"Romlah, kamu hamil lagi!" teriak Siti yang berada tepat di depan Romlah. Karena terlalu buru-buru, ia lupa mengunci pintu rumahnya.
Romlah kaget hingga benda yang dipegang terjatuh. Siti mengambil alat tes kehamilan itu dan memastikan yang dilihatnya tidak salah."Astaga, Rom!" Siti kaget begitu melihat hasil dari tes kehamilan itu.Siti terduduk di kursi yang terbuat dari kayu. Romlah merasa bersalah, dan ikut duduk di hadapan mertuanya.Terdengar suara tangisan Riska dari dalam kamar. Segera Romlah menggendong anak perempuan itu. Romlah mendekati mertuanya dan kembali duduk di hadapannya.Terlihat raut sedih di wajah Siti, sesekali ia memijat pelan keningnya. Beberapa kali Siti menarik napas lalu membuangnya. Badannya pun terlihat tak bertenaga.Romlah yang tak enak hati, semakin merasa bersalah melihat sikap mertuanya."Riska masih kecil, Rom," ucap mertuanya. Pandangannya terlihat kosong."Iya, Bu." Romlah menatap anak yang digendong lalu menundukkan kepalanya.Saat ini, rumah Romlah terasa begitu sepi dan sunyi. Mereka membisu, seakan semua kata di dunia ini sudah habis dikeluarkan. Nyatanya, sejak tadi mereka hanya berperang dengan pikirannya masing-masing.Sesekali terdengar celotehan Riska yang sedari tadi tengah menyusu dan memainkan rambut ibunya.Tak mereka sadari jika ada seseorang yang telah masuk ke dalam rumah Romlah."Pantesan Yuli cari dari tadi nggak ada. Ternyata Ibu di sini!" Yuli masuk ke rumah Romlah dan duduk di samping ibunya.Siti hanya memberikan senyum kepada Yuli. Tak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya.Romlah gugup dan merasa tak nyaman di tempat duduknya. Ia takut jika Yuli mengetahui keadaan dirinya yang kini tengah hamil."Ibu sakit? Pucet banget mukanya, Bu?" Yuli menempelkan telapak tangan ke dahi ibunya."Nggak, kok. Ibu sehat," jelas Siti."Ini ada apa, sih? Kok, pada diem-dieman?" Mata Yuli tertuju pada apa yang dipegang oleh ibunya. Diambilnya barang itu dan melihat dengan seksama."Punya siapa ini, Bu?" tanya Yuli.Ibunya tak menjawab, tetapi, mata Siti menatap Romlah seolah memberi tahu jika itu milik menantunya."Kamu hamil lagi, Rom!" teriak Yuli, "Ya ampun, kamu ini! Anak masih kecil udah hamil lagi! Gak kasihan sama Riska?" hardik Yuli sambil berdiri. Terlihat sekali emosi di wajahnya.Romlah tak menjawab. Ia sudah menduga jika Yuli akan marah kepadanya."Sudahlah, Yul. Jangan teriak-teriak, malu sama tetangga," kata Siti mencoba menenangkan anaknya. Tangannya meraih pundak Yuli dan mengajaknya duduk kembali."Ini kelewatan, Bu. Riska belum genap setahun umurnya, udah mau punya adik aja dia!" Yuli kembali meletakkan bokongnya di kursi yang terbuat dari kayu."Aku juga nggak tahu kalo bakalan hamil lagi, Mbak," ujar Romlah memberanikan diri."Emang kamu nggak KB?" tanya Siti."Seingatku, dulu waktu Mas Agus mau pulang, aku udah KB, Bu. Tapi, nggak tahu, kenapa bisa hamil lagi," jelas Romlah."Kok bisa hamil kalo udah KB? Apa jangan-jangan itu bukan anak Agus?!" tuduh Yuli. Tangannya dilipat di depan dada dan tatapannya sinis sekali."Astaghfirullah, Mbak. Kok, ngomongnya gitu? Aku nggak