Klek ....
Naya menatap kehadiran Yana dengan tatapan senang. Ia yang tadinya mengamuk langsung terlihat normal melihat wajah saudaranya.“Keluarlah, Kak.” Yana berjalan masuk ke dalam ruangan.Marsha menoleh ke arahnya. Ia melihat gadis berusia 11 tahun itu masuk ke dalam ruangan dengan seragam dan makan siang yang ia beli di depan rumah sakit.“Aku akan menjaganya.” Yana menghela napas panjang.Wajahnya tampak lelah. Namun Marsha harus tetap merepotkannya untuk hal ini. Terlebih lagi, Naya terlihat tenang saat melihat sosok Yana di dekatnya.“Kamu akan baik-baik saja?” Marsha merasa khawatir.Ia tahu Yana lelah dan malah bersinggungan dengan Naya karena masalah terakhir. Namun hanya ia yang bisa di andalkan untuk menjaga Naya.“Aku akan meminta bantuan jika membutuhkan sesuatu.” Yana mengeluarkan sebuah ponsel dari tas ransel sekolahnya. “Kakek Bima membelikannya—“Prak!Yana menatapDaniel menghela napas kasar. Ia menatap ponsel yang terus berdering sejak 5 menit yang lalu. Tak ada niat untuk membalasnya. Ia hanya memandanginya dengan wajah malas walau tahu telepon itu dari Tuannya—Marsha. “Memang tidak apa tidak mengangkatnya?” Salma datang dengan membawa 2 minuman kaleng untuk mereka. “Nona pasti ingin tahu perkembangan situasi 2 anak kecil itu, kan?” Daniel hanya mendengus. Ia mengacuhkan Salma. Bahkan sampai tak mau bertetap muka dengan teman wanita dan kawan seperjuangannya itu. “Aku tahu kamu malu pada Nona jika sampai melaporkan apa yang kalian dengar dari mulutmu sendiri.” Salma mengembuskan napas panjang. “Tapi mau bagaimana? Kamu tangan kanan Nona Marsha. Kalau kamu tak melakukan pekerjaanmu dengan baik hanya karena gengsi, bagaimana kalau memberikan pekerjaan itu padaku saja?” Daniel membulatkan matanya. Memelotot ke arah Salma yang terus mengusiknya walau ia yakin wanita itu tahu jika ia ingin sendir
“Apa yang akan kamu lakukan, Marsha?” Tiga orang yang sedang di sekap bersama dengannya bertanya dengan kompak. Bahkan mereka yang di tutup matanya, mengarahkan pandangan mereka tepat ke arah Marsha berada--tanpa meleset sedikit pun. Marsha yang mendengar itu hanya menghela napas kasar. Entah kenapa hanya dirinya yang tak mendapatkan penutup mata. “Apa para bedebah itu sengaja membuatku sedikit putus asa karena tak bisa melakukan apa pun padahal bisa melihat semuanya?” batin Marsha, menghela napas kasar. “Marsha?” Gama memanggil. Setengah wajahnya yang masih terlihat menunjukkan kecemasan saat ia tak mendengar suara Marsha menyahut perkataan mereka. “Kamu baik-baik saja?” “Hem ... aku baik-baik saja.” Marsha menjawab seadanya. Ia menghela napas kasar dan melihat sekeliling. Box kontainer yang menjadi tempat di sekapnya mereka terasa mencurigakan. Aroma garam dari air laut bisa di cium oleh Marsha yang memiliki indra pencium
Tok ... tok .... Seorang lelaki berjalan masuk ke dalam kamar Derren. Hal pertama yang ia lihat adalah wajah masam rekannya, Daniel, yang terlihat sangat cemas sampai ke taraf gelisah. Sementara lelaki yang ia tahu adalah suami Nona mereka, Marsha, juga memasang wajah tegang nan cemas. “Duduk jika sudah datang.” Daniel menatap garang. “Kita harus segera menyelesaikan pekerjaan ini agar bisa memastikan keadaan Nona.” Baron mengangguk dan segera masuk ke dalam ruangan itu. Suasana menegangkan yang mencengkeram membuatnya ikut merasa tegang. Bahkan ia tak bisa duduk dengan nyaman melihat raut wajah dua orang di depannya. “Maaf sudah meminta pihak kalian datang ke sini. Padahal aku yang meminta tolong. Harusnya aku yang datang ke perusahaan kalian.” Derren berucap dengan sopan. Baron hanya diam. Ia sibuk dengan laptop dan tugas yang di berikan Daniel padanya. “Sudahlah, Tuan. Saya yang meminta anggota saya datang karena Anda se
“Marsha ... Marsha ... kau baik-baik saja?” Gama menoleh ke kanan dan ke kiri. Ia mencari suara Marsha yang tak terdengar selama beberapa saat setelah suara hantaman keras terdengar. Yang bisa di dengar Gama dan Lea yang masih terjaga saat itu adalah suara memekik Marsha yang kesakitan. Setelah itu guncangan hebat terus terjadi di tempat mereka. Bahkan suara deru air laut yang semakin jelas. “Mereka pasti membawa kita ke tengah laut, kan?” Lea mulai kembali dengan pemikiran negatifnya. Sementara Gama hanya bisa diam dan pasrah. Rasa khawatir akan Marsha membuatnya hampir gila. Namun tetap tak ada yang bisa ia lakukan untuk saat ini. “Gama, kau tak dengar aku??” Lea berteriak frustrasi. Ia juga ketakutan. Namun keheningan yang melanda ini membuat mentalnya semakin terombang-ambing. “Aku mendengarmu.” Gama menghela napas kasar dan mulai berusaha bergerak ke samping—tempat posisi Marsha berada sebelumnya. “Coba cari benda yang bisa kita
