"Terima kasih atas kerjasamanya, Mr. Edwin dan Mrs. Marley. Saya pamit undur diri." Klien yang baru saja Edwan dan Marley temui, Mr. Adipta memberikan ulasan senyum pada keduanya. "Terima kasih juga, Mr. Adipta." Edwan membalas kembali senyum untuk menghormati Mr Adipta. Marley yang berada di sampingnya juga memberikan hal yang sama. Mengulas senyum sopan walau di dalam hatinya masih mengingat momen di mana ia hampir saja terlindas oleh mobil. Mr. Adipta memandang mereka berdua. Kemudian memberikan pertanyaan yang membuat Marley menyunggingkan senyum lebar. "Apakah kalian sepasang kekasih?" tanyanya. Namun segera, Edwan bersuara dengan suara yang tidak suka. "Saya sudah memiliki Istri, Sir. Dan dia bukan orang yang berada di sebelah saya." Mr. Adipta segera merasa tidak enak ketika melihat senyum lawan bicaranya sudah hilang. Segera dirinya meminta maaf. "Ah, maafkan aku, Mr. Edwin." Edwan berusaha memaksakan senyum. Teringat bahwa orang di depannya adalah klien penting. "Tidak m
Kalyani dan Diana akhirnya sampai pada restoran yang Kalyani katakan menjual kelinci bakar dengan rasa sedap. Segera setelah mereka memesan, mereka memilih tempat duduk di pinggir jendela. Hingga dapat melihat pemandangan padatnya ibu kota dengan orang yang berlalu-lalang. "Maafkan aku karena melibatkanmu, Kalyani." Diana merasa bersalah ketika wanita itu selalu terseret dalam masalahnya. Namun Kalyani sepertinya tidak masalah. Dia justru tersenyum lebar ke arah Diana. "Tidak masalah, Kak. Aku senang bisa membantumu. Karena kau tahu, aku tidak memiliki teman selain Kak Aria." Walau Kalyani mengatakan itu, tetap saja Diana merasa tidak enak. Andai Zerkin sudah tidak mengejarnya lagi. Andai Diana bisa hidup tenang selama ia bekerja. Diana hanya menginginkan itu. Sekarang, Edwin sudah berubah. Rasanya Diana sangat senang. Namun ketika masalah satu selesai, masalah lain justru datang. Suara dering ponsel milik Diana terdengar. Menandakan adanya pesan masuk. Segera Diana mengambil ben
Kalyani merasa makanan yang baru saja masuk di perutnya adalah makanan paling enak. Bumbunya begitu terasa pas dan daging itu begitu lembut ketika menyentuh lidah Kalyani. Kalyani akan menambahkan restoran tersebut sebagai restoran favoritnya. Kalyani dan Diana sekarang sedang berjalan kembali ke divisi mereka. Dan seperti hari-hari biasa, karena kalyani berjalan bersama Diana, maka dari itu gosip tidak pernah lepas saat mereka melewati pegawai lain. Namun kali ini Kalyani bisa merasakan tatapa mereka yang menyimpan rasa tidak suka pada Diana. Bahkan mereka dengan terang-terangan melirik sinis Diana. Kalyani dengan segera menggandeng tangan Diana. Membuat Diana menoleh ke arahnya. Dan Kalyani memberikan senyum lebar. Seakan mengisyaratkan, "Aku ada di sini, Kak. Kakak tenang saja." Akhirnya setelah perjalanan horor penuh mata sinis, mereka sampai juga di divisi keuangan. Namun berbeda dengan divisi lain, divisi mereka justru sangat ... sunyi. Diana sepertinya tidak menyadarinya.