pernah aneh-aneh, loh!" Romlah meneteskan air mata, tak terima dirinya dituduh bermain di belakang Agus."Yul, jangan ngomong gitu, nggak baik!" Siti menarik lengan Yuli."Ya siapa tahu, Bu. Agus kan udah lebih dari dua bulan balik ke Jakarta. Wajar dong aku mikir kayak gitu," bantah Yuli.Siti hanya bisa diam. Kepalanya terasa berat. Bayangan Angga dan Riska datang dan pergi di pikiran wanita berusia lima puluh empat tahun itu."Tapi, aku nggak pernah kayak gitu, Mbak," jawab Romlah, air matanya semakin deras. Lengan dasternya ia gunakan untuk menghapus buliran bening yang menetes di pipinya."Terus gimana anak-anakmu? Riska masih sepuluh bulan, Rom, dia masih menyusu kepadamu. Kalo nanti kamu hamil gede, apa, iya, bakalan terus kamu susuin?" keluar juga pertanyaan Siti yang semenjak tadi hanya bersarang di kepalanya."Nggak tahu, Bu," jawab Romlah singkat."Kamu dari tadi ditanya, jawabnya nggak tahu terus! Dipikirin, dong!" hardik Yuli."Emang belum kepikiran, Mbak. Aku tahu kalau aku hamil lagi juga barusan. Lagian, belum tentu aku hamil, bisa aja testpacknya salah. Iya, kan?" bantah Romlah."Matamu nggak bisa lihat kalau ini garis dua, ha! Apa fungsinya kamu pake alat itu kalo hasilnya kamu salah-salahin!" Yuli melemparkan testpack ke depan wajah Romlah. Yuli geram dengan jawaban Romlah."Sudahlah, Yul. Sudah!" Siti berusaha menengahi."Sudah apa, Bu? Punya anak dua aja masih sering ngerepotin Ibu. Dikit-dikit nitip Riska, kalau nambah satu lagi, apa nggak tiap hari nitipin Riskanya? Ucap Yuli menatap Ibunya, lalu menatap Romlah bergantian.Yang diucapkan Yuli memang benar. Seringkali Romlah menitipkan Riska kepada mertuanya. Entah untuk masak, untuk mandi atau untuk keperluan lainnya."Ya, udah kita pulang saja, nanti bisa diomongin lagi. Kasian Riska keganggu tidurnya!" ajak Siti kepada anaknya. Siti kasihan melihat tidur Riska terganggu oleh suara teriakan Yuli.Yuli dan ibunya pun bangkit dari tempat duduknya. Mereka meninggalkan Romlah dengan rasa bersalahnya.Bukankah setiap anak adalah rezeki? Lantas, mengapa Romlah merasa takut ketika mengetahui dirinya tengah mengandung? Ya, mungkin karena ia merasa belum siap. Terlalu cepat untuk mempunyai anak lagi ketika anak keduanya masih berumur sepuluh bulan.Rasa sesak kembali menghampiri Romlah ketika ia memikirkan tentang Riska. Bagaimana ASI-nya, makanannya, juga siapa yang akan menjaganya ketika adiknya lahir nanti.Terlebih, mengingat ia harus berjuang sendiri menjaga buah hatinya. Tak mungkin ia meminta suaminya berhenti bekerja demi membantunya mengurus anak-anaknya.***Beberapa hari tak melihat Romlah berkunjung kerumahnya, membuat Dewi khawatir. Setelah pekerjaan rumahnya selesai, ia berjalan menuju rumah Romlah."Rom," panggil Dewi."Masuk, Dew!" sahut Romlah dari dalam rumah.Begitu di dalam, Dewi menurunkan Fitri dari gendongannya."Kok, nggak pernah keliatan, kamu sakit, Rom?" tanya Dewi.Hanya dengan menatap mata Dewi, runtuhlah tembok pertahanan hati Romlah. Dia menangis sejadi-jadinya. Setelah ia tenang, diceritakan permasalahan yang saat ini ia hadapi. Kembali tangisannya