*Dua Tahun kemudian*
"Diana Immanuel yang sangat bucin, main yuk!"Sarah, teman Diana sedari kuliah itu tanpa sopan santun menggedor pintu apartemen Diana. Membuat Diana yang sedang memasak di dapur dengan tergesa menuju pintu. Takut akan tetangga yang mengomel karena gedoran bar-bar dari Sarah.Dengan segera Diana membuka pintu. Hingga tangan Sarah yang akan menggedor kembali terhenti di udara. Seketika cengiran tak berdosa dari Sarah terlihat kala Diana dengan celemek di dadanya menatap tajam dirinya."Sarah, sudah aku bilang jangan membuat keributan. Aku bisa diusir tetangga!" omel Diana kepadanya. "Dan lagi, margaku sekarang Edison, bukan Immanuel!"Sang pelaku mengabaikan protesan Diana dan justru dengan santainya masuk ke apartemen Diana. Mendudukkan diri pada sofa dan kemudian menaikkan satu kaki miliknya pada yang lain. Dilanjut dengan bersedekap dada.Sarah memandang Diana dari atas sampai bawah. Kemudian menggelengkan kepalanya."Masak mulu kamu. Padahal di makan juga enggak." kelakar Sarah. Membuat Diana mengerutkan bibirnya sebal. Sudah tau apa maksud sindiran Sarah.Diana ikut mendudukkan diri di depan Sarah."Mau ngapain kesini?" tanya Diana mengabaikan sindiran sahabatnya itu.Namun sepertinya Sarah belum menyerah. Dia kembali menanyakan sesuatu yang selalu ia tanyakan setahun terakhir ini kepada sahabatnya."Belum berniat cerai kamu?"Bukan maksud Sarah jahat. Namun ia sebagai sahabat Diana selama 8 tahun tidak tega melihat Diana yang selalu terabaikan oleh Edwin. Terlebih wanita manis itu memperoleh pengkhianatan. Sarah sangat geram. Ingin sekali ia mencincang Edwin dan membebaskan sahabatnya dari pria yang sialnya tampan itu."Masih jawaban yang sama." balas Diana enteng. Sarah heran bagaimana wanita itu bisa bertahan dengan pernikahan hampa ini."Diana! sudah 2 tahun, lo!" gemas Sarah.Diana berpikir sejenak. Kemudian ia kembali menatap Sarah sembari menampilkan senyum tulus."Aku tahu ...." katanya lirih.Jika seseorang bertanya apakah Diana tidak lelah dengan ini semua, Diana akan menjawab dengan berteriak bahwa ia lelah. Namun bagaimana, hati dan pikirannya masih mengingat pelukan dan ucapan aneh 2 tahun lalu. Itu adalah sesuatu yang membuat Diana kuat selama 2 tahun. Walau sebenarnya, tidak jarang Diana menangis sendirian di kamar mandi."Kamu masih percaya sama perkataan suamimu dua tahun lalu?" tanya Sarah. Ia sendiri juga mengetahui alasan Diana masih bertahan.'Tunggu aku walau itu memakan waktu bertahun-tahun.'Bisa-bisanya hanya karena perkataan seperti itu, Diana rela diduakan oleh suaminya sendiri hingga dua tahun. Sarah yakin itu hanya akal-akalan dari Edwin."Perkataan dua tahun lalu benar-benar berbeda dari sebelumnya, Sarah. Percayalah padaku." jelas Diana. Matanya menatap Sarah dengan keyakinan yang kukuh."Perkataan itu saat malam hari, bukan? Itu pasti kesurupan! Edwin kesurupan jin di kantornya dan berbicara ngelantur. Jadi mari lupakan kata-kata sialan itu, dan ke pengadilan agama!" ajak Sarah. Dia bahkan sudah berdiri dan berjalan ke arah Diana.Tangan Sarah sudah memegang tangan kiri Diana. Hendak benar-benar menyeretnya. Namun wanita itu tetap keukeuh untuk berdiam diri."Sarah, jangan