"Tapi yang suka mencium rambutku kan kamu. Jadi yang semangka saja. Itu favoritmu," jawab Serena cepat dan terkesan biasa saja. Namun …-Deg deg deg'A--apa yang aku katakan sih?' batin Serena, tiba-tiba merunduk dengan air muka muram dan ditekuk. Mendadak dia peduli pada hal yang tak seharusnya dipikirkan. Holyshit! "Humm." Rafael berdehem pelan, menyeringai tipis dengan sudah menuang shampo beraroma semangka tersebut ke pucuk kepala Serena. "Perlahan kau menunjukkan kepedulianmu padaku, Serena," ujarnya sembari memijit pelan kepala Serena. Sedangkan perempuan itu hanya bisa diam dengan pipi yang sudah memerah padam dan terasa panas dari dalam. ***Beberapa hari kemudian. Serena diberikan kesempatan oleh pemilik perusahaan ini-- yang tak lain adalah suaminya sendiri-- untuk memegang sebuah proyek yang cukup besar. Dia dan teamnya benar-benar bekerja keras dan giat, sampai-sampai dia lembur dan bahkan ketika di rumah pun dia lanjut pekerjaannya. Waktunya mepet, mereka hanya diber
Susu strawberry? Untuk siapa?! Jenner?! Rafael benar-benar keterlaluan. Pria itu sangat jahat dan …-"Dia pikir aku pembantunya apa?" Serena melempar sendok kecil di tangannya ke wastafel pencuci piring. Tanpa bisa dia cegah, satu bulit kristal jatuh -- melintasi pipi dan memberikan kesan hangat di sana. Dadanya terasa sesak dan hatinya sakit. Selain membawa masuk Jenner ke rumah ini, sekarang Serena juga harus melayaninya layaknya ratu. "Rafael bangke!" kesal Serena. Sangking kesal dan sakit hatinya dia pada sikap bastard suaminya tersebut, Serena meludahi kopi tersebut lalu mengaduknya hingga tercampur. Biarkan saja! Biar Rafael minum kopi air ludah. Itu lantas untuk perbuatan brengseknya. "Mampus kamu!" geram Serena, berbicara pada kopi tersebut dengan raut marah -- mengkhayalkan jika kopi tersebut adalah Rafael. Serena menyiapkan satu gelas susu strawberry, kemudian membawanya ke depan. Ingin sekali juga Serena mengerjai Jenner seperti memasukkan bubuk cabai ke dalam susu i
"Serena, aku tidak mungkin membohongimu." Gerry berucap dengan penuh penekanan, berusaha mensugesti Serena agar perempuan ini percaya padanya. Saat ini mereka di kantor -- lebih tepatnya di sebuah lorong sepi. Mereka baru selesai rapat, dan Serena yang diberikan kesempatan memimpin proyek dan rapat, berhasil menyelesaikannya dengan sempurna. Ketika keluar dari ruang rapat tadi, Serena memang buru-buru karena kesal melihat Jenner tiba-tiba di sana dan menemui suaminya dengan tanpa malu. Di depan semua orang! Di mana … siapapun jika Serena adalah istri dari Rafael. Tapi tanpa malu dan bisa-bisanya Jenner memeluk lengan Rafael dengan mesra, tadi. Lalu Gerry? Entahlah. Dia mungkin mengikuti Serena. "Pak Rafael sudah memanipulasi hubungan kalian, Serena." Serena menghela nafas, memutar bola mata dengan jengah dan malas. Come on! Serena juga tahu itu. "Aku pernah mendengarkan pembicaraan antara kamu dan teman wanita Pak Rafael -- beberapa bulan yang lalu." Gerry berucap cepat, meng
Rafael langsung berhenti melangkah, sontak menoleh ke arah sumber suara tersebut. Alisnya langsung naik sebelah, menatap keluarganya yang sudah ada di sana. "Bolos kerja untuk …- kenapa tidak bulan madu saja?""Maxim bilang kalian bertengkar. Trus ini … apa?""Ma--Mama …." Serena langsung melompat dari gendongan Rafael, hampir terjatuh jika bukan karena pria itu yang memegang kerah bajunya. "Papa … ju--juga Mommy Sati dan Daddy Gabriel, kenapa ke sini?" "Ada yang mengatakan jika kalian bertengkar."Deg deg deg.***"Ouh, jadi kalian tidak bertengkar?" Gabriel menaikkan sebelah alis, menatap Serena dan Rafael secara bergantian dengan air muka datar namun mata yang menelisik. Maxim tak mungkin berbohong pada mereka. Namun, melihat Serena dan Rafael tadi -- Gabriel tidak yakin anak menantunya ini habis bertengkar hebat. "Serena, kamu baik-baik saja kan, Sayang?" Sati bertanya lembut, menatap menantunya dengan lemah dan penuh kasih sayang. Namun ketika giliran dia menatap anaknya, mat