pecah di pelukan Dewi."Udah, nggak apa-apa. Anak itu rezeki, pasti ada jalan," ucap Dewi menenangkan Romlah yang masih berada di pelukannya."Tapi, gimana Riska, Dew? Dia masih ASI," kata Romlah mengurai pelukannya."Ya, gimana lagi. Mau nggak mau harus mulai minum susu formula. Takutnya kalo terus-terusan ASI, malah bikin bahaya janinmu. Atau mau nyusu langsung ke sapi aja Riskanya?" Dewi berusaha menghibur Romlah."Enak aja. Biar kayak gitu juga masih anakku itu. Masih kuatlah buat beli susu formula. Paling kalau lagi mepet, bolehlah pinjam dulu seratus," ujar Romlah. Suasana hati Romlah mulai membaik."Lagian, gacor amat, sih, Mas Agus, sekali bikin langsung jadi!" goda Dewi sambil mencubit paha Romlah."Makanya, sebenernya takut aku kalau dekat-dekat dia, bahaya. Sekali pegang langsung nyetrum." mereka tertawa bersama.Sejenak Romlah bisa melupakan kegalauan yang akhir-akhir ini ia rasakan. Hatinya merasa tenang walau sejenak, tetapi tidak tahu bagaimana hari ke depan, ketika Agus sudah pulang nanti. Karena Romlah pun belum mengabari pada Agus, apa yang terjadi kepadanya saat ini.Yuli masih kesal dengan kehamilan Romlah yang baru saja ia ketahui. Sebenarnya, bukan karena usia Riska yang menjadi penyebab utama kekesalannya, ada hal lain yang mengganggu pikirannya."Jangan sampai hutangku nggak jadi dibayar gara-gara dia hamil!" gerutu Yuli.Yuli selalu merasa emosi tiap memikirkan utang yang tak kunjung dibayar oleh Romlah. Berkali-kali ia tagih, tetapi berkali-kali pula ia mendapatkan kekecewaan.Ketika dijanjikan Romlah akan membayar utangnya empat bulan lagi, hatinya cukup gembira. Setidaknya, ada setitik harapan uangnya akan kembali. Diambil telepon genggam yang sedari tadi tergeletak di meja. Ditekan nomor yang telah diberi nama Agus itu. Tak berselang lama, panggilan akhirnya tersambung.[Halo, Mbak.][Halo, Gus. Lagi istirahat?][Belum, Mbak. Ada apa?][Udah tahu belum, kalo Romlah hamil lagi?][Hamil? Masa, sih, Mbak?][Aku lihat sendiri Romlah pegang testpack dan hasilnya positif. Lagian, Romlah udah ngakuin, kok, kalau dia emang beneran lagi hamil. E
Dering telepon membuyarkan lamunan Romlah. Senyum merekah di bibirnya ketika melihat nama suaminya yang memanggil. Sedari tadi memang ia menunggu telepon dari Agus. Tak sabar rasanya, segera diusap tombol berwarna hijau itu."Halo, Mas," ucap Romlah sengaja bermanja dengan senyum yang tak lepas dari bibirnya. Banyak hal yang ingin diceritakannya kepada suaminya."Aku nggak nyangka kamu tega sama aku, Rom!" kata Agus pelan. Tersirat kesedihan terdengar dari suaranya."Kenapa, Mas? Ada apa?" Romlah bingung karena tak mengerti yang diucapkan oleh suaminya."Dengan siapa kamu melakukannya?!" Nada bicara Agus mulai meninggi."Apa, sih, Mas? Kamu ngomongin apa?" desak Romlah."Kamu selingkuh, ‘kan, di belakangku! Siapa ayah dari bayi yang kau kandung? Katakan, Romlah!" bentak lelaki berusia tiga puluh enam tahun itu."Aku nggak selingkuh, Mas." Romlah lemas mendengar perkataan suaminya. Seperti ada sesuatu yang menusuk di dada Romlah. Bulir bening pun menetes dari matanya. "Jangan bohong!