ngelantur, ish! Udah, lepasin aku." pinta Diana.Ingin rasanya Sarah membenturkan kepala Diana agar otak wanita itu sehat.Sarah menyerah untuk menyeret Diana. Ia akhirnya melepaskan tangan Diana walau dengan ogah-ogahan. Wanita itu kemudian melirik pada dapur Diana."Lagi masak apa kamu? Aku numpang makan di sini ya." pinta Sarah sembari masih fokus pada dapur Diana. Ia sengaja ke apartemen Diana untuk menemani wanita itu agar tidak kesepian. Karena Sarah tau si bangs*at Edwin jarang pulang."Aku masak rendang." balas Diana. Ia berdiri dari sofa dan hendak menghampiri Sarah. Namun saat merasakan ponsel pada sakunya bergetar, ia mengurungkannya. Kembali duduk dan mengambil ponselnya.My Husband is calling ....Senyum Diana terbit. Tanpa perlu waktu lama ia mengangkat panggilan itu."Halo, Mas? Ada apa?"Suara ceria Diana membuat Sarah yang tadinya membelakangi Diana dan fokus pada dapur dengan segera berbalik. Kini memandang Diana yang tersenyum sangat lebar padahal hanya menerima panggilan dari Edwin.Benar-benar. Cinta bisa membuat orang lain gila."Yaa ... baiklah. Aku tidak akan datang ke perusahaanmu lagi dan mengirim makanan. Maaf, Mas."Baru beberapa menit Diana tersenyum, wanita itu kembali harus menelan kekecewaan. Diana kira Edwin akan berterima kasih kepadanya karena telah mengirim makan siang. Namun apa yang terjadi. Edwin justru memarahinya."Tidak pulang lagi?"Sarah bisa melihat sudut mata Diana mulai muncul cairan bening."Baiklah. Semangat bekerja, Mas."Panggilan singkat itu berakhir. Diana dengan segera menyimpan ponselnya pada saku dan menghapus air matanya agar tidak terjatuh. Ia tidak ingin menangis di depan Sarah.Diana memandang Sarah yang terdiam, "Mau menginap?" tawarnya pada Sarah. Diana juga berusaha memberikan senyum paling baik-baik saja. Namun bagaimana Sarah bisa berusaha tak tau. Kesedihan Diana sungguh jelas.Sarah melangkah mendekat. Kemudian merangkul Diana dengan erat dan dengan semangat berujar kepada Diana."Kita akan ke Club malam ini! Dan kamu harus mau! Masa seumur hidup nggak pernah ke Club si?!"Suara Sarah terdengar keras sekali di telinga Diana. Namun itu tidak menjadi masalah untuk Diana. Yang menjadi masalah adalah Sarah yang mengajaknya ke Club. Diana dengan keras menolak itu!"Enggak! Nggak ma-""Bodo amat. Ayo kamu mandi dan pakai baju terbaikmu!"Sarah mengabaikan pemberontakan Diana. Dia dengan semangat 45 menyeret Diana ke kamar mandi dan tanpa malu-malu mengeledah seluruh pakaian Diana. Diana benar-benar tidak ada hak untuk menolak.***Setelah 30 menit berkendara, akhirnya mobil sedan putih itu berhenti. Berdampingan dengan mobil mahal lainnya. Tepat berada di parkiran Club paling terkenal di ibukota Jakarta.Sarah sangat bersemangat. Dia ingin segera menenggak bergelas-gelas alkohol. Menghabiskan malam panjang bersama cairan itu. Karena jujur, pekerjaannya setiap hari semakin memiliki bobot yang membuat kepalanya ingin meledak. Atasannya seperti mempunyai dendam tersembunyi dengan Sarah hingga melimpahkan pekerjaan yang bukan bagian dari job miliknya."Ayo, mari kita-bersenang-senang!"Berbeda dengan Sarah yang bersemangat. Diana justru nampak ingin menghilang. Tangannya juga masih terus