"Jenny."Deg'Mata Jenny membelalak, menatap pucat ke arah seorang laki-laki di ambang pintu. 'Ke--kenapa dia tahu namaku?' "Kamu siapa?" tanya Jenny dengan air muka gugup, jantungnya berdebar kencang–takut pada sosok laki-laki tersebut. "Kamu nggak kenal suara aku?" Aayara buru-buru masuk dalam kamar tersebut, menutup pintu agar pembantu di rumah kakaknya ini tak tahu dan tak curiga juga. "Ini aku, Aayara!" ucap Aayara sembari berjalan mendekati Jenny, melepas topi dan juga hoodie– membuat kain sebagai body fake-nya lepas. "A-Aayara?" mata Jenny membelalak, jantungnya lebih cepat melaju dan rasanya hampir copot dari tempat. "Aayara, aku bisa jelasin ke--kenapa aku di--di sini," ucap Jenny kembali, semakin gugup ketika Aayara terus menatapnya. Aayara menghela napas, menatap ke arah ranjang kemudian kembali menatap Jenny dengan raut iba dan simpati. "Ini kamar Kak Kevin. Kalian-- tidur satu ranjang?" tanyanya ragu-ragu. Jenny menggigit bibir bawah, menganggukkan kepala dengan pel
Tangan Kevin yang berada di pipi Jenny seketika berpindah ke pundak perempuan itu. Raut marahnya sedikit mereda, hanya tatapan tajam Kevin saja yang masih memancar pada sorot matanya. "Jadi kau sangat ingin ku nikahi, Heh?!" desisnya, terus melayangkan tatapan tajam pada Jenny. "I--iya. Aku akan tinggal di sini, jadi aku ingin dinikahi oleh Pak Kevin. Tapi-- jika memang Pak Kevin tidak bersedia, Pak Kevin bisa … bisa mempekerjakan ku sebagai asisten rumah tangga di sini," cicit Jenny, takut-takut sembari melirik Kevin ragu. "Kita tidak boleh satu kamar jika aku menjadi asisten rumah tangga di sini," tambahnya lagi. "Aku sangat anti pada pernikahan," ucap Kevin dengan enteng, tersenyum manis sembari menepuk-nepuk pelan pucuk kepala Jenny. "Tetapi aku juga tidak akan mempekerjakan pasanganku sebagai asisten rumah tangga."Deg 'Pasangan?' batin Jenny, kaget ketika Kevin menyebutnya sebagai pasangan. Jantungnya berdebar kencang dan matanya seketika terpaku pada iris coklat kehitaman y
"Sampai, Darling," ucap Maxim dengan tawa geli dan merdu. Sedangkan Aayara, sudah memasang air muka melongo dan masam. "Lah-- lah, kok ke garasi?" "Humm." Maxim berdehem pelan, mengelus pucuk kepala Aayara sembari tersenyum tipis. Aayara mendengkus setengah kesal, menepis tangan suaminya lalu buru-buru turun dari mobil. Bug'Dia sengaja membanting pintu mobil, melampiaskan rasa kesalnya karena Maxim … Maxim membodohinya! Cik, padahal Aayara sudah berharap jika Maxim akan membawanya ke swalayan untuk membeli banyak makanan serta jajan. Sialnya, Maxim hanya memasukkan mobil. ***Seperti yang Aayara katakan pada suaminya, dia ke kampus setelah siang hari. Sekarang dia di kampus dan baru saja menemui dosen pembimbing bersama Jenny, mereka mulai memasuki zona mengerikan. Yah, zona skripsi! "Aku sepertinya harus merayu Pak Maxim agar dia mau nge-joki skripsi. Aku-- tahap judul saja aku menyerah," cerocos Aayara sembari menggaruk kepala. "Hah." Jenny hanya menghela napas. Hidupnya s
Seperti perintah kakaknya, Aayara dan Jenny hanya duduk di teras rumah Kevin– menungggu Kakaknya tersebut pulang sembari sesekali mereka melirik ke arah pria paru baya dan pemuda angkuh yang pernah menabrak Aayara. 'Aku gugup karena Pak Kevin akan datang kemari. Seolah rahasia besarku dan Pak Kevin akan terbongkar. Padahal juga sudah terbongkar, bukan?' batin Jenny, duduk tegang di sebuah kursi yang ada di teras rumah Kevin. 'Hais, kenapa aku merasa seperti kenal dengan Bapak-bapak ini yah? Cik, mana dia liatin aku terus-terusan lagi. Jadi canggung begini.' batin Aayara, melirik dan mencuri pandang ke arah Ayah dari Rico. Entah kenapa Aayara merasa tak asing dengan pria tersebut, wajahnya mirip seseorang tetapi Aayara lupa seseorang itu siapa. Yang jelas, Aayara merasa jika pria ini tak asing baginya. "Ah, maaf." Tiba-tiba pria paru baya itu bersuara, membuat Aayara dan Jenny menoleh secara bersama pada sosok tersebut. "Diantara kalian, siapa yang merupakan istri dari Tuan Maxim?