Hari terus berlalu, tetapi tidak dengan kebencian Romlah terhadap kakak iparnya. Setelah rumah tangganya dibuat porak poranda, bahkan namanya kini telah menjadi buah bibir oleh warga sekitar. Romlah kini lebih sering menghabiskan waktunya di rumah. Selain untuk menghindar dari Yuli, Romlah juga enggan untuk bertemu ibu-ibu yang selalu menggosip. Hatinya masih terlalu rapuh untuk menjawab pertanyaan para ibu tentang kehamilannya. Berita yang tersebar saat ini adalah kehamilannya dengan pria lain ketika ditinggalkan Agus untuk bekerja.Begitu kejam fitnah yang dibuat oleh kakak iparnya itu. Seperti tak ada puasnya membuat Romlah menderita. Romlah sedang menemani Riska yang tengah tidur di dalam kamar ketika mertuanya memanggil namanya."Rom, Romlah. Ibu mau bicara," ucap mertua Romlah yang langsung duduk di kursi kayu."Iya, Bu." Romlah bergegas keluar. Sebenernya ia sangat malas untuk menemui mertuanya. Namun, dia tidak bisa menolaknya.Romlah duduk di hadapan wanita berusia lima pul
Mempunyai keluarga yang saling mendukung, sejatinya adalah impian setiap orang. Begitu pun dengan Romlah. Namun apa daya, kini dia justru merasa sendiri menghadapi kerasnya dunia.Jika hanya mertua dan kakak iparnya yang membencinya, mungkin ia masih bisa terima. Namun, ketika suaminya sudah tak mempercayainya, apakah mungkin biduk rumah tangganya masih dapat terus berjalan? Bertahan terlalu sakit, tetapi untuk menyerah bukanlah pilihan yang mudah.Demi anak-anaknya dia terus bertahan untuk memperjuangkan keutuhan keluarganya. Walaupun tak terhitung entah berapa banyak tetes air mata yang ia tumpahkan.Ini adalah hari kelima setelah pertengkarannya dengan Yuli. Itu artinya ini hari kelima juga pertengkarannya dengan Agus. Sejak saat itu, Agus tak lagi menghubunginya. Jangankan untuk meminta maaf, untuk menanyakan kabar anak-anaknya pun tidak.Begitu pula dengan Romlah, dia juga tak mau menghubungi suaminya. Rasa sakit hati membuatnya enggan untuk memberi kabar kepada suaminya.Hari in
Teriknya siang ini menambah suhu di kota Jakarta semakin panas. Namun, hal itu tak mengurangi semangat Agus dalam bekerja. Sebagai seorang montir, ia dituntut untuk selalu fokus dalam pekerjaannya. Bapak dari dua orang anak itu tak mau posisinya digantikan oleh orang lain karena pekerjaannya tidak bagus.Sebenarnya, Agus saat ini tengah merasakan keresahan dalam hatinya. Bagaimana tidak? Istri yang amat dicintainya kini tengah hamil padahal Agus telah dua bulan lebih berada di kota Jakarta. Hatinya panas ketika diberitahu oleh kakaknya. Mengapa Romlah begitu tega menduakan cintanya?Segalanya telah Agus berikan kepada Istrinya, hingga seluruh uang gajinya pun dia berikan seluruhnya kepada Romlah setelah dikurangi uang bensin. Sedangkan untuk urusan makan, dia telah mendapatkan jatah dari bengkel tempatnya bekerja.Beberapa hari tak menelpon keluarga kecilnya di kampung, membuat kerinduannya menggunung. Namun, rasa sakit hati yang terlalu dalam kepada istrinya, membuat Agus harus menah
