Naya dan Marsha saling menatap. Keduanya terlihat bingung melihat situasi di antara Yana dan Derren yang terlihat canggung.
“Kalian pasti bertengkar.”Naya telah menyimpulkan dan membuat keduanya langsung tersinggung.“Tidak!” balas Derren dan Yana dengan kompak.Marsha dan Naya mengembuskan napas panjang dan melanjutkan acara makan mereka. Keempat orang yang ada di meja makan dan duduk saling berhadapan itu akhirnya makan dengan tenang setelah dua pembuat onar tidak bisa berisik seperti biasanya.“Kak Marsha, bagaimana kalau hari ini Kakak mengantarku pergi sekolah. Kakak libur, kan?”Marsha mendongak dan melihat Naya yang sedang makan dengan elegan.“Mengantar kamu? Bukan kalian ya?”Gadis berusia 13 tahun itu mengangguk. “Ya. Aku! Bukan kami berdua. Karena ada yang ingin aku bicarakan berdua dengan Kakak, bisakah Kakak meluangkan waktu untukku? Hanya saat sampai aku tiba d sekolah."“Bukan mUgh .... Daniel mengusap wajahnya dengan kasar. Ia masih tidak percaya Marsha baru saja memperdaya dirinya dengan uang. Terlebih lagi, gadis kecil yang ia terima sebagai murid beberapa saat yang lalu adalah gadis lemah yang memiliki masalah di jantungnya. “Dasar gila,” pekik Daniel masih menyesal akan keputusannya. “Hei kau, kemarilah!” Daniel melambaikan tangan dan meminta Naya mendekat. “Ya.” Naya berlari mendekat dengan setengah pincang. Setelah berlari 5 putaran di lapangan 700x400 meter itu, dia merasa sangat lelah sampai kesulitan bernapas. “Aku dengar kamu memiliki janji setelah lewat pukul tuju nanti. Bagaimana kalau kamu bersiap sekarang? Marsha bisa marah kalau aku menyiksamu lebih dari ini,” ucap Daniel terlihat tidak puas. Naya melihat ke belakang Daniel. Dari jarak 2 meter tempat mereka berdiri, dinding kelabu di belakang sana memiliki alat pengukur waktu. “Tapi sekarang masih jam
Melihat wajah Haidar yang amat sangat terkejut, Naya terkekeh pelan dan menepuk pundak Derren. “Jangan menatapnya setajam itu, Kak. Kamu bisa membelah dirinya,” guraunya. Derren membuang napas kasar. “Baiklah, ayo pergi. Kak Marsha dan Yana sudah menunggu di mobil.” Naya mengangguk dan segera mengikuti langkah Derren meninggalkan Haidar. Klek .... Naya duduk di bangku tengah bersama dengan Yana. Di sana juga ada dua anak kecil yang belum pernah Naya lihat sebelumnya. “Siapa ini, Yan—“ “Bagaimana bisa kamu dekat dengan Haidar? Apa ia menggodamu?” tanya Marsha tiba-tiba. Naya duduk di samping Yana dan menatap Marsha yang menoleh ke arahnya dengan tatapan curiga. “Hanya tidak sengaja bertemu dan berkenalan saja, Kak. Tidak ada yang perlu di khawatirkan.” Marsha tetap memasang tapang curiga. Begitu pula dengan Derren yang menatap Naya dari kaca spion tengah dengan pandangan horor. “Ugh
[Pakai gaun yang mewah] [Aku tidak akan memaafkan kamu jika tidak menurut dengan perkataanku, Kak. Lihat saja kalau kamu membantahnya^^] Zahra menghela napas kasar dan melihat beberapa pasang pakaian yang akan ia kenakan jika Marsha tidak mengirim pesan ancaman itu. “Kamu mau ke mana?” Dena mengintip di balik pintu ruang ganti pribadi istrinya. Wanita itu terlihat kebingungan saat melihat beberapa setel pakaian di atas etalase kaca tempatnya menyimpan koleksi jam tangan. “Entahlah. Marsha memintaku pergi dengannya ke sebuah acara. Ia bilang aku harus berpakaian cantik.” Zahra melihat suaminya dengan senyum masam. “Bisa aku minta bantuan?” Dean diam beberapa saat dan masuk ke dalam sana. “Jika baju yang cantik, bukannya kamu harus mengenakan pakaian itu?” Zahra menatap suaminya dengan tatapan bingung. “Kamu yakin?” Dean mengangguk dengan antusias. “Hanya pakaian itu yang membuat kamu cantik, Ra.