"Jenny, aku pamit yah," ucap Aayara pada sahabatnya, Jenny, di mana hanya dapat mengangukkan kepala dan membiarkan Aayara pergi dari rumah tersebut. Jenny tak bisa mencegah Aayara lebih lama di sini. Tak mungkin! Setelah Aayara pergi, menutup pintu kamar, Jenny merebahkan tubuh di atas ranjang. Rautnya gelisah dan jantungnya berdebar kencang. Dia takut pada Kevin, dia tak berani setiap kali pria itu berhadapan dengannya. Ceklek' Tiba-tiba pintu terbuka– sebelum Jenny memejamkan mata dan memasuki alam mimpi. Dia spontan duduk, menoleh cepat dan takut ke arah Kevin yang memasuki kamar dengan langkah terburu-buru dan panjang. Tiba-tiba saja …-Bug'Kevin berhambur pada pelukan Jenny– membuat Jenny ambruk ke belakang, di mana Kevin berada tepat di atasnya dan menindih tubuh mungil Jenny. "Pa--Pak Kevin …-""Jangan melawan dan biarkan aku memelukmu," ucap Kevin serak dan rendah, mengubah posisi dengan tidur menyamping tetapi tetap memeluk Jenny erat. Pria itu menelusup ke ceruk lehe
Akhirnya Jenny dan Kevin menikah– sesuai rencana Kevin. Dia sengaja merahasiakan pernikahannya, takut jika ayahnya tahu dan menjadikan Jenny sebagai alat untuk menaklukan Kevin. Yang tahu pernikahannya dengan Jenny adalah Aayara, orang tua Jenny, Maxim, Rafael, Serena, dan juga Reigha."Sekarang kita sudah sah menjadi suami istri." Jenny menoleh ke arah Kevin, menatap pria itu dengan gugup dan jantung berdebar kencang. Dia meneguk saliva secara kasar, sedikit panik saat Kevin berjalan ke arahnya. Sebenarnya, tak ada bedanya ketika Jenny dan Kevin saat sebelum atau setelah menikah. Jenny sudah biasa di kamar ini, sudah biasa tidur satu ranjang dengan Kevin dan sudah biasa dalam ruang lingkup yang sama dengan Kevin juga. Hanya saja, ada perasaan berdebar aneh yang melanda jantung dan hati Jenny. Status pernikahan mereka seperti telah berhasil merubah sudut pandang Jenny pada Kevin. Suami yang harus dihormati! 'Kami menikah secara sederhana dan dihadiri oleh beberapa keluarga yang m
"Ekhmm." Pria itu berdehem pelan dan menyodorkan handphone ke arah Jenny. "Bagi nomor handphone lo. Cepat!"Jenny menepis tangan tersebut, buru-buru berdiri dan pindah tempat duduk di sebelah Aayara. "Apaan sih? Nggak sopan banget," ucap Jenny, terlanjur kaget pada seorang tersebut. Rico berdecak pelan. "Aku ini anak donatur kampus. Terserah, gue mau sopan atau tidak," ketus Rico. " Cepat bagi nomormu!" ucap Rico dengan buru-buru merampas handphone Jenny dari genggaman perempuan itu. Namun, tangannya ditepis kuat oleh Aayara- Aayara juga kembali merampas handphone Jenny dari Rico. "Ayahmu si paling donatur itu kemarin nangis-nangis di rumah Kakakku. Sekarang kamu pengen ayahmu nangis lagi?!" geram Aayara, menatap tajam dan tak suka pada Rico, "heran! Junior tapi nggak ada sopan santunnya sama sesepuh kampus.""Dia juga ayahmu dan aku tidak masalah. Kita satu ayah!" balik Rico yang berucap kesal ke arah Aayara. Aayara seketika melongo, menatap aneh bercampur bingung ke arah Rico. "K
"Ayah meminta maaf pada kalian bertiga, Nak," ucap seorang pria paru baya yang tak lain adalah Kamal Admaja, pria yang pernah menjadi cinta pertama Aayara namun juga sebagai patah hati serta luka pertama anak perempuan itu. Akan tetapi walau begitu, dengan lapang dada dan pancaran mata yang cerah, Aayara tersenyum dan menganggukkan kepala. Tak jauh berbeda dari Aayara, Arfita yang juga sudah di sana terlihat begitu sabar– tersenyum ke arah ayahnya dan mengangguk kecil. Melihat kedua adik perempuannya mau memaafkan, Kevin pada akhirnya ikut menganggukkan kepala. Mungkin dengan menerima serta mengikhlaskan, hatinya akan lebih baik dari yang sebelumnya dan hidup Kevin tak se gelap dulu lagi. "Kalian bertiga memaafkan ayah, Nak?" ucap Kamal lagi, suaranya parau dan matanya memancar dan berkaca-kaca. "Humm." "Iya.""Tentu."Ketiganya menjawab bersama dan menganggukkan kepala lagi. "Kalau begitu, bisahkah kita memulai hidup baru bersama lagi, Nak? Ayah berjanji tidak akan melakukan ha