Sekarang sudah waktunya pulang bekerja. Dan Kalyani benar-benar merasa takjub, kagum, dan tidak percaya dengan apa yang dirinya alami. Karena, semua orang divisi keuangan benar-benar diam membisu! Dari awal Kalyani kembali dari restoran itu, hingga pulang bekerja, mereka benar-benar diam tidak berbicara. Dan sekarang pun, saat membereskan meja dan barang-barang yang akan mereka bawa pulang, situasi masih sama. Merasa terlalu pusing memikirkan hal aneh itu, Kalyani segera membereskan barang-barang miliknya. Sesudah selesai, dirinya segera berjalan ke arah meja Diaa. "Kak Diana ngerasa aneh nggak si?" tanya Kalyani ketika sampai di samping Diana. Menunggu wanita itu membereskan barang-barangnya. Diana menghentikan kegiatannya dan memandang Kalyani bingung. "Aneh kenapa?" "Aku merasa, bukankah divisi kita terlalu sepi, 'Kak? Mereka benar-benar diam dan tidak menggosip seperti biasanya." Kalyani menerangkan pada Diana yang tampak tidak peka dengan keadaan sekitar. Mendengar itu, Dian
Jika kalian pikir dengan semua ancaman Edwin, Marley akan menyerah, kalian semua salah. Setelah dicekik, hampir tertabrak mobil, dan semua kata penuh nada amarah yang telah Edwin lontarkan, Marley masih tetap berani. Jika bertanya apa alasannya, Marley akan dengan keras mengucapkan bahwa dia mencintai Edwin. Dia tidak rela jika Edwin tiba-tiba lepas darinya tanpa alasan yang jelas. Dan Marley tetap yakin bahwa ... bahwa Edwin akan kembali kepadanya. Pasti. "Minumnya, Nona?" Suara seseorang membuyarkan lamunan Marley. Marley segera mengalihkan pandangan yang tadinya terfokus pada Edwin ke seseorang yang berpakaian seperti pelayan. Memegang nampan berisi berbagai alkohol yang ia bawa berkeliling dan ditawarkan pada semua tamu. Marley mengambil satu gelas tanpa mengatakan apapun. Kemudian kembali memandang Edwin sembari meminum minuman itu. Malam ini adalah malam kedua mereka di Bali. Dan saat ini, Marley serta Edwin sedang menghadiri pesta perayaan atas suksesnya pembangunan resort
"Bersabarlah. Tidak lama lagi aku akan menceraikan Diana dan menikahimu." Sulit bagi Diana untuk menerima apa yang telah ia lihat dan dengar detik ini juga. Pandangan Diana mengabur karena air mata yang dengan keras Diana tolak untuk ia keluarkan. Dadanya terasa sesak. Seperti seseorang telah meremas seluruh organ tubuhnya. Diana ingin menangis dan menjerit dengan keras. Namun alih-alih melakukan hal yang tak berguna seperti itu, Diana lebih memilih untuk berjalan lebih dekat ke arah seseorang yang membuatnya merasakan perasaan menyesakkan seperti ini. Dengan segera Diana berdiri beberapa langkah dari kedua manusia yang sekarang sedang duduk bersama di sebuah taman. Dengan tangan si pria yang menggantung apik pada bahu si wanita. Dan si wanita menyenderkan tubuh dengan nyaman pada dada kokoh si pria."M-mas Edwin?"Suara Diana bergetar. Dan tenggorokannya seperti ada benjolan hingga membuat Diana susah untuk mengatakan satu kalimat saja. Dengan segera, dua pasang sejoli itu menole
Diana tidak bisa menghentikan kekhawatirannya pada kondisi aneh suaminya. Dirinya terus bergerak ke kanan dan ke kiri di depan pintu ruangan rumah sakit di mana Edwin sekarang sedang diperiksa oleh dokter. Ia bahkan tidak menyisakan sedikit waktu untuk memperbaiki penampilan serta rambutnya yang berantakan. Yang ada dipikirannya hanya kondisi Edwin. "Berhentilah bergerak seperti setrika! Kau membuatku pusing melihatnya!" protes Marley sebal kepada Diana. Wanita itu terduduk di kursi besi rumah sakit dengan tampilan yang juga berantakan. "Jika tidak suka, pergilah!" balas Diana tidak kalah sebal. Sebenarnya ia bukan tipe wanita yang galak ataupun tegas. Apalagi wanita bar-bar yang sampai menjambak orang lain. Diana adalah tipe wanita penurut dan pendiam. Namun terkadang emosi bisa membuat seseorang berperilaku di luar nalar. "Kamu yang harusnya pergi! Ingat, kamu akan segera diceraikan oleh Mas Ed—" Belum sempat ucapan pedas Marley terselesaikan. Pintu ruangan tempat di mana Edwin d
"Kamu nggak makan dulu, Mas? Aku udah masak makanan kesukaan kamu." jelas Diana sembari memandang suaminya yang sedang sibuk merapaikan jas hitamnya di depan kaca yang berada di ruang tengah. "Aku buru-buru." balasnya tanpa sedikitpun menoleh ke arah Diana. Mendengar itu, Diana memaksakan senyum, "Um ... Baiklah." Setelah selesai dengan pakaiannya. Edwin mengambil tas kerjanya. Lagi, tanpa menoleh ke arah Diana dirinya berjalan menuju pintu. Barulah saat tinggal satu langkah lagi Edwin keluar dari Apartemen, dirinya menoleh ke belakang. Ke arah di mana Diana menunduk dengan sedih di meja makan bersama beberapa hidangan makanan yang tak tersentuh. "Aku akan lembur. Jadi tidak perlu menungguku." jelasnya singkat. Kemudian melanjutkan langkah yang sempat tertunda. Tak memperdulikan Diana yang semakin menahan rasa kesedihan. Dua bulan lalu, di mana hari perselingkuhan Edwin terungkap, Diana dengan yakin ingin meminta cerai. Namun saat Edwin mengatakan bahwa ia mencintainya dan akan me