Semenjak Angga sembuh dari sakitnya kemarin, ia menjadi anak yang pemilih untuk urusan makanan. Romlah harus lebih kreatif dalam memasak menu untuk Angga. Itu pun kadang hanya beberapa suap yang dimakan. Lihat lah! badannya kini menjadi lebih kurus.
Juga Riska, ia pun sering rewel saat akan tidur. Di hari biasanya, Riska akan tidur selesai menyusu, tetapi beberapa hari ini berbeda. Entah apa yang diinginkan Riska. Ibunya pun sampai bingung melihat kelakuan mereka.Romlah mulai lelah dengan keadaan ini. Ia terlihat stres membujuk Angga agar mau makan. Beberapa menu makanan ia sebutkan agar Angga dapat memilih sendiri makanan yang diinginkan. Mulai dari sop ayam, soto ayam, sate, dan yang lainnya, tetapi usahanya nihil. Angga tetap saja menggelengkan kepala dan membuat Romlah emosi.Karena merasa lelah, akhirnya Romlah memutuskan membeli saja masakan yang dijual di warung depan gang. Ia membeli beberapa potong ayam bumbu kecap dan beberapa lauk lainnya.Sedang sibuk membujuk Angga agar mau makan, tak sadar jika mertuanya telah berada di depan meja sambil memperhatikan makanan yang baru saja ia beli."Ini beli di mana, Rom?" tanya Siti."Di warung depan, Bu," jawab Romlah keluar dari kamar Angga."Emang kamu nggak bisa masak? Mentang-mentang abis dikirimi uang sama laki, beli terus!" tuduh Siti menjembreng plastik berisi makanan itu."Engga terus, Bu. Beli juga baru ini, soalnya Angga lagi susah makan," jelas Romlah tak mau disalahkan."Halah, alesan! Kamu jadi ibu jangan boros-boros, lah! Kasian Agus tiap hari kerja tapi gak punya tabungan!" Siti duduk di kursi kayu ruang tamu Romlah.Riska yang berada di gendongan Romlah mulai merengek, mungkin ia lapar. Romlah mengambil nasi dan hendak menyuapi Riska. Dibawanya lauk yang dibeli tadi untuk ditempatkan di piring."Mau nyuapi Riska apa Angga?" tanya Siti."Nyuapi Riska, Bu. Angga nanti abis ini," jelas Romlah."Ambilin nasi buat Angga sana, biar Ibu yang suapi Angga!" perintah Siti. Romlah segera kembali ke dapur untuk mengambil nasi beserta lauknya."Ini, Bu." Romlah menyerahkan piring yang dipegangnya. Lalu memanggil Angga agar duduk di dekat neneknya.Riska terus saja merengek, hingga Romlah membawa Riska ke teras rumah. Beruntung Riska mulai tenang dan mau menerima suapan Romlah. Sebentar saja, makanan di mangkok sudah habis dimakan Riska. Romlah senang dan memeluk putri kecilnya itu."Makanannya abis, pinter anak Ibu. Udah jangan rewel lagi, ya," ucap Romlah kepada Riska. Walaupun Riska belum mengerti yang dibicarakan ibunya, tetapi Romlah cukup bahagia.Begitu masuk ke dalam rumah, Romlah mendapati makanan Angga dimakan oleh neneknya dan hanya tersisa sedikit."Makanan Angga kok dimakan, Bu?!” Romlah terkejut dengan kelakuan mertuanya."Abisnya Angga nggak mau mangap Ibu suapin, ya, udah, daripada mubazir mendingan Ibu makan, kan?" bantah Siti. Ia sama sekali tak merasa bersalah."Tapi, Angga belum makan, Bu. Aku juga lagi nggak masak, makan sama apa dia nanti?" Sebenarnya Romlah geram. Namun, ia tak tahu apa yang harus diperbuatnya."Tinggal beli lagi apa susahnya, sih, Rom! Jangan pelit-pelit sama orang tua! Baru kayak gini udah marah-marah. Kamu tahu nggak, Ibu yang ngelahirin Agus, Ibu juga yang ngerawat Agus dari kecil, giliran udah gede malah kamu yang dikasih duit!" Siti berdiri dari tempat duduknya.Inilah yang ditakutkan Romlah ketika membuat mertuanya tersinggung. Mertuanya akan mengungkit jasanya sebagai Ibu