Share

SA - Bab 7

"Bisamu cuma buat ulah."

Ditengah rasa dingin yang membuat tubuh menggigil, aku mendengar suara orang bicara. Kubuka mata, lalu mengernyit saat menemukan wajah Gatan tepat di depan mata.

Seingatku, tadi itu tidur sofa di ruang tamu sendirian. Memang enggak nyenyak, karena Inara ternyata benar. Di sini dingin sekali. Namun, aku enggak merasa kapan Gatan datang dan enggak tahu mau apa dia di sini.

"Minggir," gumamku sembari mendorong wajahnya menjauh. Mau apa dia dekat-dekat?

"Pindah ke kamar. Di sini dingin."

Mengangkat kelopak mata dalam keadaan setengah sadar, aku memakinya.

"An**ng kau. Pergi kau sana," usirku dengan suara pelan. Jangan sampai Inara dengar.

"Makanya jangan bikin ulah. Pindah ke kamar." Dia malah melotot. Masih enggak menyingkir dari samping sofa yang aku baringi.

"Ulahku apa memangnya? Sana, aku mau tidur." Malas meladeni, pun masih sangat mengantuk, aku berbalik.

Aku memunggungi dia, kemudian merapatkan selimut ke tubuh. Seharusnya tadi aku menaikkan suhu dulu, baru tidur.

"AC-nya nggak akan aku matiin."

Selanjutnya aku mendengar suara. Ternyata Gatan setan itu belum pergi. Pura-pura enggak mendengar, aku lanjut memejam. Namun, mataku langsung terbuka lebar ketika merasakan sesuatu menimpa bibirku.

Gatan setan! Berani sekali dia melakukan ini padaku, di rumahnya sendiri? Kutampar dia segera.

"An ... **ng!" Aku memelankan suara di ujung makian. Kalau saja Inara enggak ada di sini. Sudah aku robek-robek bibirnya itu.

"Makanya, jangan bikin ulah terus." Dia berdiri dengan satu tangan di saku. Memasang tampang layaknya orang enggak bersalah.

"An**ng kau," makiku lagi.

"Diam kamu." Dia malah membalas. "Pindah ke kamar tamu atau aku akan tetap di sini."

Oh, mengancam? Pikirnya aku takut?

"Kalau aku enggak mau, kenapa?" Kulempar selimut menjauh. Kalau dia mau perang, aku siap.

"Siapkan jawaban untuk Inara besok pagi. Dia pasti bingung kenapa kita berdua ada di ruang tamu."

Orang gila ini! Kenapa harus aku yang repot mengurusi rumahtangganya? Inara bertanya, aku tinggal jawab enggak tahu. Kalau dia curiga dan interogasi suaminya, bukan urusanku. Kalau Inara sampai sakit karena kepikiran ini, mampus situ.

Itu semua bukan urusanku.

Dengan dagu terangkat, aku memungut selimut dan bantal. Kusempatkan menginjak kaki lelaki setan itu sekuat tenaga, sebelum melangkah ke kamar tamu. Kalau saja aku lebih sinting dari dia, sudah pasti aku enggak akan melakukan ini.

***

"Serius dia ngelakuin itu?" Rahisa menutup mulutnya dengan kedua tangan. Matanya melebar, seolah apa yang aku ceritakan adalah sesuatu yang di luar nalar.

Memang, sih. Apa yang Gatan lakukan kemarin sangat di luar nalar. Yang di kamar kos dan di rumahnya.

Karena enggak mau kepikiran sendirian, aku membaginya dengan Rahisa. Enggak mungkin ceritakan pada Ibu, nanti yang ada aku dijambak dan dituduh mau balas dendam pada Inara.

"Kamu yakin dia benci kamu, Anes?" Rahisa memicing sekarang.

Aku mengangguk. "Sejak kejadian itu, dia natap aku kayak sampah. Satu jam sebelum dia nikah sama Inara, dia datangi aku, terus bilang kalau aku ini perempuan gila, perempuan sinting dan perempuan paling jahat di dunia. Titisan iblis katanya."

Rahisa mengangguk. Kukira dia bisa memahami dari dua sisi, sebab dia kan netral.

"Mungkin, waktu itu dia marah banget. Wajar, sih. Kalian baik-baik aja sebelum kamu kedapatan di hotel sama cowok. Wajar dia ngomong gitu. Tapi, itu enggak memastikan kalau dia benci yang bener-bener benci sama kamu."

Aku sepaham dengan itu. Wajar memang jika Gatan sangat marah ketika menangkap basahku di kamar hotel dengan seorang laki-laki. Padahal, kami sudah punya rencana ingin menikah waktu itu. Gatan pasti patah hati, karena saat itu ia punya perasaan padaku.