berusaha menurunkan dressnya."Kamu yakin? kita pulang aja ya," bujuk DianaYang tentu, Sarah segera menggelengkan kepalanya."Nope!"Dengan segera, malam yang tadinya nampak hening, berubah menjadi malam yang bising. Alunan musik terdengar sangat kencang. Diriingi oleh suara lagu disko yang menggema dan lampu yang ikut berkelap-kelip. Menampilkan kerumunan manusia yang berjoget ria meliuk-liukkan tubuhnya. Bahkan, banyak yang bercumbu di pojok ruangan tanpa memperdulikan sekitar.Bau alkohol sangat menyengat ketika masuk. Hingga tanpa sadar, Diana segera menutup hidungnya. Merasakan rasa tak nyaman. Melihat itu, Sarah hanya dapat tertawa."Mari kita pesan minum dulu," ajak Sarah sembari segera menarik Diana yang sibuk menutup hidungnya. Mereka segera sampai pada meja panjang yang tampak setengah lingkaran. Di dalamnya terdapat lima orang bartender pria yang terlihat sibuk membuat minuman penghilang stress.Segera Sarah duduk di salah satu kursi. Bersamaan dengan Diana yang duduk disampingnya. Terlihat linglung dan memperhatikan sekitar dengan ngeri."Dua Whisky, Tuan, " ujar Sarah. Yang dibalas anggukan salah satu bertender."A-aku nggak mau minum alhohol!" ujar Diana panik kepada Sarah.Sarah menaikkan alisnya, "Terus mau minum apa?""Em ... kopi?"Yang dibalas Sarah dengan tawa yang sangat kencang. Hingga beberapa orang yang duduk disampingnya menoleh. Membuat Diana semakin menciutkan dirinya sendiri."Ini bukan cafe!" jelas Sarah, "Udah tenang, Whisky enak kok. Aku bakal jaga kamu kalau kamu teler." jelasnya.Diana tak yakin dengan itu."Nah, coba minum, aku yakin kau akan suka." Diana, wanita yang baru pertama kali menginjakkan kaki di Club itu memandang Sarah dengan pandangan ragu. Wanita itu sedang menyodorkan minuman yang tadi Diana dengar dengan sebutan Whisky. Berwarna kekuningan. Itu ... seperti pipis. Diana menatap Sarah yang masih menunggu dirinya untuk mengambil minuman aneh itu, "Kamu ... yakin suruh aku minum ini?" Sarah nampak tidak sabaran. Dia memindahkan minuman itu dengan segera ke tangan Diana. Kemudian mengambil minumannya sendiri. "Itu bukan racun. Rasanya juga nikmat." terang Sarah. Kemudian dirinya membenturkan gelas miliknya dengan Diana. Hingga terdapat bunyi ting diantara keduanya. Sarah dengan segera meneguk minuman yang berada di tangannya tanpa ragu. Hingga tak perlu waktu lama, gelas yang tadinya penuh kini tinggal separuhnya. Sudah habis dilahap oleh Sarah yang sekarang terlihat sedang menutupkan matanya menikmati rasa minuman yang mulai mengalir melalui tenggorokannya. Diana meman
Diana dilemparkan ke kasur begitu saja setelah Zerkin—pria asing yang Diana cium—mengunci pintu. Setelahnya, tanpa menunggu waktu lama, Zerkin mulai membuka satu persatu baju miliknya. Tuxedo mahal berwarna hitam yang memang sedari awal sudah berantakan ia tanggalkan dengan mudah. Diikuti dengan tangan kekar Zerkin yang menarik dasi miliknya hingga ikatan rapi itu terbuka. Dan terakhir, dengan tergesa-gesa Zerkin merobek kemeja putihnya sendiri. Terlalu tidak sabaran dengan begitu banyaknya kancing. Sampai pada celana terakhir miliknya. Zerkin tak pernah melepaskan pandangan sedetikpun dari Diana. Ia bagai seorang pemangsa. Setelahnya Zerkin naik ke atas kasur. Tangannya mengukung Diana yang tak tau, betapa dalam bahayanya dirinya.Pria itu memandang wajah Diana yang tampak sangat polos dan menggoda secara bersamaan. Membuat dirinya benar-benar ingin menghujami Diana dan membuat wanita yang berada di bawahnya menjadi miliknya.Tangan besar Zerkin menyentuh wajah Diana yang kemerahan
