak menjawab apalagi meladeninya, justru membiarkan keduanya pergi dengan iringan polisi.Tangan ini masih berada dalam gandengan Mbak Fitri. Ia menatapku sambil memberikan senyuman. Kedipan mata Mbak Fitri membuatku merasa tenang, tiba-tiba ada orang yang muncul dari balik vas bunga. Dia Pak Danu, kemudian beranjak ke arahku berdiri."Sudah tenang ya sekarang, berati bisa fokus nulis novel lagi, dan segera jadi penulis terkenal yang naskahnya dipinang dan difilmkan," tutur Pak Danu ternyata masih ada di hotel in
[Kakak-kakak sekalian, saya mau tanya dan curhat boleh, kan, ya? Istri saya itu sudah berusia 35 tahun. Baru punya satu anak, tapi wajahnya udah keriput. Salahkah saya jika mencintai wanita lain? Uang belanja sudah saya berikan tiap minggu 200.000 rupiah, tapi kok nggak bisa nyisihin uang untuk beli skincare? Aneh nggak sih, Kak? Sampai akhirnya saya tergoda dengan janda belum memiliki anak, dia pandai berhias diri, baru mandang aja udah bikin jantung saya berdebar, apalagi kalau sampai jadi istri ya. Ah ingin rasanya saya menikah lagi, tapi restu dari istri pertama tak kunjung datang. Maklum istri saya ini seorang novelis, dia menghasilkan uang sendiri, jadi berat hati saya melepaskannya juga Sudah dulu ya, saya curhat jangan di screenshot ke istri saya ya, Kak.]Status panjang itu kudapatkan dari salah seorang teman yang kebetulan satu grup di sebuah komunitas paguyuban Desa. Hati ini mencelos ketika tahu bahwa suamiku berkeluh kesah di satu grup paguyuban di desanya. Statusnya dih
Ketika hendak membuka pesan yang dikirim Gea. Mas Haris terbangun. Aku pun terkejut dan sontak melepaskan ponsel yang kugenggam. "Loh kok kamu belum tidur? Masih marah?" tanya Mas Haris. Aku pun melengos darinya. Ia yang tahu aku sedang merajuk pun mendengus. "Dek, aku sudah bilang status itu bukan aku yang buat," kata Mas Haris sambil berusaha merayu. "Mas, aku mau tidur, perlahan juga bangkai akan tercium," cetusku lagi. "Ya, buktikan saja," sahutnya. Kemudian, kami tidur saling membelakangi. Namun, mata ini masih belum mampu terpejam, masih menari-nari goresan luka itu di dalam dada ini.'Kalau bukan Mas Haris, lalu siapa yang buat status itu?' tanyaku di dalam hati. Tiba-tiba aku teringat kata-kata Gea, dia bilang bahwa aku sudah membantu suami tapi masih dikhianati. Itu artinya dia tahu aku berprofesi sebagai penulis, padahal tidak ada yang tahu selain suamiku. Jari ini mulai mengusap layar ponsel milikku sendiri. Mencari tahu tentang Gea di sosial media. Aku buka akun uta
"Emm, kok bisa sampai ke sini?" tanyaku padanya. "Aku nggak dipersilakan duduk gitu?" tanya Gea sambil menunjuk kursi di teras. Aku menganggukkan kepala dan menggiringnya ke teras. Kami duduk berjejer, sedangkan Mas Haris mendadak masuk lagi ke dalam. Aku terdiam sejenak, mengingat ia yang sempat membuatku marah pada Mas Haris, tidak ada yang memulai pembicaraan, hingga akhirnya Gea bangkit. "Loh mau ke mana? Belum aku suguhkan minum," kataku spontan ketika melihat Gea berdiri. "Aku kayak patung, jadi mendingan pulang," sindir Gea. "Oh memang kalau pulang ke mana?" tanyaku basa-basi. "Rumahku lagi renovasi, baru beli seminggu yang lalu di perumahan ini juga, tapi blok depan, yang lebih komersil," terangnya sambil menunjuk ke arah depan. Aku menggigit bibir mendengar ucapannya, blok paling depan termasuk mahal, hebat juga dia bisa beli rumah di sini tanpa ambil yang subsidi pula. "Oh ya, Gea, aku mau tanya sedikit, beberapa hari lalu kamu yang berikan screenshot status suamiku,