Marsha .... Marsha .... Sampai kapan kamu menutup matamu? Gama terlihat kalut. Ia menangis sambil memeluk Marsha dengan erat. Sementara dua dokter yang mengupayakan pertolongan pertama untungnya. Napas Marsha masih teras, namun sangat lemah. Mereka membutuhkan peralatan yang lebih memadai untuk menolongnya. Namun mereka sudah terimpit dalam situasi yang tak memungkinkan. “Kita harus segera keluar dari tempat ini.” Gama menatap Syam yang berusaha kuat untuk membantu Lea. Mereka akan terus melakukan CPR. Setidaknya sampai kesadaran Marsha mulai pulih. “Dokter Syam ....” Gama menatap tegas. “Aku akan menyusup masuk ke atas—helikopter itu, harusku jarah!” Syam terdiam beberapa saat. Sesekali ia melihat wajah Gama yang terlihat serius, namun ia tak memiliki waktu untuk melakukan diskusi lebih lanjut—bahkan sekedar mengkhawatirkannya, Syam tak memiliki waktu. “Jika kamu bisa mengatasinya, aku tak akan membuatm
“Semuanya akan baik-baik saja. Jangan terlalu memikirkannya ... keadaanmu juga belum sepenuhnya pulih.” Syam hanya mengangguk. Melihat banyak dari rekan kerjanya yang menunjukkan kepedulian padanya, membuat Syam sadar jika masalah yang menimpa mereka memang masuk dalam kategori besar. Rumah sakit Zahara memiliki banyak saingan, namun tak pernah ada kejadian seekstrem ini selama bertahun-tahun. “Pihak atas juga sudah membuat tim penyelidikan khusus untuk mengali masalah ini.” Tomo menghela napas kasar. Kini lelaki itu tampak lebih tulus memperlihatkan kekhawatirannya. Ya, ini pasti karena masalah yang di ikut campuri Marsha beberapa hari yang lalu. Tomo jelas tahu antara siapa orang yang benar-benar melindunginya dan orang yang melindunginya hanya untuk memanfaatkan dirinya. “Semoga saja.” Syam menghela napas lelah. Ia mengalihkan pandangannya pada Lea dan Gama yang tertidur di ranjang sisi kanannya. “Entah sampai kapan mere
“Tidak ... Marsha!” Lea terduduk di bawah ranjang besi yang di tempati Marsha. Kain putih yang menutup sampai ke leher Marsha membuat tangis Lea semakin kencang. Dadanya sesak, padahal ia pernah membayangkan dengan senang kematian Marsha. Dengan begitu ia akan bisa memiliki Derren, namun apa yang terjadi? Dadanya sakit sampai membuat kepalanya terasa mau pecah. Ia marah. Sakit hati dan sedih. Tiga rasa yang hanya bisa di rasakan saat seseorang kehilangan orang yang ‘di pedulikan’ lalu, apakah selama ini Lea memedulikan Marsha? ... harusnya tidak, kan? Mereka hanya rival. “Sejak kapan ia seperti ini?” Lea menatap wajah Derren dan Syam yang melihatnya di ambang pintu masuk kamar mayat tersebut. Penampilan kacau Lea membuat kedua lelaki itu tak sampai hati memberitahu tanggal kematian Marsha. “Katakan!” Lea berteriak lantang. Ia marah karena mereka tak segera memberi tahu hal yang ia inginkan. Apa karena ia tak berhak tahu
“Siapa yang bertugas memandikan Dokter Marsha?” Valerie menatap beberapa perawat yang menunduk dalam—sedih mengingat Marsha tak ada bersama dengan mereka lagi. Hati Valerie berat. Sudah 24 jam Marsha dinyatakan meninggal dunia. Namun sampai sekarang tak ada seorang pun yang tega memandikan dan menyiapkan peti matinya. Mengusap wajah kasar, Valerie tak akan meminta rekan kerjanya untuk melakukannya. Kali ini, dengan tekat bulat, ia akan melakukannya sendiri. Valerie mendekati ruang mayat. Semakin dekat dengan ruangan itu kakinya semakin gemetar dan tekatnya semakin pudar. “Aku tak bisa melakukannya.” Valerie berjongkok. Dia menangis dan menunduk dalam menahan isak tangisnya. Namun tak lama setelah itu ia bangun dari posisi dan masuk ke dalam ruang mayat. Dia membuka tempat penyimpanan mayat Marsha dan mengeluarkannya. Tubuhnya gemetar. Ia tak siap untuk benar-benar merelakan Marsha. Namun Tuhan seakan menjawab doan