"Setelah menikah dia juga masih kek gitu, Rahi. Dia enggak mau nengok aku bahkan."

"Tapi kalian bercinta kemarin. Dan dia nyium kamu di rumahnya, padahal itu berisiko besar ketahuan istrinya."

Rahisa yang mengulang fakta itu membuat kepalaku pusing. Aku melempar tubuh ke sofa. Bingung.

"Bukannya cowok bisa kawin dengan perempuan mana aja? Kebetulan, kan, kemarin aku mancing dia dengan telanjang depan dia." Ingin rasanya aku menggorok leher sendiri kalau ingat itu. Aku pasti akan masuk neraka jalur ekspres karena itu.

Rahisa mengangguk. "Tapi, dia meluk kamu sampai pagi, Anes. Bahkan, waktu dia mau pergi, dia sempat cium kening kamu lagi."

Pagi sewaktu insiden di kamar kos, aku memang pura-pura masih tidur saat tahu kalau Gatan sudah bangun. Pria itu memang sempat mengecup keningku, sebelum pergi. Namun, apakah itu bukan sepaket dengan kelakukan abmoralnya sebelumnya?

"Dan kemarin, dia cium kamu biar mau pindah tidur ke kamar. Kayaknya, dia enggak sebenci itu sama kamu, deh. Kok aku merasa dia kayak masih ada perasaan sayang, ya?"

Rahisa dan teorinya berhasil membuatku mulas.

"Ngaco kamu!" bantahku vokal.

Perempuan itu malah menggeleng, kemudian ikut berbaring di belakangku. Kami memang memutuskan untuk tidur bersama malam ini, di kamarku.

"Aku cemas, Anes," katanya pelan. "Kalau benar dugaanku, cinta segitiga kalian ini bakal rumit. Sainganmu adikmu sendiri."

Aku menatap dinding dengan sorot nanar. "Enggak mungkin, Rahi. Kamu mikirnya terlalu muluk."

Enggak pernah merebut barang Inara saja, Ibu sudah sebenci ini padaku. Konon aku nekat membuat konflik dengan Inara. Habis aku dicincang hidup-hidup.

"Kamu siap jadi madunya adikmu, enggak?"

"Gilak!"

Dia tertawa. Berikutnya, aku merasa tepukan lembut di lengan.

"Aku cuma berharap, kamu enggak akan ambil pilihan sulit. Cinta itu memang bukan hal yang salah. Tapi, menyakiti orang lain karena memperjuangkan cintamu, rasanya terlalu egois. Apalagi, ini adikmu sendiri. Aku cuma enggak mau kamu makin merasa bersalah."

"Kalau aku, di otakku sekarang bahkan terpikirkan kalau ini bisa kamu manfaatin untuk balas dendam ke Inara. Sejak kecil, dia selalu lebih disayang Ibumu. Kamu pasti punya rasa iri. Tapi, untungnya kamu bukan aku. Kamu sayang adikmu. Jadi, please, jangan ambil tindakan apa pun yang bakal kamu sesali nanti."

Aku berdeham malas, tetapi mengingat nasihat itu baik-baik. Dia benar. Sekalipun teorinya yang mengatakan kalau Gatan sudah enggak benci dan mungkin masih punya perasaan padaku, itu enggak lantas jadi lampu hijau untuk aku kembali pada lelaki itu. Ada Inara sekarang. Dan Rahisa benar, aku enggak mungkin menyakiti Inara hanya demi Gatan.

Balas dendam? Bohong kalau aku enggak terpikirkan itu. Bukan pada Inara, tetapi pada Ibu. Kalau Inara sedih, bukankah Ibu akan lebih sedih. Namun, apa yang berubah kalau aku mengambil opsi itu? Ibu malah akan makin benci padaku dan hidupku akan banyak masalah.

"Tapi, kamu malang sekali, ya, Anes?"

Aku menengok dengan satu alis menukik padanya. "Apanya?"

"Capek-capek lakuin ini dan itu biar dia pergi, eh, akhirnya dia balik lagi ke kamu. Namamu harus diganti. Nes di depan namamu bawa nasib buruk kayaknya. Ngenes terus jadinya."

"Diam kau!" Aku menyalak macam anjing gila. Terlampau benar candaannya tadi.

Kira-kira, sampai kapan aku akan selalu merasai kesusahan begini? Apa mengganti nama benar bisa mengubah nasib?

"Cara ganti nama gimana, Rahi?"

Rahisa tergelak, kemudian menggebuk tubuhku dengan bantal.

"Pakai biaya, enggak?" sambungku lagi, tetapi perempuan itu enggak menjawab dan malah pura-pura ngorok.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status