Tubuh itu masih terlelap dalam mimpi. Walau disediakan kasur yang empuk, si empu justru memilih tergeletak pada lantai marmer putih yang dingin. Bersama selimut berantakan yang tergulung di badannya.Waktu sudah menunjukan pukul 10 siang. Cahaya matahari mulai merembes dari gorden jendela. Yang akhirnya membuat tubuh di lantai itu bergerak tak nyaman saat merasakan silau pada wajahnya. Akhirnya, Wanita dengan pakaian minim bahan dan juga rambut yang berantakan membuka matanya. Wajahnya sangat sayu dan kucel. Bahkan iler sudah membentuk dari sudut bibirnya yang tertidur dengan mulut terbuka.Sarah menguap lebar dan merenggangkan tangannya ke atas. Matanya mulai terbuka perlahan. Dan otaknya dengan perlahan mengumpulkan nyawanya yang berceceran. Tangan Sarah bergerak ke sudut bibirnya. Kemudian mengelap air liurnya.Setelah selesai merenggangkan tubuhnya. Dan merasakan kesadaran yang mulai kembali. Sarah segera dilanda pusing. Efek tadi malam yang tidak bisa mengontrol dirinya saat memin
"Tidurlah denganku."Itu sebenarnya hanya kalimat acak yang Zerkin plih untuk menggoda wanita di depannya. Namun tak Zerkin sangka, respon wanita itu akan sebrutal sekarang. Maksud Zerkin adalah, Diana menamparnya. Sungguh keras hingga suara tamparan itu berdengung dalam kamar yang mereka huni. Wajah Zerkin pun sampai menoleh ke samping. Sial, ini perih."Kau pikir aku apa?!"Dan kemudian, belum cukup dengan tamparan itu. Diana membentak Zerkin dengan amarah yang menggebu-gebu. Wajah Diana memerah, menahan marah juga tangis."Dasar lelaki m*sum!" teriak Diana kembali.Kini dirinya dengan brutal memukul dada Zerkin. Sekuat tenaga disertai lontaran hinaan untuk Zerkin."He-hei tenang! aku hanya bercanda!"Namun Diana seperti tak mendengar kalimat itu. Dirinya tetap terus memukul dada Zerkin. Hingga Zerkin bergerak mundur untuk menghindari tangan Diana yang tanpa henti pada tubuhnya. Namun sayang, dirinya justru tersandung hingga terjatuh dan membuat Diana terduduk di atas tubuhnya."Dasa
"Gila, banyak banget cupangnya!"Setelah menjelaskan semua hal yang terjadi kepada Sarah, wanita itu bukannya merasa bersalah karena telah membiarkan sahabatnya hampir saja diperk*sa. Dia justru nampak berbinar dan antusias melihat semua bekas gigitan yang memerah pada leher Diana. "Diem, deh!" Diana memberenggut sebal.Sarah justru tertawa. Wanita itu kemudian menatap kembali ke arah Diana yang menatapnya sebal. Kemudian Sarah menaikkan satu alisnya, "Ganteng nggak?""Apanya?!" balas Diana menghindari jawaban."Dih, ya mukanya lah!"Diana diam. Tak berniat untuk menjawab. "Woi! Gimana? Ganteng nggak?!" tanya Sarah lagi.Diana berdecak sebal, "Dikit!" tak ingin mengakui ketampanan dari pria menyebalkan itu.Dan dengan segera ingatan Diana kembali di saat dirinya tanpa sengaja mengagumi paras pria itu. Bagaimana dirinya yang membeku sesaat. Bagaimana wajahnya saat berada di atas Diana. Dan bagaimana tubuh kekar itu mengungkungnya di antara pintu.Diana dengan segera menutupi wajahnya