Langkah Gea semakin maju mendekati kami, terhenti tepat di hadapan Mas Haris. Mas Haris bergerak seperti salah tingkah, aku menyaksikannya sendiri dengan mata ini. Tangannya berada di tengkuk seraya melepaskan ketegangan, aku yakin ada sesuatu yang dirahasiakan. "Aku ini sales mobil, Elena, kamu belum tahu ya?" Aku dikejutkan dengan pertanyaan, padahal tadi aku yang bertanya padanya, ini malah balik bertanya. "Aku tidak tahu, bahkan kamu sudah menjanda pun aku baru mengetahuinya, Gea," ketusku dengan mata menyorotnya penuh. Kemudian, Sisil datang dari arah depan, ia pulang dari rumah temannya dengan mata berkaca-kaca. "Sisil kenapa?" tanyaku dengan segera. "Aku ditonjok, Mah, dada Sisil sakit," lirihnya.Mas Haris yang mendengar pengakuan anaknya itu sontak menggendong Sisil dan mengambil kunci mobil. "Kita bawa ke rumah sakit dengan segera," ucap Mas Haris. "Aku takut terjadi sesuatu dengan Sisil," ungkap Mas Haris sambil membuka pintu mobil. "Aku ikut," celetuk Gea membuat da
Suara pintu kamar mandi terdengar dibuka oleh Mas Haris, aku segera meletakkan kembali ponselnya. Meskipun dada ini bergemuruh amarah, tapi aku harus tetap santai menyikapinya sambil mencari bukti lainnya yang lebih akurat lagi. Mas Haris menghampiriku lalu mengambil benda pipih yang barusan kuletakkan di atas meja. "Mas, maaf, Sisil mau masuk sekolah, aku harus mendaftarkan di sekolah bonafit, boleh minta uang dua puluh juta?" tanyaku sambil duduk dengan posisi kesepuluh jari ditautkan. "Dua puluh juta duit dari mana, Dek? Aku kan sudah pakai uang untuk DP mobil kemarin," timpal Mas Haris. Salahku juga tadi tidak melihat saldonya hanya mengecek mutasi saja. "Terus sekolah anakmu bagaimana, Mas?" tanyaku lagi. "Yang murah aja, yang masuknya lima juta ke bawah, ada kan?" tanya Mas Haris balik. Ia begitu perhitungan untuk anak istri, tapi tadi aku lihat transferan ke janda lebih banyak dari jatah bulananku.'Tenang, Elena, jangan gegabah, dia santai, aku harus lebih elegan,' gumamk
Aku mengelus dada ketika tahu bahwa Mas Haris tengah berduaan menuju hotel yang baru diresmikan orang tua angkatku. Darah ini mendidih menyaksikan suami menggandeng wanita itu mesra. Aku coba balas lagi pesannya, siapa tahu ada video yang lebih jelas, sebab aku tidak bisa menebak-nebak siapa wanita itu sebenarnya, tubuhnya tertutup jaket Mas Haris.[Bu Dara, boleh minta video lebih jelasnya?" tanyaku padanya. [Hanya itu aja yang kebetulan kurekam lewat video. sekarang orangnya sudah masuk kamar.]Akhirnya aku tidur dengan rasa penasaran yang sudah di puncak. "Sialan kamu, Mas, berkhianat, padahal aku sudah berusaha setia." Aku bicara sendirian di kamar sambil selonjoran dan merebahkan tubuh ini. Ketika aku miring ke kanan, tiba-tiba terlintas untuk ke rumah Gea. Selama ini dialah wanita yang selalu tahu urusan suamiku, Jangan-jangan dia orang yang tadi di hotel. Kalau Gea tidak ada di rumah, artinya memang dia orangnya. Segera aku ambil kunci motor, tapi sebelum beranjak pergi, a
"Meninggal? Kamu ikut dalam proses pemakamannya?" tanya papa. Aku pun menggelengkan kepala, waktu itu hanya tahu dari Mas Haris. Papa mengelus punggung ini, seraya tengah menenangkan putrinya. Meskipun hanya ayah angkat, ia tetap sedih ketika melihat putrinya sedih. "Haris nggak boleh tahu kamu sudah Papa wariskan hotel ini," pesan papa. "Kamu jangan nangis ya, Mama yakin kamu anak kuat seperti almarhumah mamamu," susul mama. Kuat atau rapuh kondisiku saat ini yang ada di pikiran hanya Sisil, dia seorang anak wanita, dan akan tumbuh dengan semestinya, tapi ternyata memiliki seorang ayah yang tidak memiliki perasaan. Mas Haris kelewat cerdik menutupi ini semua. "Tapi, Pah, yang kutahu Tiara ini sudah meninggal dunia tiga tahun lalu, adiknya juga membenarkan hal itu," pungkasku. Tiba-tiba melintas chat Gea melalui inbox yang kubaca beberapa bulan lalu. Papa terdiam menoleh ke arah istrinya. "Tiga tahun lalu? Apa kamu diajak pulang kampung tiga tahun belakangan?" tanya papa menyeli