Rinai hujan semakin deras membuyarkan angan. Aku masih betah pada posisiku. Tubuh bermandikan air hujan yang dingin di tengah malam buta. Berharap gundah dan gelisah itu enyah dari dalam diri diikuti sampah yang menumpuk di hati.Namun, bukannya lupa. Malah kenangan itu seperti hidup kembali. Merutuki diri sendiri. Mahligai suci hancur tanpa bisa terganti. Gejolak napsu menghancurkan semua mimpiku. Aaaarrrrggggh!"Ya Allah! Bukankah semua yang terjadi pada hamba_Mu semuanya melalui campur tangan_Mu. Lalu ... kenapa Engkau membiarkanku larut dalam dosa. Kenapa ya Allah?!"Merintih dibawah guyuran hujan. Menumpahkan lara yang menyesaki jiwa. Tidak ada yang bisa dirubah, semua sudah terjadi tanpa bisa diperbaiki. Kesalahan terpusat padaku, tanpa ada yang mau membela. Aku sendiri, terkukung dalam rasa yang sulit dijabar satu persatu. "Bodoh! Kamu bodoh, Nia! Kamu bodoh!" makiku pada diri sendiri.Setiap bayang Mas Gilang muncul dalam memori. Seketika luka hati semakin bertambah. Aku men
Untuk terakhir kalinya, aku duduk di sofa rumah ini. Ah! Tidak ini, bukan terakhir kali. Aku akan kembali merebut semua yang telah wanita itu rebut. Enak saja dia menikmati yang seharusnya menjadi milikku."Mas harap, meskipun hubungan kalian berakhir. Hubungan kedua keluarga tetap terjalin dengan baik. Jangan sampai ini memutuskan silaturrahmi keluarga kita," ujar Mas Lukman bijak."Tentu. Hubunganku dengan keluarga Nia akan baik-baik saja. Namun, tidak dengan Nia," sahut Mas Gilang tenang. Dia sangat membenciku."Mas, kita tidak boleh dendam. Jadikan ini pelajaran untuk hidup kita ke depan. Bukan hanya untuk kalian berdua, tapi untuk kita semua," sambung istrinya Ali. Tentunya aku akan merindukannya."Tepat. Dalam hal ini kalian berdua bersalah. Kalian saling diam saat keretakan terjadi dalam rumah tangga. Kalian berdua membiarkan keretakan itu merenggangkan ikatan cinta kalian. Tak ada yang sempurna di dunia ini. Manusia tempat dosa dan khilaf. Namun, untuk kedepannya gunakan iman
[Hai, boleh kenalan?]Pesan yang kukirimkan pada seorang gadis bernama Nia Nirmala. Kontaknya aku temukan di status FBnya.[Siapa, ya?]Balasnya datar, tanpa basa-basi.[Gilang]Jawabku tak kala cuek.[Ada apa?]Mau lanjut ternyata. Aku meneruskan keisengan di sela jadwal kerja yang kosong.[Mau kenalan sama kamu. Aku tertarik lihat fotomu di FB.]Ungkapku tanpa malu.[Oooo]Gila. Hanya itu saja balasannya. Menyebalkan.[Aku pengen ketemuan. Bisa?]Langsung pada poinnya. Jujur, foto wajah polos Nia membuatku tergoda beberapa minggu ini.[Aku di Jogja, Lang. Kamu?][Jakarta. Kirimkan alamat lengkap. Besok aku ke kota tempat tinggalmu.]Itulah awal pertemuanku dengan Nia Nirmala. Wanita yang mengetarkan hati, baik di dunia maya dan nyata. Parasnya bak gadis desa belum tersentuh kejamnya dunia membuatku mabuk kepayang.Hanya butuh lima menit bersamanya. Aku mengambil keputusan besar dalam hidup. Meminang Nia menjadi istriku tanpa menunggu waktu. Sikap manjanya membuatku semakin tak ingin
Suatu hari, saat aku sampai ke rumah ke rumah lebih cepat. Tanda-tanda keberadaan Nia tidak aku temukan. Mencarinya ke seluruh penjuru rumah sudah kulakukan. Namun, Nia tidak terlihat. Segera melangkah ke kamar, masih berharap dia tertidur pulas seperti biasa. Nihil.Yang membuatku shock, kondisi ranjang yang berantakan. Seperti sesuatu telah terjadi. Lingerie hitam tergeletak di lantai. Sekelebat bayangan gila terlintas dalam pikiran. Namun, segera kutepis. Mungkin saja, Nia ada acara dadakan. Dua tahun ini, aktif mengisi acara di berbagai kegiatan.Tanpa pikir panjang, kuhempas tubuhku ke atas ranjang. Aroma aneh menyeruak, bau sperma. Bagaimana bisa sprei ini bisa terkena sperma? Pertanyaan melintas dalam pikiran.Aku mulai mengendus setiap sudut ranjang. Bau parfum yang tak asing di indera penciumanku. Bukan punya Nia dan bukan juga punyaku. Spekulasi-spekulasi negatif terus bermuculan. Lingerie, sprei kusut, sperma dan bau parfum.Aaaarrggh! Tidak mungkin.Kuremas erat sprei di t
