Hari itu masih sore ketika sang pemilik bengkel memanggil Agus untuk menemuinya. Rasa cemas menyelimuti hati bapak dari tiga orang anak itu. Agus masih berpikir, kesalahan apa yang telah ia perbuat. Ia takut jika akan dikeluarkan dari tempatnya bekerja, padahal dirinya mulai nyaman dengan bengkel ini.Usai menyelesaikan pekerjaannya, Agus memberanikan diri untuk mendatangi rumah sang owner yang letaknya berada di sebelah bengkel. Tangannya terasa dingin, dan jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.Setelah mengetuk pintu dan mengucapkan salam, ia dipersilakan duduk oleh seorang lelaki."Maaf, Pak, apa saya ada salah?" tanya Agus kepada lelaki yang baru tiga kali ia temui itu."Salah?" Pak Susilo--pemilik bengkel--mencerna perkataan lelaki yang belum genap satu bulan bekerja kepadanya itu."tentu saja tidak!" imbuhnya disertai dengan senyum."Lalu, kenapa saya dipanggil kesini, Pak?" Agus menundukkan kepala."Aku memanggilmu mau ngasih ini." Lelaki berumur lima puluh tahunan itu m
Sepanjang malam Agus terjaga. Pikirannya menerawang jauh entah kemana. Permintaan sang istri terus saja membayang di otaknya.Sebenarnya ia ingin sekali menolak permintaan istrinya itu. Namun, Agus tak tega jika harus melihat Romlah bersedih. ***Pukul 06.45 Agus berangkat ke bengkel. Rasa kantuk yang terus dirasakan membuat dirinya sedikit tak bersemangat.Setelah bersih-bersih rumah, Romlah menemani anak keduanya bermain di teras depan rumah sambil menggendong Naura. Terdengar suara mesin sepeda motor ketika ia sedang bergurau dengan Riska. Begitu ditengok, ternyata suara itu berasal dari sepeda motor baru Yuli. Tanpa sadar, ada seorang tetangga yang sedang memerhatikannya terus memandangi kakak iparnya itu. "Rom!" Teriakan itu terang saja membuat Romlah kaget."Duh, Bu Susi, bikin kaget aja! Ada apa?" tanya Romlah sembari mengelus dadanya yang masih berdegup kencang."Nggak apa-apa, mau nawarin gamis model baru." Ibu yang memakai gamis berwarna hitam dan menenteng tas besar itu d
Agus kembali ke rumahnya dengan langkah yang gontai. Rasanya ia tak sanggup jika harus menyampaikan kabar kurang baik ini kepada istrinya.Akhirnya Agus memilih menghabiskan waktu di teras depan Rumah dengan ditemani sebungkus rokok.Setelah menghabiskan beberapa puntung rokok, Agus masuk ke dalam rumah. Ia berharap jika Romlah sudah tertidur. Namun, keadaan sedang tak berpihak kepadanya."Kok, baru pulang Mas?" tanya Romlah begitu melihat suaminya masuk ke dalam kamar."Iya, Dek. Mas, langsung tidur, ya. Badan rasanya capek banget." Agus membaringkan tubuhnya di samping Romlah.Melihat wajah sang suami yang lesu, membuat Romlah dapat menebak apa yang terjadi kepadanya. Romlah merasa kasihan pada suaminya, karena permintaannya membuat Agus menjadi tertekan seperti itu."Nggak diizinin ibu buat jual sawahnya, ya, Mas?" Romlah menarik tangan Agus dan menggenggamnya.Agus membuka matanya. Ia melihat sang istri tengah memandanginya. Lelaki berumur tiga puluh enam tahun itu bangkit dan dud
Sore itu, Agus baru saja menyelesaikan pekerjaannya. Kondisi bengkel yang ramai membuat badannya gerah dan sedikit pegal di beberapa bagian tubuhnya.Selesai merapikan peralatan, Agus segera bersiap pulang. Setelah mengambil tas kecil miliknya, kemudian Agus menyusuri jalan yang selalu ia lewati setiap berangkat ataupun pulang kerja.Waktu telah menunjukkan pukul 16.30. Namun, hawa panas masih saja ia rasakan, maklum namanya juga musim kemarau.Agus meraih tas kecilnya, ia buka resleting depannya. Bapak dari tiga orang anak itu meraba seluruh sudut tasnya mencari rokok. Ah ... Agus baru teringat jika rokoknya baru saja habis.Lelaki berumur tiga puluh enam tahun itu berbelok masuk ke dalam toko kecil yang berada di sisi jalan untuk membeli rokok. Baru saja ia akan keluar dari toko itu, ia merasakan seseorang telah menepuk pundaknya."Gus, pulang kerja?" Agus menengok ke arah pemilik suara itu."Eh, kamu, Rud. Kaget aku!" Agus tersenyum kepada tetangganya itu."Kirain abis tragedi tadi,