Edwin mengeryitkan dahinya kala mendengar suara alarm yang menganggu tidurnya. Dengan refleks tangan itu mencari sumber suara. Meraba meja yang berada di samping ranjang dan mengambil ponsel miliknya.Segera ia mematikan alarm. Kemudian melihat jam yang berada di ponsel. Pukul 7 pagi.Tangan itu meletakkan kembali ponsel pada posisi semula. Kemudian dirinya menggosok matanya perlahan. Berusaha menghilangkan kantuk dan mengumpulkan nyawanya yang belum sepenuhnya terkumpul.Saat merasakan adanya sesuatu yang memeluk perutnya, mata Edwin berpaling pada samping ranjang. Dan dia menemukan seseorang yang selama dua tahun ini telah menghabiskan malam panjang bersamanya.Marley Anabelly.Wanita cantik berumur 27 tahun dengan status yang masih lajang. Sangat berbeda dengan Edwin yang sudah memiliki istri. Umur mereka hanya terpaut satu tahun saja.Marley adalah cinta pertama Edwin semasa SMA nya. Mereka telah berpacaran kurang lebih empat tahun. Hingga sampai semester dua perkuliahan Edwin, hu
Semilir angin musim panas tak dapat meredakan rasa dingin yang menimpa Diana. Gugup menyebar membuat jari Diana saling gemetar. Lamarannya diterima. Dan sekarang Diana sedang berdiri di depan perusahaan tempat di mana suaminya bekerja untuk melakukan proses Interview.Diana sebelumnya dengan percaya diri mengatakan akan diterima. Namun saat sudah berada disini, nyali Diana kemarin entah menguap kemana. Perusahaan ini sangat besar. Terdiri dari 40 lantai. Dan terlihat banyak orang yang berlalu lalang meggunakan pakaian formal yang tampak berkelas. Wajah mereka saja seperti manusia cerdas.Diana memang sebelumnya adalah lulusan Cumlaude pada Universitas nomor satu di Jakarta progam studi Akuntansi. Dirinya bekerja hanya satu tahun kemudian menikah dengan Edwin. Diana takut pengalamannya yang kurang akan membuatnya gagal."Ya Tuhan, permudahkanlah urusan hamba." Doa Diana sebelum dengan perlahan melangkah masuk ke dalam gerbang. ***"Terima kasih, Mrs. Diana. Saya akan mengirimkan hasil
"Kamu nginep lagi, 'kan?" Marley bertanya kepada Edwin saat keduanya dalam perjalanan pulang. "Enggak bisa. Aku udah tiga hari nggak pulang." balas Edwin sembari masih fokus pada jalan raya di depannya. Mendengar balasan yang tidak sesuai keinginan Marley, ia mendengus sebal. "Nginep satu hari lagi emang nggak bisa?" bujuknya lagi. Edwin menekan rem saat mereka sampai pada depan Apartemen milik Marley. Lelaki itu kemudian memandang Marley yang saat ini sedang dalam mode marahnya. "Besok lagi, ya." tenangnya sembari mengelus kepada Marley. "Makanya cepat cerai." Mendengar itu Edwin sejenak menghentikan belain pada rambut Marley. Marley yang merasakan adanya perubahan pada raut wajah Edwin ikut memincingkan matanya curiga. "Kenapa?" tanyanya menuntut. "Aku janji secepatnya." Bibir Marley mencibir singkat. Ia melepaskan seatbelt miliknya sembari menggerutu. "Secepatnya, secepatnya. Dari dua tahun lalu juga bilangnya gitu." Setelah itu, Marley keluar dari mobil Edwin dengan mem