Mobil berguling-guling atas aspal. Kudengungkan nama Allah. Meminta keselamatan untuk kami semua. Masih sempat kudengar rintihan Ibu dan Bapak yang mengucap nama Allah. Beberapa detik kemudian suara mereka menghilang. Tubuhku terlempar ke aspal. Sempat terlihat mobil yang kami tumpangi dalam posisi terbalik. Kumpulan asap putih membumbung tinggi. Seluruh tulangku rasanya patah, wajahku berdarah, pecahan kaca mobil masih menacap di pipi.Aku merangkak mendekat, berniat mencari keberadaan Bapak dan Ibu. Namun tiba-tiba sebuah mobil berwarna putih melaju ke arahku dalam kecepatan tinggi.Aaaaaa!"Mbak, Awas!" Seorang lelaki menarik tubuh menjauh dari tengah jalan. Tubuhku tersungkur ke aspal. Kuabaikan sakit dan perih yang menyiksa. Bergegas menyeret langkah menuju mobil yang posisinya masih terbalik. Pikiranku hanya tertuju pada ayah dan ibu. Berbagai pikiran buruk menyerang dalam satu waktu. Kutepiskan kemungkinan terburuk yang melesat dalam pikiran."Tolong, Bapak dan Ibu saya ada di
"Bapak! Ibu! Jangan pergi, maafkan Nia!" Aku menjerit melihat tubuh kedua orangku hilang dalam gumpalan asap putih. Mereka semakin jauh. Semakin kukejar tubuh mereka semakin sulit kugapai.Aaaaaaa!Mataku terbuka dengan napas memburu. Dadaku naik turun dengan peluh membasahi sekujur tubuh. Aku berada dalam ruangan serba putih. Didadaku dipasang kabel-kabel yang tak kumengerti. Sedangkan di tangan sebelah kiri menancap jarum yang dialiri cairan kehidupan.Ya Allah! Aku masih hidup. Kemana Bapak dan Ibu? Aku langsung berteriak histeris memanggil keduanya Namun, yang datang membuatku bungkam. Mantan mertuaku dan istrinya Ali. Kedua wanita itu berusaha menenangkanku."Mbak istirahat, Bapak dan Ibu sudah diurus sama Mas Gilang dan yang lain," ungkap istrinya Ali."Iya, tenang, Nia. Ini musibah. Istighfar, Nak," sambung Ibu seraya memapahku untuk kembali berbaring ke ranjang."Antarkan Nia jumpa orangtua, Nia," pintaku pada mereka."Sabar, Nak. Sabar, ini yang terbaik untuk semua," gumam Ib
Ibu menatap ke arahku. Aku hanya mampu diam tanpa kata. Satu sisi senang, bahwa pernikahan itu rekayasa. Sisi lain mempertanyakan apa yang sebenarnya Mas Gilang rencanakan."Sekali lagi saya mohon, Maaf kepada Bapak dan Ibu. Saya sama sekali belum mengerti duduk persoalannya. Ada baiknya, saya hubungi putra saya terlebih dahulu," ungkap ibu santun."Persoalannya jelas, Bu. Anak Ibu memperalat anak saya untuk merekayasa pernikahan untuk ditunjukkan pada istrinya yang siapa entah namanya ....""Nia, Bu. Ini orangnya." Telunjuk Ibu mengarah ke arahku. "Oh, ini istrinya Gilang. Pantesan dia tidak senang dan ingin cerai, modelnya ....""Maaf, Bu. Tujuan Ibu ke sini sebenarnya apa? Untuk menghina orang atau membicarakan perihal nasib anak Ibu?!" Ibu sangat tegas dalam berbicara. Pembelaannya membuat hatiku semakit digeluti penyesalan tiada ujung. "Biasa saja, Bu. Tak usah dibela lagi. Dia mantan mantu, 'kan? Ini anak saya mantu masa depan Ibu," ujar wanita di hadapanku. Mulutnya tajam bak
"Begini, sepertinya saya sudah mengerti arah pembicaraannya. Anak saya membayar anak Anda untuk berakting. Impas dong, anak saya dapat videonya, anak Anda berdua dapat uangnya. Clear masalahnya." Ibu meluruskan."Tidak bisa, Ibu yang terhormat. Gara-gara video itu, calon mantu saya membatalkan lamaranya. Anak Anda harus tanggung jawab dong!" Ibunya Nagita terlihat sombong dan angkuh."Nagita, ini tidak sesuai kesepakatan!" Suara Mas Gilang meninggi. Nagita sampai mendonggakkan kepala melihat ke arah atasannya."Ini diluar ekspektasi saya, Pak," lirihnya lemah. Tak ubah bak tersangka yang terancam pidana puluhan tahun lamanya."Jadi mau kalian apa?" tanya Mas Gilang. Otot wajahnya menegang. Aku tahu, dia berusaha mengontrol emosi.Wanita angkuh itu membuka tas yang dia bawa. Dikeluarkan sebuah plastik hitam yang isinya belum mampu kuprediksi."Ini uang Bapak kami kembalikan," ujarnya seraya menyodorkan plastik hitam berisi uang lembaran merah."Kami ingin, segera nikahi Nagita. Setidak