Selesai bekerja, biasanya Agus akan langsung menuju rumahnya. Namun, kali ini berbeda, Agus sedang duduk di pos ronda pinggir jalan. Sepertinya ia sedang menunggu seseorang.Agus terlihat celingukan tengok kanan dan kiri secara bergantian. Beberapa kali juga ia berdiri kemudian duduk kembali. Untuk mengusir rasa bosannya, lelaki dengan tinggi 165 centimeter itu mengambil handphone yang ada di dalam tas kecil lalu memainkannya.Setelah menunggu cukup lama, akhirnya datang seorang lelaki yang menghampiri Agus. Sepertinya mereka cukup akrab, hingga tak tampak kecanggungan di antara mereka."Mau motor apa, Gus?" Lelaki yang akrab dipanggil Adul itu mengeluarkan beberapa lembar kertas berisi gambar dan daftar harga sepeda motor."Aku lihat-lihat dulu nggak apa-apa, kan, Dul?" Agus meraih kertas itu dan membacanya satu persatu."Boleh, dong! Aku bawa kesini emang buat dilihat, kan." Adul tertawa menanggapi ucapan Agus.Adul adalah teman sekolah Agus waktu SMP. Ia bekerja sebagai marketing d
Pagi itu, Siti yang baru saja bangun tidur, teringat kembali dengan pembicaraannya malam tadi dengan Agus. Ia masih belum yakin dengan keputusan yang dibuatnya. Ada sedikit keraguan yang mengganjal di sisi hatinya.Malam nanti, rencananya ia akan mengumpulkan Agus dan juga Yuli untuk membicarakan perihal penjualan sawah. Ia berharap Yuli akan terima dengan keputusannya itu, walaupun sebenarnya ia tahu akan sulit bagi anak sulungnya itu untuk menerima keputusannya.Siti berjalan ke depan rumahnya. Ia berdiri sejenak di depan rumahnya. Ibu dari tiga orang anak itu sedang melihat kerepotan menantu perempuannya yang sedang menyuapi Riska sembari menggendong Naura. Tak jarang Riska sengaja berlari agar sang Ibu mengejarnya.Romlah dulunya adalah gadis yang cantik. Ia juga begitu peduli terhadap keluarga. Hanya saja sang mertua tak menyukai sifat boros dan keras kepala dari wanita yang berumur tiga puluh tiga tahun itu.Siti kembali masuk ke dalam rumah. Ia duduk di sebuah kursi, kemudian m
Agus mulai terlihat sibuk beberapa hari ini. Ia memanfaatkan waktu sebelum dan sepulang bekerja untuk membersihkan sawah yang akan dijual itu. Rumput yang begitu rimbun memaksa lelaki berumur tiga puluh enam itu untuk memangkasnya. Tak jarang ia sampai rumah ketika azan magrib terdengar. Agus melakukan itu semua atas saran pakdenya, agar harga sawahnya naik. Kondisi sawah yang tak ditangani dengan baik juga mempengaruhi tinggi rendahnya harga sawah itu.Kini sawah terlihat lebih baik. Rumput dan ilalang tak lagi terlihat meninggi.Sepulang bekerja sore ini, Agus berencana akan memasang papan berisi info jika sawah itu akan dijual, disertai dengan keterangan luas sawah, dan juga nomor telepon Agus. Anak kedua Siti itu berharap sawah milik sang Ibu akan segera terjual dengan harga tinggi.Selain dengan memasang papan, Agus juga mengiklankan sawahnya dengan cara memasang foto sawahnya ke media sosial miliknya. Tak jarang Agus juga menawarkannya kepada sanak saudaranya .Berhari-hari me
Agus menyusul Siti yang sedang bersama dengan sang kakak. Wajah sang Ibu terlihat pucat. Orang-orang yang berada di sawah saat ini pun saling berbisik."Kenapa, Bu?" Agus mendekati Ibunya."Yuli masih ngotot gak setuju sawah ini dijual, Gus." Mata Siti memerah menahan marah dan juga malu."Mbak, jangan gitu, lah. Mbak mau bikin Ibu malu?!" Agus mulai geram dengan tingkah kakaknya itu."Aku nggak peduli, pokoknya aku nggak setuju!""Kamu jangan gitu, lah, Yul. Kemarin kita udah omongan ini baik-baik, kan? Lagian, kamu udah pernah dikasih sapi sama almarhum bapakmu waktu mau renovasi rumah. Jadi udah cukup adil kalau sekarang Ibu kasih sawah buat Agus!" Siti kesal karena Yuli tak bisa diajak bicara baik-baik."Oh, jadi Mbak Yuli yang jual sapi bapak buat renovasi rumah? Katanya pakai tabungan suamimu, Mbak?!""Ya itu, kan-" Yuli bingung mau menjawab apa."Sudah-sudah, Gus, kita ke sana aja. Malu dilihat banyak orang!" Siti menarik tangan Agus untuk menjauhi Yuli."Tapi kan, Bu! Ibu!" te