Langkah kaki yang di balut sepat hak tinggi, benturan ujung sepatunya dengan lantai, cuku menggema di dalam ruang hening yang tengah mereka tempati. Adik perempuannya, Marsha, mengatakan jika ia akan memberikan kejutan padanya. Namun Zahra tak pernah berpikir jika itu akan menjadi kejutan besar untuknya. Di tempat mewah dengan banyaknya petinggi negara yang hadir, beberapa saat yang lalu Zahra melihat wajah tak asing yang sangat tidak ingin ia temui. “Kakak,” panggil Marsha dari ujung ruangan. Ia cukup merasa gemas melihat Kakaknya mondar-mandir dengan wajah gelisah. “Apa kamu tidak suka dengan hadiah—“ “Kamu sudah gila?!” Zahra berteriak lantang. Tampaknya kebaikan hati Marsha untuk menunjukkan sesuatu yang seru telah menyebabkan dirinya berada di dalam masalah. “Aku masih waras. Jika aku gila, aku tidak akan membawa kamu ke tempat ini.” Marsha melipat kedua tangannya dan menyilangkan kakinya agar salin
“Bukannya kamu sudah sedikit keterlaluan dengan Dean?” Derren menatap wajah suntuk istrinya yang terus ia perlihatkan sepanjang acara makan malam setelah pertempuran mulut dan mental beberapa saat yang lalu. “Kamu berpikir begitu?” Marsha melirik suaminya yang terus memperhatikan dirinya dengan tatapan memelas sampai-sampai lupa menyentuh makanannya. Derren mengangguk singkat. “Ya, walau kamu tidak suka dengannya, aku tidak akan mengira kamu menunjukkan perasaan bencimu sejelas itu di depannya.” Marsha menaikkan sebelah alisnya, ekspresi yang tampak bingung serta jari telunjuk yang terus mengetuk di permukaan meja dengan gundah. “Memangnya kenapa kalau aku melakukan itu? Apa kamu merasa keberatan?” Lelaki itu menggeleng pelan. Ia sedikit menunduk dan mengaduk makanan dalam piringnya tanpa berniat menghabiskannya. “Itu karena aku sedikit merasa asing melihat kamu yang seperti itu.” Lirikkan Derren membua
Naya menatap keheningan yang terjadi di depannya dengan tatapan malas. Baru saja masuk ke dalam mobil, ia sudah melihat dua kakak yang saling bertengkar sampai membuat situasi hening dan tenang itu menjadi suasana yang mengerikan. “Fuhhh ... apa kalian bertengkar?” tanya Naya, berusaha mencairkan suasana tidak enak itu dengan membuat masalah baru. Marsha tidak menjawab. Ia hanya menatap Naya dari kaca spion tengah dan mengulas senyum masam—seakan ia telah memberikan jawaban pasti tentang pertanyaan itu. Sementara kakak lelakinya hanya diam dan fokus menyetir—melihat ke arah jalanan dengan tenang. “Bisa mati diam aku kalau begini caranya.” Naya mengembuskan napas panjang dan melihat keluar jendela. “Aku lapar, Kak. Ayo makan sate di depan sana.” Derren melihat ke arah Marsha seakan meminta izin. Mereka yang baru saja makan malam, tentu masih merasa kenyang. Namun melihat Naya yang terlihat begitu kurus kering dan lemas, Marsha mengang
Yana terdiam setelah tidak sengaja mengatakan fakta yang seharusnya tak ia katakan pada Naya yang memiliki mental lemah. Lihatlah, baru mendengar kabar itu wajahnya sudah pucat seakan di rundung rasa tertekan yang menyesakkan. “Aku hanya salah mengatakan.” Yana menghela napas panjang. Ia bangun dari tempatnya duduk dan berjalan keluar kamar tanpa menghiraukan wajah Naya yang tercekat. "Kamu menggunakan hal seperti itu sebagai sebuah candaan? Yang benar saja.” Naya mengikuti Yana keluar kamar dan turun ke lantai satu untuk sarapan. “Jangan melakukan hal seperti itu lagi. Kamu mengerti?” Yana tak menjawab. Ia hanya menuruni tangga dengan cepat—melarikan diri dari kejaran Naya. “Selamat pagi.” Yana duduk pada salah satu kursi meja makan. Ia mengambil piring dan mengisinya dengan satu centong nasi goreng sosis serta telur mata sapi yang di beri oleh Marsha. “Terima kasih, Kak.” Marsha tersenyum sebagai jawaban dan men
02:00 AM .... Gama menguap cukup lebar saat menyadari Derren dan Gibran sudah memakai pakaian serba hitam dan akan bersiap pergi. “Kenapa kalian tidak membangunkan aku?!” Gama berusaha sadar dari tidurnya. Lelaki itu terlihat amat sangat lelah bahkan sebelum mereka menjalankan misi. “Aku tak berencana mengajakmu bergabung dalam misi, Tuan Gama." Derren melihat Gama yang terlihat lemah. “Karena kamu tidak akan bisa melarikan diri secepat kami jika terjadi sesuatu yang berbahaya. Jadi ada baiknya kamu tidak usah ikut.” Gama membulatkan mata tak percaya. Ia yang sudah menunggu sampai dini hari, pada akhirnya tidak di ajak untuk pergi bersama dan malah di tinggalkan? Yang benar saja. “Tidak bisa! Karena ini menyangkut diriku, aku masih memiliki harga diri untuk ikut dalam pengintaian.” Gama bersikeras. Namun melihat sikap keras kepalanya ini, Derren jadi paham kenapa Tuan Bima tetap menganggapnya sebagai menantu sampai sekarang