Bagi sebagian orang, mereka akan merasa antusias ketika hendak pulang kampung. Namun, hal itu tidak terjadi pada Agus. Anak kedua dari ibu Siti itu justru merasa bingung harus bersikap seperti apa ketika bertemu dengan istrinya nanti.Rasa tidak tenangnya terlihat sekali ketika Agus beberapa kali merubah posisi duduknya. Bahkan, sepanjang jalan ia tak dapat memejamkan matanya.Setelah menempuh perjalanan kurang lebih sekitar enam belas jam, akhirnya ia tiba di tempat pemberhentian bis terdekat dari desanya. Walaupun ia masih harus memesan ojek untuk sampai ke tempat tinggalnya.Tepat pukul 05.00, Agus menginjakkan kaki di desa tempatnya dilahirkan. Di depan pintu kini lelaki itu berdiri. Ingin sekali rasanya segera masuk ke dalam rumah sederhana yang telah ia bangun bersama istrinya delapan tahun lalu. Di dalam rumah ini juga, perjalanan keluarga kecilnya dimulai."Bapak!" Seorang bocah berumur delapan tahun yang baru saja bangun tidur menghampiri Agus. Entah berapa lama ia termenung
Agus bangkit dari tempat duduknya lalu menuju rumah Yuli. Siti yang khawatir dan penasaran pun mengekor di belakang Agus. Ia tak ingin terjadi hal yang tidak diinginkan.Agus hanya butuh penjelasan perihal kebohongan kakak perempuannya itu. Dengan tergopoh-gopoh ia mendatangi rumah Yuli. Namun, begitu begitu sampai, ternyata rumah Yuli tertutup rapat. Tak ada tanda-tanda keberadaan ibu dua anak itu.Agus berbalik dan kembali ke rumahnya. Ibunya masih berada di belakangnya. Terlihat Siti menghela napas lega. Entah apa yang di sembunyikan Siti dan Yuli. Ada banyak pertanyaan yang ingin Agus tanyakan kepada kakaknya."Ibu pulang aja dulu. Aku capek pengen istirahat!" ucap Agus ketika melihat ibunya mengikuti dirinya masuk ke dalam rumah."Ibu kangen sama kamu, Nak!" Siti cemberut. Ia tak terima karena merasa dirinya diusir oleh anaknya sendiri."Iya, Bu, aku ngerti. Nanti, kan, aku ke rumah Ibu." Agus merasa risih karena terus dibuntuti oleh ibunya.Siti pun jengkel, dan meninggalkan rum
Kesehatan Romlah perlahan mulai membaik. Semenjak suaminya pulang, ia benar-benar dapat beristirahat dengan tenang. Agus selalu memanjakan Romlah. Apapun yang diinginkan Romlah pasti akan dilakukan.Sore itu, Yuli sedang mencari Agus, entah ada perlu apa. Begitu masuk ke dalam rumah, ia melihat Angga tengah memainkan tab android barunya."Wah, baru itu tabnya Angga?" tanya Yuli yang langsung duduk di sebelah Angga."Iya, Bi. Baru di beliin bapak," jawab polos bocah delapan tahun itu."Bapakmu uangnya banyak ya, Ngga." Yuli meraih benda berbentuk kotak itu dan mengamatinya."Iya lah, Bi. Bapak, kan, baru pulang dari Jakarta, pasti uangnya banyak." Angga kembali memainkan tab yang baru saja dikembalikan oleh bibinya."Bilangin ibu sama bapak. Kalau punya duit, mendingan buat bayar utang! Bukan buat belanja terus!" Siti sengaja berbicara dengan keras agar didengar oleh Romlah."Emangnya ibu punya utang sama siapa, Bi?" Siswa kelas dua sekolah dasar itu penasaran."Ah udahlah! Kamu nggak