dari suaminya. Mertuanya seringkali membesar-besarkan masalah."Agus pasti nyesel punya istri kayak kamu!" ketus Siti meninggalkan Romlah.Tak terasa butiran bening meleleh ke pipi Romlah. Matanya memanas dan dadanya terasa sesak.Entah mengapa Siti begitu tega berkata seperti itu kepada menantunya. Tak berpikir kah ia juga wanita, yang pasti akan merasakan kesedihan yang sama jika mertuanya mengeluarkan perkataan yang sama terhadapnya."Ibu, kok, nangis?" tanya anak sulung Romlah ketika melihat ibunya menyeka air mata."Nggak apa-apa, kok, Nak. Ibu cuma kelilipan," bohong Romlah."Ibu dimarahi Nenek gara-gara aku, ya? Maafin aku ya, Bu. Aku janji nggak nakal lagi," kata Angga memeluk ibunya."Iya, Nak." Romlah tersenyum dan membalas dekapan anaknya. Tak terhitung lagi berapa banyak air mata yang ia keluarkan. Ia berharap semua beban yang dipikul luruh bersama tangisannya.***Pukul enam pagi, Romlah dibangunkan oleh suara dering telepon genggamnya. Diraih benda pipih itu. Terlihat jelas nama suaminya yang sedang memanggil. Tak butuh waktu lama, diusapnya gambar telepon berwarna hijau."Assalamualaikum, Mas. Belum berangkat?" tanya Romlah."Waalaikumsalam, Dek. Ini baru siap-siap," jawab Agus di seberang sana."Mas, boleh gak aku minta sesuatu?" tanya Romlah kepada Agus setelah berbasa-basi."Minta apa, Dek?" Suara Agus di telepon terdengar lembut sekali."Kemaren, aku lihat sepeda motor bagus banget di depan rumahnya Dewi. Kalau misalnya aku suatu saat nanti ngidam pengen sepeda motor kayak gitu bakalan Mas turutin, Nggak? Kalo orang ngidam harus dituruti pengennya, kan?" rayu Romlah."Iya, Dek. Kalau Adek ngidam nanti, Masa bakalan turutin pengennya Adek biar gak ngiler anak kita. Tapi, Adek nggak lagi hamil, kan?!" Agus terdengar serius dengan pertanyaannya."Enggak, lah, Mas. Kan, aku cuma berandai-andai. Tapi benar, ya, nanti beliin aku sepeda motor N-Max yang kayak aku lihat kemarin!" tagih Romlah."Iya. Udah dulu, ya, Mas berangkat, assalamualaikum," pamit Agus."Waalaikumsalam," jawab Romlah lalu mematikan sambungan telepon dengan suaminya.Disimpan lagi telepon genggamnya itu ke atas meja dekat tempat tidurnya.Romlah bangkit dari kasurnya karena merasakan mual yang begitu hebat. Sampai di kamar mandi, tak ada apapun yang keluar dari mulutnnya."Seperti orang ngidam aja, pagi-pagi mual," gerutu Romlah, dan di saat itu pula ia tertegun kala menyadari dirinya telat datang bulan."Apa, iya, aku hamil lagi?" Romlah mulai panik. Ia berusaha mengingat kembali kapan ia mendapatkan tamu bulanannya itu, tetapi tetap saja ia tak ingat."Ibu, sakit?" tanya Angga yang telah berdiri di belakang Romlah."Enggak, kok. Kayaknya Ibu masuk angin, soalnya dari tadi mual. Angga mau sarapan apa nanti?" Romlah memaksakan senyum di tengah kekhawatirannya."Sama telur ceplok aja, Bu," jawab Angga.Romlah pun meninggalkan Angga dan membuatkan sarapan untuknya.Selesai sarapan dan bersiap-siap, Angga pamit untuk berangkat sekolah. Angga berangkat bersama teman-temannya berjalan kaki.Romlah beranjak ke rumah Dewi untuk meminjam sepeda motor dan menitipkan Riska kepadanya. Ia beralasan harus ke apotek membeli obat.Usai dari Apotek, ia kembali ke rumah bersama Riska. Tak sabar rasanya ingin memakai alat tes kehamilan yang baru saja ia beli.Setelah memberi cemilan kepada Riska agar anteng, ia langsung menuju ke kamar mandi. Cepat-cepat ia memakai benda kecil itu tanpa membaca petunjuk penggunaannya