Rafael tak menyahut, memilih membaca pesan antara Maxim dan istrinya. Pertama dia cemburu dan marah saat Maxim mengatakan jika dia mengkhawatirkan Serena. Namun kecemburuan serta kemarahan itu bisa padam ketika dia membaca bagian lain dari pesan tersebut. 'Aku mengenal Rafael luar dalam, Kak Max. Ya kali aku termakan hasutan orang yang bahkan hanya tahu luarnya El saja.' Rafael tersenyum tipis, membaca ulang pesan tersebut dengan debaran aneh yang terasa di dadanya. Dia mematikan handphone Serena lalu menoleh ke arah Serena -- menatap perempuan tersebut dengan intens dan berat. "Perlahan kau mulai jatuh cinta padaku, humm?" ucapnya sembari mencolek genit dagu istrinya tersebut, tersenyum manis dan terus menatap wajah cantik Serena. "Apaan sih, El?!" Serena mendelik, menatap horor bercampur kaget pada Rafael. Namun tak bisa dia pungkiri jantungnya berdebar karena penuturan Rafael dan juga karena senyuman yang mengibar manis di bibir suaminya ini. Wait! Suami? Ta--tapi kan memang
"Aku ingin bertanya …-"Serena menghentikan ucapannya, mendadak dia juga diam dengan tubuh menegang kaku. Tiba-tiba dia mencium aroma parfum maskulin khas yang sudah sangat Serena hafal itu milik siapa.Serena membelalak horor, reflek bersembunyi dibawah meja hanya demi tak ingin bertemu dengan seseorang tersebut. Yang benar saja! Serena tak mau bertemu dengannya, Serena masih sangat malu mengenai kejadian semalam. "Se …-""Syuuut!" Serena meletakkan jari telunjuknya di bibir, memperingati dan memberikan isyarat agar Risky diam. Risky yang tak paham hanya menggaruk tengkuk, menatap Serena bingung lalu langsung menatap Rafael yang tiba-tiba sudah ada di depan kubikel Serena. "Kau melihat Serena?" tanya Rafael dengan datar, bersedekap di dada lalu menoleh ke arah istrinya bersembunyi. Dasar konyol! Dari jauh Rafael melihat jika Serena bersembunyi di bawah meja kerjanya. "Aku tidak melihatnya, El," jawab Risky, terlihat masih bingung -- menggaruk tengkuk dan menatap Rafael congang.
Bug'Serena terhempas kasar ke atas kasur, wajah paniknya kentara jelas terlihat dan bahkan bibirnya ikut memucat. Dia seperti merasa de javu! "Ra--Rafael," cicit Serena dengan air muka tegang, menatap takut-takut ke arah Rafael yang membuka dasinya sendiri dengan kasar. "Aku sangat tak suka jika kau dekat dengan pria selain aku, Serena," desisnya sembari mengingat kedua tangan Serena di atas kepala, menggunakan dasi tersebut. "Aku menyuruhmu jatuh cinta padaku, bukan suka pada Maxim!" gertaknya kasar, menatap tajam dan manik menggelap ke arah Serena. Serena tersentak takut, memejamkan mata dengan erat dengan jantung yang sudah berdebar kencang. "Dan kau yakin bisa membuatku …- membuatku …-" dada Serena sesak, naik turun karena menyuruh oksigen. Dia membuka mata, memberanikan diri untuk menatap Rafael -- dengan wajah tegang dan muram. "Kau yakin bisa membuatku jatuh cinta dengan cara seperti ini, El?" ulangnya. "Cih." Rafael berdecis sinis, duduk di atas perut Serena sembari men
"Ih, Serena kenapa tak kenyang-kenyang yah dari tadi. Lapar atau gimana sih? Banyak banget makannya. Seperti orang miskin yang tak pernah makan sama sekali." Jenner berucap dengan nada bercanda, namun menatap sinis dan tak suka pada Serena. Cik, harusnya dia yang duduk bersebelahan dengan Rafael. Bukan perempuan si anak babu itu. "Jaga ucapanmu." Rafael memperingati, menatap lempeng ke arah Jenner. Perempuan itu langsung memanyunkan bibir, menatap Rafael dengan tatapan sayup dan berharap dimanja oleh Rafael. "Aku hanya bercanda, El.""Lebih baik kau diam." Kali ini Maxim yang memperingati Jenner, seketika langsung membuat Jenner diam dan memilih hanya menatap makanannya. Sejujurnya, dia sakit hati. Rafael lagi-lagi berpihak pada Serena. Bahkan pria yang mengaku menyukainya juga memilih berpihak pada Serena. 'Apa istimewanya anak babu itu.' batin Jenner, melirik Serena diam-diam secara kesal dan dongkol. Sedangkan Serena, diam-diam dia juga melirik Jenner -- tersenyum geli karena