karena ia masih ingat cara pakainya.Sembari menunggu hasil, Romlah membawa testpack itu ke kursi ruang tamunya.Mata Romlah memanas, jantungnya terasa berdetak lebih cepat dari biasanya. Tangan panas dingin dan napasnya terasa memburu ketika melihat dua garis merah pada alat tes kehamilan yang dipegangnya."Romlah, kamu hamil lagi!" teriak Siti yang berada tepat di depan Romlah. Karena terlalu buru-buru, ia lupa mengunci pintu rumahnya."Romlah, kamu hamil lagi!" teriak Siti yang berada tepat di depan Romlah. Karena terlalu buru-buru, ia lupa mengunci pintu rumahnya.Romlah kaget hingga benda yang dipegang terjatuh. Siti mengambil alat tes kehamilan itu dan memastikan yang dilihatnya tidak salah."Astaga, Rom!" Siti kaget begitu melihat hasil dari tes kehamilan itu.Siti terduduk di kursi yang terbuat dari kayu. Romlah merasa bersalah, dan ikut duduk di hadapan mertuanya. Terdengar suara tangisan Riska dari dalam kamar. Segera Romlah menggendong anak perempuan itu. Romlah mendekati mertuanya dan kembali duduk di hadapannya.Terlihat raut sedih di wajah Siti, sesekali ia memijat pelan keningnya. Beberapa kali Siti menarik napas lalu membuangnya. Badannya pun terlihat tak bertenaga.Romlah yang tak enak hati, semakin merasa bersalah melihat sikap mertuanya. "Riska masih kecil, Rom," ucap mertuanya. Pandangannya terlihat kosong. "Iya, Bu." Romlah menatap anak yang digendong lalu menundukkan kepalanya.Saat ini, rumah
Yuli masih kesal dengan kehamilan Romlah yang baru saja ia ketahui. Sebenarnya, bukan karena usia Riska yang menjadi penyebab utama kekesalannya, ada hal lain yang mengganggu pikirannya."Jangan sampai hutangku nggak jadi dibayar gara-gara dia hamil!" gerutu Yuli.Yuli selalu merasa emosi tiap memikirkan utang yang tak kunjung dibayar oleh Romlah. Berkali-kali ia tagih, tetapi berkali-kali pula ia mendapatkan kekecewaan.Ketika dijanjikan Romlah akan membayar utangnya empat bulan lagi, hatinya cukup gembira. Setidaknya, ada setitik harapan uangnya akan kembali. Diambil telepon genggam yang sedari tadi tergeletak di meja. Ditekan nomor yang telah diberi nama Agus itu. Tak berselang lama, panggilan akhirnya tersambung.[Halo, Mbak.][Halo, Gus. Lagi istirahat?][Belum, Mbak. Ada apa?][Udah tahu belum, kalo Romlah hamil lagi?][Hamil? Masa, sih, Mbak?][Aku lihat sendiri Romlah pegang testpack dan hasilnya positif. Lagian, Romlah udah ngakuin, kok, kalau dia emang beneran lagi hamil. E
Dering telepon membuyarkan lamunan Romlah. Senyum merekah di bibirnya ketika melihat nama suaminya yang memanggil. Sedari tadi memang ia menunggu telepon dari Agus. Tak sabar rasanya, segera diusap tombol berwarna hijau itu."Halo, Mas," ucap Romlah sengaja bermanja dengan senyum yang tak lepas dari bibirnya. Banyak hal yang ingin diceritakannya kepada suaminya."Aku nggak nyangka kamu tega sama aku, Rom!" kata Agus pelan. Tersirat kesedihan terdengar dari suaranya."Kenapa, Mas? Ada apa?" Romlah bingung karena tak mengerti yang diucapkan oleh suaminya."Dengan siapa kamu melakukannya?!" Nada bicara Agus mulai meninggi."Apa, sih, Mas? Kamu ngomongin apa?" desak Romlah."Kamu selingkuh, ‘kan, di belakangku! Siapa ayah dari bayi yang kau kandung? Katakan, Romlah!" bentak lelaki berusia tiga puluh enam tahun itu."Aku nggak selingkuh, Mas." Romlah lemas mendengar perkataan suaminya. Seperti ada sesuatu yang menusuk di dada Romlah. Bulir bening pun menetes dari matanya. "Jangan bohong!
Hari terus berlalu, tetapi tidak dengan kebencian Romlah terhadap kakak iparnya. Setelah rumah tangganya dibuat porak poranda, bahkan namanya kini telah menjadi buah bibir oleh warga sekitar. Romlah kini lebih sering menghabiskan waktunya di rumah. Selain untuk menghindar dari Yuli, Romlah juga enggan untuk bertemu ibu-ibu yang selalu menggosip. Hatinya masih terlalu rapuh untuk menjawab pertanyaan para ibu tentang kehamilannya. Berita yang tersebar saat ini adalah kehamilannya dengan pria lain ketika ditinggalkan Agus untuk bekerja.Begitu kejam fitnah yang dibuat oleh kakak iparnya itu. Seperti tak ada puasnya membuat Romlah menderita. Romlah sedang menemani Riska yang tengah tidur di dalam kamar ketika mertuanya memanggil namanya."Rom, Romlah. Ibu mau bicara," ucap mertua Romlah yang langsung duduk di kursi kayu."Iya, Bu." Romlah bergegas keluar. Sebenernya ia sangat malas untuk menemui mertuanya. Namun, dia tidak bisa menolaknya.Romlah duduk di hadapan wanita berusia lima pul
Mempunyai keluarga yang saling mendukung, sejatinya adalah impian setiap orang. Begitu pun dengan Romlah. Namun apa daya, kini dia justru merasa sendiri menghadapi kerasnya dunia.Jika hanya mertua dan kakak iparnya yang membencinya, mungkin ia masih bisa terima. Namun, ketika suaminya sudah tak mempercayainya, apakah mungkin biduk rumah tangganya masih dapat terus berjalan? Bertahan terlalu sakit, tetapi untuk menyerah bukanlah pilihan yang mudah.Demi anak-anaknya dia terus bertahan untuk memperjuangkan keutuhan keluarganya. Walaupun tak terhitung entah berapa banyak tetes air mata yang ia tumpahkan.Ini adalah hari kelima setelah pertengkarannya dengan Yuli. Itu artinya ini hari kelima juga pertengkarannya dengan Agus. Sejak saat itu, Agus tak lagi menghubunginya. Jangankan untuk meminta maaf, untuk menanyakan kabar anak-anaknya pun tidak.Begitu pula dengan Romlah, dia juga tak mau menghubungi suaminya. Rasa sakit hati membuatnya enggan untuk memberi kabar kepada suaminya.Hari in
Teriknya siang ini menambah suhu di kota Jakarta semakin panas. Namun, hal itu tak mengurangi semangat Agus dalam bekerja. Sebagai seorang montir, ia dituntut untuk selalu fokus dalam pekerjaannya. Bapak dari dua orang anak itu tak mau posisinya digantikan oleh orang lain karena pekerjaannya tidak bagus.Sebenarnya, Agus saat ini tengah merasakan keresahan dalam hatinya. Bagaimana tidak? Istri yang amat dicintainya kini tengah hamil padahal Agus telah dua bulan lebih berada di kota Jakarta. Hatinya panas ketika diberitahu oleh kakaknya. Mengapa Romlah begitu tega menduakan cintanya?Segalanya telah Agus berikan kepada Istrinya, hingga seluruh uang gajinya pun dia berikan seluruhnya kepada Romlah setelah dikurangi uang bensin. Sedangkan untuk urusan makan, dia telah mendapatkan jatah dari bengkel tempatnya bekerja.Beberapa hari tak menelpon keluarga kecilnya di kampung, membuat kerinduannya menggunung. Namun, rasa sakit hati yang terlalu dalam kepada istrinya, membuat Agus harus menah
Bagi sebagian orang, mereka akan merasa antusias ketika hendak pulang kampung. Namun, hal itu tidak terjadi pada Agus. Anak kedua dari ibu Siti itu justru merasa bingung harus bersikap seperti apa ketika bertemu dengan istrinya nanti.Rasa tidak tenangnya terlihat sekali ketika Agus beberapa kali merubah posisi duduknya. Bahkan, sepanjang jalan ia tak dapat memejamkan matanya.Setelah menempuh perjalanan kurang lebih sekitar enam belas jam, akhirnya ia tiba di tempat pemberhentian bis terdekat dari desanya. Walaupun ia masih harus memesan ojek untuk sampai ke tempat tinggalnya.Tepat pukul 05.00, Agus menginjakkan kaki di desa tempatnya dilahirkan. Di depan pintu kini lelaki itu berdiri. Ingin sekali rasanya segera masuk ke dalam rumah sederhana yang telah ia bangun bersama istrinya delapan tahun lalu. Di dalam rumah ini juga, perjalanan keluarga kecilnya dimulai."Bapak!" Seorang bocah berumur delapan tahun yang baru saja bangun tidur menghampiri Agus. Entah berapa lama ia termenung
Agus bangkit dari tempat duduknya lalu menuju rumah Yuli. Siti yang khawatir dan penasaran pun mengekor di belakang Agus. Ia tak ingin terjadi hal yang tidak diinginkan.Agus hanya butuh penjelasan perihal kebohongan kakak perempuannya itu. Dengan tergopoh-gopoh ia mendatangi rumah Yuli. Namun, begitu begitu sampai, ternyata rumah Yuli tertutup rapat. Tak ada tanda-tanda keberadaan ibu dua anak itu.Agus berbalik dan kembali ke rumahnya. Ibunya masih berada di belakangnya. Terlihat Siti menghela napas lega. Entah apa yang di sembunyikan Siti dan Yuli. Ada banyak pertanyaan yang ingin Agus tanyakan kepada kakaknya."Ibu pulang aja dulu. Aku capek pengen istirahat!" ucap Agus ketika melihat ibunya mengikuti dirinya masuk ke dalam rumah."Ibu kangen sama kamu, Nak!" Siti cemberut. Ia tak terima karena merasa dirinya diusir oleh anaknya sendiri."Iya, Bu, aku ngerti. Nanti, kan, aku ke rumah Ibu." Agus merasa risih karena terus dibuntuti oleh ibunya.Siti pun jengkel, dan meninggalkan rum